Walau dibuat untuk pengendali banjir, waduk dan danau buatan di Makassar, Sulawesi Selatan, kini juga mengemban fungsi sosial dan ekonomi. Tak sedikit usaha kecil yang tumbuh di sekitar perairan darat itu.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·5 menit baca
Bagi Nurul Rezky (30), sore di tepi Waduk Tunggu Pampang, Makassar, Sulawesi Selatan, adalah saat menjemput rezeki. Setiap hari antara pukul 16.00 dan 18.00 Wita menjadi puncak ramainya pengunjung di warung tenda miliknya. Acapkali kursi dan meja plastik yang dia siapkan tak cukup menampung pengunjung.
Seperti sore itu, Selasa (21/3/2023). Belum lagi petang, kursi-kursi sudah penuh terisi. Dua mata kompor bersisi penggorengan nyaris tak pernah dimatikan. Setiap kali gorengan bakwan, singkong, pisang, dan tahu matang lalu diangkat, setiap kali pula dia mengisi kembali dengan adonan baru.
Tak hanya sibuk di depan kompor penggorengan, Nurul juga bolak-balik ke gerobak berisi pelumat elektronik untuk membuat aneka minuman dingin. Jualannya memang hanya gorengan dan aneka minuman. Gerobaknya dipasang di antara sisi jalan dan pagar pembatas dengan waduk. Sambil menyantap gorengan dan minuman, pengunjung bisa melihat waduk.
”Biasanya pengunjung mulai datang jam 4 sore dan berkurang setelah Maghrib. Tapi, saya berjualan sampai malam. Sabtu dan Minggu biasanya lebih ramai lagi. Alhamdulillah hasilnya lumayan buat membantu keperluan keluarga selama lima tahun saya berjualan di sini,” katanya.
Penghasilannya dari berjualan gorengan dan minuman berkisar Rp 400.000-Rp 500.000 per hari. Jumlah ini cukup untuk menopang kebutuhan keluarga dan menutupi kekurangan gaji suaminya yang pegawai kontrak.
Ada puluhan pedagang makanan dan minuman yang menggantungkan rezeki di tepi waduk pengendali banjir di Kecamatan Manggala ini. Sebagian pedagang kaki lima memanfaatkan gerobak dan tenda, sebagian lagi berupa kafe atau warung kopi. Kafe-kafe ini umumnya menempati bangunan permanen dengan beragam desain.
Sebagian pemilik kafe memanfaatkan bangunan dua lantai, di mana lantai atasnya menjadi lokasi untuk melihat waduk lebih luas dan matahari terbenam. Gerobak dan kafe-kafe ini berjejer di sepanjang jalan lingkar tepian waduk.
Sekitar 6,5 kilometer dari Waduk Tunggu Pampang, rezeki di tepi danau juga menjadi milik Anoy (50). Di tepi Danau Universitas Hasanuddin (Unhas), Kecamatan Tamalanrea, setiap sore bapak tiga anak ini menjual bakso dan minuman kemasan. Pengunjung yang bersantai di Danau Unhas atau mahasiswa yang berkegiatan menjadi pasarnya.
”Kalau ada kegiatan bisa sampai Rp 2 juta saya dapat dari berjualan bakso dan minuman. Kalau hari-hari biasa saat tak ada kegiatan, saya dapat hitungan ratusan ribu rupiah. Lumayan untuk kebutuhan rumah dan sekolah anak-anak,” katanya.
Bukan baru kali ini Anoy berjualan di area kampus. Sebelum menjadikan tepi danau sebagai tempat berjualan tetap setiap sore, Anoy berjualan secara berpindah dari satu fakultas ke fakultas lain di Unhas.
”Saat danau sudah ditata dan banyak yang berkunjung ke sini setiap sore, saya akhirnya pindah. Biasanya habis Maghrib saya pulang. Kalau masih ada sisa dagangan, saya jual sambil jalan pulang,” katanya.
Lain lagi pasangan Agus (45) dan Hasnia (41). Mereka memanfaatkan keindahan waduk buatan di kawasan Tanjung Bunga, Kecamatan Tamalate, sebagai tempat mencari rezeki. Tempat ini dikenal warga dengan sebutan Danau Tanjung Bunga. Letaknya berada di antara permukiman elite dan pusat perbelanjaan.
Sebenarnya, waduk buatan ini adalah hasil dari membendung aliran Sungai Jeneberang. Sebagian airnya mengalir melalui kanal-kanal di dalam kota. Di danau ini pula jadi tempat latihan bagi atlet dayung Sulsel.
Di sepanjang tepi danau ini dipenuhi penjual bunga dan juga pedagang makanan dan minuman. Sebagian warung makan bahkan menyempil di antara hamparan aneka tanaman yang dijual. Pedagang bunga pun memanfaatkan air waduk untuk menyiram bunga.
”Pengunjung di warung makan di sini sebagian adalah yang datang membeli bunga. Tapi, lebih banyak yang memang datang hanya untuk bersantai. Alhamdulillah makin ramai dari hari ke hari dan saya bisa menjadikan jualan di sini sebagai sumber penghasilan utama,” kata Agus.
Waduk, danau, dan perairan daratan lain di Makassar mulai ramai jadi tempat ”nongkrong” warga Makassar sekitar lima tahun terakhir. Waduk pun tak lagi sekadar mengemban fungsi pengendali banjir. Seiring kebutuhan warga kota, kawasan ini kini berkembang menjadi ruang publik, di mana interaksi sosial dan ekonomi juga terjadi.
Geliat wisata dan usaha kecil di tepian danau ataupun waduk ini pernah mati suri saat pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas warga. Pengunjung nyaris tak ada dan akibatnya hampir semua pedagang berhenti berjualan. Namun, seiring situasi yang berangsur pulih, aktivitas kembali ramai.
Kami melihat potensi perairan darat ini sebagai obyek wisata dalam kota maupun pengaruhnya pada usaha kecil.
Pemanfaatan perairan darat sebagai obyek wisata kota sekaligus menggerakkan usaha kecil sudah ada dalam program Dinas Pariwisata Kota Makassar. Hanya saja, sejauh ini terkendala dengan pengelola perairan darat, seperti Waduk Tunggu Pampang dan Danau Tanjung Bunga.
”Kami melihat potensi perairan darat ini sebagai obyek wisata dalam kota maupun pengaruhnya pada usaha kecil. Kami ingin bekerja sama dengan pengelola lokasi tersebut untuk setidaknya melakukan penataan. Jika sudah ditata, kami bisa masukkan ke paket wisata dalam kota atau setidaknya ikut mempromosikan,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Makassar Mohammad Roem, Kamis (30/3/2023).
Roem menjelaskan, Danau Unhas, termasuk hutan kota di kawasan tersebut, sudah sering dimasukkan dalam informasi terkait wisata dalam kota. Bahkan, beberapa kali juga dimasukkan dalam paket-paket wisata kota.
Adapun Danau Tanjung Bunga juga sudah dilirik untuk pengembangan wisata dan ekonomi. Namun, karena danau ini masuk dalam wilayah pengelolaan pengembang swasta di kawasan Tanjung Bunga, pihak Pemkot Makassar setidaknya harus bekerja sama. Begitu pun dengan kawasan Waduk Tunggu Pampang yang masuk dalam otoritas Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang.
Yang sudah mulai ditata oleh Pemkot Makassat adalah kawasan Sungai Tallo. Sungai ini memiliki ciri khas, yakni hamparan pepohonan nipah di sepanjang tepian sungai. Sungai ini membentang melintasi Kota Makassar. Pihak Dinas Pariwisata ingin mengembangkan kawasan ini seperti di kawasan wisata karst Rammang-rammang, Maros, atau Sungai Mekong di Vietnam.
”Kami sudah masukkan penataan Sungai Tallo dalam rencana induk pariwisata. Aktivitas pariwisata nantinya berupa berperahu menyusuri sungai, lalu ada atraksi dan juga aktivitas ekonomi yang melibatkan warga. Aktivitas ini, misalnya, kuliner hingga kerajinan. Saat ini sudah mulai ada geliat walaupun masih terbatas seperti kuliner di tepi sungai,” ucap Roem.