Korupsi Cukai Rokok di Tanjung Pinang Diduga Rugikan Negara Ratusan Miliar Rupiah
Komisi Pemberantasan Korupsi mengendus permainan cukai rokok di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Hal itu diduga merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan dua kali penggeledahan di kantor Badan Pengusahaan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, pada 27 dan 28 Maret 2023. Penggeledahan terkait dugaan korupsi barang kena cukai yang ditaksir merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.
Kepala Badan Pengusahaan (BP) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Tanjung Pinang Ikhsan Fansuri mengatakan, penyidik KPK menggeledah tiga ruangan di kantornya. Selain itu, penyidik KPK juga mengambil dokumen BP Tanjung Pinang periode 2016-2019.
”Hari ini (saya) belum ditanya oleh penyidik. Saya cuma boleh jawab itu,” kata Ikhsan, seusai kantornya digeledah pada Selasa (28/3/2023).
Lewat pernyataan tertulis, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menyatakan, diduga ada perhitungan fiktif pengaturan barang kena cukai berupa kuota rokok di Tanjung Pinang. Hal itu berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah. ”Akan segera dilakukan penyitaan dan analisis barang bukti, juga akan dikonfirmasi pada para saksi dan juga tersangka,” katanya.
Sebelumnya, KPK telah mengungkap kasus serupa di Kabupaten Bintan, Kepri. Pada 21 April 2022, Bupati Bintan Apri Sujadi dan Pelaksana Tugas Kepala BP Bintan Saleh Umar divonis penjara 5 tahun karena terbukti bersalah dalam perkara pengaturan barang kena cukai.
Pada periode 2016-2018, BP Bintan melakukan penggelembungan penetapan kuota rokok yang menguntungkan PT Tirta Anugerah Sukses. Apri terbukti menerima uang sekitar Rp 6,3 miliar untuk mengatur pengajuan kuota barang bebas cukai. Adapun Saleh terbukti menerima uang sekitar Rp 800 juta.
Sejak lama, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti kuota rokok dan minuman beralkohol bebas cukai di empat KPBPB Kepri. Pada Mei 2019, ekonom senior Indef, Enny Sri Hartati (almarhum), memaparkan kajiannya mengenai kuota rokok bebas cukai yang jauh melebihi kebutuhan masyarakat di Kepri.
Tiga KPBPB di Kepri, selain Batam, bersifat enclave yang berarti dalam satu pulau terdapat wilayah KPBPB dan wilayah permukiman biasa yang tidak dibatasi secara khusus. Barang bebas cukai tidak boleh beredar di luar wilayah KPBPB. Namun, Enny menilai pengelolaan barang bebas cukai di KPBPB model enclave ini rawan bocor.
Pengajuan kuota rokok bebas cukai di setiap KPBPB didasarkan pada jumlah penduduk dan tingkat konsumsi rokok warga. Masalahnya, penentuan tingkat konsumsi rokok di masing-masing wilayah KPBPB itu tidak memiliki dasar hitungan yang pasti.
Pada 2018, Badan Pengusahaan (BP) Bintan sebagai pengelola KPBPB Bintan mengajukan kuota rokok bebas cukai sebanyak 1,82 miliar batang rokok per tahun. Padahal, jumlah penduduk di KPBPB Bintan hanya 78.029 orang. Artinya, BP Bintan mengestimasikan setiap penduduk KPBPB Bintan, termasuk anak-anak dan anak balita, mengonsumsi 64 batang rokok per hari.
Pada tahun yang sama, BP Tanjung Pinang mengajukan kuota rokok bebas cukai sebanyak 904 juta batang per tahun. Padahal, jumlah penduduk di KPBPB Tanjung Pinang sekitar 7.000 orang. Artinya, BP Tanjung Pinang mengestimasikan setiap penduduk, termasuk anak-anak dan anak balita, mengonsumsi 354 batang rokok per hari.
Hal itu tidak mungkin mengingat rata-rata konsumsi rokok nasional per hari ”hanya” 12 batang. Yang lebih mungkin terjadi, kuota rokok bebas cukai sengaja dilebihkan pihak tertentu untuk kemudian diedarkan ke daerah di luar KPBPB.
Survei rokok ilegal yang dilakukan Universitas Gadjah Mada pada 2018 menunjukkan, sebanyak 2,4 persen dari rokok polos ilegal yang beredar di Jambi merupakan rembesan dari kawasan KPBPB. Rokok ilegal itu dijual lebih murah Rp 300 hingga Rp 600 per batang dari harga rokok legal.