Harga Tak Menentu, Petani Cabai Pilih Cari ”Sekoci”
Sebagaimana kehidupan, cabai juga menawarkan ketidakpastian. Hal itulah yang dirasakan para petani hortikultura di Lampung. Harga yang tidak menentu membuat sebagian petani memilih mencari ”sekoci” untuk bertahan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
Ahmad Jamali (40), petani cabai di Kecamatan Wongsorejo, memetik cabai di kebun miliknya di Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Kamis (9/2). Di tingkat petani, harga cabai mencapai Rp. 80.000 per kilogram. Cuaca menjadi salah satu faktor turunnya produksi cabai di Wongsorejo, dari yang semula 1 ton per hektar menjadi 6 kuintal per hektar.
Rencana Arif Sugianto (38), petani asal Desa Kibang, Kecamatan Metro Kibang, Kabupaten Lampung Timur, untuk mudik ke Yogyakarta saat Lebaran tahun ini terpaksa ditunda. Uang hasil panen cabai yang semula ingin dipakai untuk mudik ternyata jauh dari harapan.
”Kayaknya tahun ini enggak bisa mudik, lagi krisis keuangan,” ucap Arif saat dihubungi Kompas, Rabu (29/3/2023).
Arif dan keluarganya sudah tiga tahun terakhir tidak mudik ke Yogyakarta. Sebelumnya, ia tidak mudik karena terganjal situasi pandemi Covid-19. Namun, kali ini rencana mudiknya terganjal harga cabai yang anjlok.
Empat bulan lalu, Arif menanam cabai di lahan 2.500 meter persegi dengan harapan bisa dipanen jelang Ramadhan dengan harga baik. Namun, tahun ini, Arif apes karena harga cabai di tingkat petani justru jatuh menjelang hari raya.
”Saya baru panen 200 kilogram dan dapat harga Rp 12.000 per kilogram. Kalau harganya masih rendah, sepertinya tidak akan tutup modal,” katanya.
Arif mengaku mengeluarkan modal tanam hampir Rp 15 juta untuk menanam cabai di lahan seperempat hektar. Setiap tahun, modal yang dikeluarkan petani bertambah besar karena harga bibit cabai, mulsa plastik, pupuk, dan pestisida semakin mahal. Namun, harga jual selalu saja tak menentu.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petani memupuk tanaman cabai di Selagai Lingga, Kabupaten Lampung Tengah, Selasa (27/12/2022). Menurut petani, tanaman cabai dapat mulai dipanen pada usia 60 hari.
Saat harga jual bagus, Arif bisa berbelanja barang kebutuhan rumah hingga menabung untuk kebutuhan hari raya dan masa depan kedua anaknya. Namun, saat harga cabai anjlok, ia harus menguras tabungannya untuk biaya hidup. Arif juga meminjam uang dari agen atau tengkulak untuk bisa terus bertani.
Kisah untung dan buntung itu bukan hanya sekali dialami oleh Arif. Sejak menekuni usaha pertanian hortikultura pada 2000-an, Arif pernah merasan kejayaan tanaman cabai dan tomat beberapa kali. Selebihnya, pertanian hortikultura memasuki masa-masa suram karena harga yang tidak menentu dan modal yang semakin melambung.
Kondisi itu membuat Arif melirik peternakan kambing dan sapi sebagai alternatif usaha. ”Usaha sapi dan kambing ini bisa menjadi penyelamat saya saat merugi akibat cabai,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah daerah bisa memberikan solusi saat harga cabai anjlok. Selama ini, pemerintah langsung bertindak saat harga cabai melambung karena dinilai memicu inflasi. Namun, pemerintah belum memperhatikan nasib petani cabai saat harga komoditas itu anjlok.
Ispandi (41), petani asal Kecamatan Lumbok Seminung, Lampung Barat, mengalami nasib lebih menyedihkan karena harga jual komoditas tomat sering anjlok sejak satu tahun terakhir. Saat ini, harga jual tomat di tingkat petani di Lampung Barat hanya Rp 1.500 per kilogram. Tahun lalu, harga jual tomat lebih rendah lagi, hanya Rp 600 per kg.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Seorang petani tengah membersihkan tanah di sekitar area tanam cabai dari rumput, di Junrejo, Kota Batu, Jawa Timur, Rabu (29/3/2023)
Saat ini, sebagian besar petani tomat di Lampung Barat memilih langsung menjual hasil panen kepada ibu-ibu rumah tangga dengan berkeliling kampung. Mereka juga langsung menjajakan tomat ke rumah makan atau warung di Lampung Barat dan kabupaten sekitarnya.
Petani tomat lainnya yang sudah putus asa memilih memberikan tomat-tomat itu secara gratis kepada warga. Sejumlah petani memberikan tomat kepada nelayan budidaya untuk pakan ikan. Ada pula pengepul yang membuang begitu saja tomat di pinggir jalan. Ini karena ongkos angkut dari Lampung Barat ke Bandar Lampung jauh lebih mahal ketimbang harga tomat.
Menurut Nanang (28), petani tomat dan cabai asal Lampung Barat lainnya, kerugian yang dialami petani datang bertubi-tubi. Saat akan tanam, petani kesulitan mendapat pupuk. Mereka juga harus lebih ekstra merawat tanaman di tengah perubahan cuaca yang tidak menentu.
Saat panen, harga komoditas pertanian juga sering jatuh. Kondisi ini diperparah dengan belum adanya industri pengolahan hasil pertanian.
”Tidak ada kontrak dengan perusahaan karena tidak ada industri yang bisa menyerap hasil panen kami,” kata Nanang.
Harga cabai yang fluktuatif membuat nasib petani tidak berkepastian. Upaya penanganan hasil panen hortikultura diharapkan menjadi prioritas pembuat kebijakan sehingga para petani tidak terombang-ambing ”pedasnya” harga cabai.