Jika dulu Orang Rimba harus keluar hutan agar dapat mengenyam pendidikan, kini sejumlah program dikemas adaptif. Sekolah bisa lewat beragam cara, mulai dari berpindah hingga belajar bersama di tepi hutan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
IRMA TAMBUNAN
Anak-anak rimba belajar membaca, menulis, dan berhitung di Sekolah Rimba Pintar yang dibangun di penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Selasa (14/3/2023). Sejumlah program pembelajaran dikemas adaptif, mulai dari berpindah hingga sekolah di tepi hutan demi merangkul lebih banyak anak mengenal literasi.
Sekolah Rimbo Pintar tak sekadar ruang belajar. Sekolah panggung mungil itu bagaikan rumah kedua bagi anak-anak rimba di tepi Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi.
Hadirnya sekolah yang dibangun sederhana itu bukan tanpa penyebab. Bertahun-tahun lalu, Temenggung Bepayung dan sejumlah orangtua kesulitan mengantar anak-anak bersekolah. Padahal, mereka juga ingin anak-anak melek huruf.
Bepayung bersama kedua anaknya, Besutau (10) dan Miteng (7), sudah harus meninggalkan sudung (pondok sederhana Orang Rimba) pagi-pagi buta. Mereka berjalan kaki menembus semak belukar di dalam hutan lebat yang berstatus taman nasional itu. Untuk keluar dari taman, perjalanan kaki biasanya memakan hampir 3 jam lamanya untuk menuju sekolah terdekat di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun.
Dalam perjalanan yang panjang itu, tak jarang Miteng tersandung akar. Bepayung harus menggendong anaknya agar langkah mereka cepat sampai di tepi hutan. Dari situ mereka menumpang angkutan umum untuk menuju sekolah. Begitulah rutinitas panjang yang harus dilalui demi mengenyam pendidikan.
Bepayung dan para orangtua ingin ada sekolah bagi Orang Rimba di wilayah itu. ”Kalau bisa, kami mau membangunnya sendiri,” katanya, pertengahan Maret 2023.
IRMA TAMBUNAN
Guru bersama orangtua dan anak-anak rimba seusai pembelajaran di Sekolah Rimba Pintar yang dibangun di penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Selasa (14/3/2023). Sejumlah program pembelajaran dikemas adaptif, mulai dari berpindah hingga sekolah di tepi hutan demi merangkul lebih banyak anak mengenal literasi.
Keinginan tersebut mendorongnya untuk singgah ke kantor Taman Nasional Bukit Duabelas di Kabupaten Sarolangun. Kepada petugas di sana, ia sampaikan usulan membangun sekolah bagi kelompok itu.
Mendengar keinginan Bepayung membangun sekolah, petugas taman menyetujui. Mereka sepakat mengumpulkan bahan dan peralatan bersama-sama. Ada pula bantuan dari perusahaan perkebunan setempat. Lokasi sekolah disiapkan persis di tepi hutan. Pembangunan akhirnya bisa terwujud tahun 2018.
Para orangtua rimba, petugas taman, dan staf perusahaan kerja bakti membangun. Akhirnya tak butuh waktu lama. Sekolah panggung kecil berukuran 5 meter x 6 meter berdiri beberapa pekan kemudian. Bangunan sekolah tampak sederhana, berlantai kayu, beratap seng, dan berdinding setengah terbuka.
IRMA TAMBUNAN
Anak-anak dari komunitas Orang Rimba menunjukkan hasil karyanya di Sekolah Rimba Pintar yang dibangun di penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Selasa (14/3/2023). Sejumlah program pembelajaran dikemas adaptif, mulai dari berpindah hingga sekolah di tepi hutan, demi merangkul lebih banyak anak mengenal literasi.
Namun, hadirnya sekolah memacu semangat warga komunitas pedalaman itu. Jumlah anak-anaknya 35 orang terdiri atas 17 anak usia PAUD dan TK, serta 18 anak usia SD. Mereka dibimbing oleh warga lokal, Rismawan dan Noviarum, sebagai guru sukarelawan. Belakangan, keduanya direkrut sebagai kader konservasi oleh Balai TNBD.
Karena ruang kelas yang terbatas, guru menyiasati kegiatan belajar mengajarnya. Ada yang belajar di sekolah panggung itu. Ada pula yang mengikuti pembelajaran di luar sekolah.
Belakangan, anak-anak yang telah memasuki kelas besar SD difasilitasi untuk mengikuti sekolah jauh. Setiap hari, ada petugas yang menjemput mereka di tepi hutan untuk mengantarkan ke sekolah formal terdekat.
Program-program pendidikan bagi masyarakat pedalaman semakin luas difasilitasi, baik oleh pemerintah, swasta, maupun lembaga swadaya masyarakat. Jika dulu Orang Rimba harus keluar hutan agar dapat belajar di sekolah, kini sejumlah program dikemas lebih adaptif.
IRMA TAMBUNAN
Anak-anak rimba belajar sambil bermain di Sekolah Rimba Pintar yang dibangun di penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Selasa (14/3/2023). Sejumlah program pembelajaran dikemas adaptif, mulai dari berpindah hingga sekolah di tepi hutan, demi merangkul lebih banyak anak mengenal literasi.
Diselenggarakan mulai dari program sekolah berpindah hingga sekolah di tepi hutan. Pembelajaran dalam sekolah berpindah (mobile school) dapat dilakukan di mana-mana. Dapat berlangsung di tengah hutan, di bawah pohon rindang, atau di atas rerumputan. Tempat penyelenggaraannya tidak tersekat oleh dinding kelas. Siswanya tak perlu berseragam. Para guru mengikuti siswanya yang tengah berpindah, semisal ketika melangun (ritual berpindah ke tempat baru karena ada anggota keluarga meninggal).
Rismawan dan Noviarum yang gemar bertualang tak keberatan jika harus berpindah-pindah dalam hutan. Mereka pun berbagi tugas. Adakalanya Rismawan mengampu sekolah keliling, sedangkan Noviarum di sekolah rimba. Di waktu berikutnya, mereka bergantian. ”Yang penting para orangtua mau menerima kami mengajar di sana,” kata Noviarum.
Tempat penyelenggaraannya tidak tersekat oleh dinding kelas. Siswanya tak perlu berseragam. Para guru mengikuti siswanya yang tengah berpindah, semisal ketika melangun .
Selain jadi tempat belajar, Sekolah Rimba Pintar dianggap pula seperti rumah kedua. Bepayung menceritakan ada kalanya anak-anak menumpang menginap di sekolah. ”Kalau sudah kemalaman, terlalu jauh ke dalam rimbo, anak-anak biasanya tidur di sekolah,” ujar Bepayung. Pagi-pagi, kedua guru menyiapkan sarapan para siswa yang dananya didukung PT Sari Aditya Loka, usaha perkebunan sawit di wilayah itu.
Induk rimba turut menggambar sembari menuggu anak-anak belajar membaca, menulis, dan berhitung di Sekolah Rimba Pintar yang dibangun di penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Selasa (14/3/2023). Sejumlah program pembelajaran dikemas adaptif, mulai dari berpindah hingga sekolah di tepi hutan, demi merangkul lebih banyak anak mengenal literasi.
Rismawan menceritakan, anak-anak rimba memiliki keingintahuan yang besar pada hal-hal baru. Ketika belajar membaca dan menulis, mereka bisa tekun di depan buku. Waktu tak menjadi penghalang. Itulah yang membuatnya semangat untuk terus mengajar.
Apalagi perkembangan zaman telah semakin mengikis sekat-sekat sosial di antara Orang Rimba dan orang luar. Jika tidak dibentengi dengan literasi, Orang Rimba bisa tertinggal jauh. Juga bakal mudah ditipu, diperdaya. Ia berharap semakin banyak generasi muda bangkit untuk semakin berdaya dengan terus mengejar ilmu.