Pemerintah Pusat Turun Tangan, 1.600 Ton Beras Dikirim ke NTT
Krisis beras di NTT akhirnya memaksa pemerintah pusat turun tangan dengan mengirim 1.600 ton beras. Di sisi lain, masyarakat diminta memperkuat pangan lokal.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Krisis beras di Nusa Tenggara Timur akhirnya memaksa pemerintah pusat turun tangan. Sebanyak 1.600 ton beras dikirim ke daerah tersebut demi membantu masyarakat yang terpukul kehidupannya akibat kenaikan harga beras yang menembus Rp 17.000 per kilogram.
Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan Hendri Ginting, lewat sambungan telepon pada Selasa (28/3/2023), mengatakan, pengiriman 1.600 ton beras itu dilakukan sebanyak dua kali. Pengiriman pertama pada Minggu (26/3/2023) dan berikutnya pada Rabu (29/3/2023). Pengiriman dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, dengan waktu pengiriman diperkirakan paling lama lima hari.
”Pengiriman pertama sebanyaknya 600 ton kemudian pada pengiriman kedua nanti sebanyak 1.000 ton. Pengiriman menggunakan kapal yang dioperasikan oleh Kementerian Perhubungan. Tujuannya ke sejumlah daerah di NTT,” kata Hendri.
Pengiriman pertama menggunakan KM Kendhaga Nusantara 5 dan pengiriman kedua menggunakan KM Kendhaga Nusantara 11. Dua kapal tersebut merupakan kapal pendukung utama program tol laut. Tol laut adalah program unggulan Presiden Joko Widodo dengan memberi subsidi angkutan barang ke wilayah Indonesia bagian timur.
Menurut Hendri, pengiriman beras itu merupakan respons pemerintah pusat terhadap krisis beras di NTT. Pemerintah pusat menganggap persoalan pangan merupakan hal yang serius sehingga harus segera diatasi dengan mengirim beras secepatnya.
Hendiri pun menjelaskan, beras tersebut dikelola oleh Perum Bulog, salah satu lembaga di bawah Badan Pangan Nasional. Dalam hal pendistribusikan beras ke NTT, pihak Kementerian Perhubungan diberi tugas menyiapkan angkutan.
Justru harga beras yang paling tinggi itu di perdesaan.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, harga beras di NTT menembus Rp 17.000 per kg. Kenaikan harga terjadi sejak dua bulan terakhir. Kenaikan harga disebabkan berkurangnya pengiriman beras dari luar daerah. Selain itu, hasil panen padi tidak ideal di sejumlah sentra padi di NTT.
Selama ini, kebutuhan beras di NTT masih dipasok dari luar daerah. Menurut data Badan Pusat Statistik, angka produksi beras di NTT pada tahun 2022 sebesar 442.842 ton. Sementara, tingkat konsumsi beras di NTT mendekati satu juta ton per tahun (Kompas,28/3/2023).
Manajer Bisnis Perum Bulog Kantor Wilayah NTT Melky Lakapu, yang dikonfirmasi terkait pengiriman beras itu, belum merespons. Saat ini, Melky bersama tim tengah melakukan operasi pasar murah di sejumlah titik di Kota Kupang.
Saat ditemui pada pertengahan Maret 2023, Melky mengatakan, melonjaknya harga beras di NTT sudah menjadi perhatian pemerintah pusat, termasuk Perum Bulog. Untuk menekan harga beras, Perum Bulog di NTT melakukan operasi pasar sejak 13 Maret 2023. Operasi pasar itu terus dilakukan hingga Juni 2023.
Setiap hari, Bulog menyediakan 2 ton beras untuk operasi pasar dengan harga jual Rp 9.000 per kg. Setiap orang dibatasi pembelian 5 kg dan hanya boleh berbelanja satu kali. Sebagai penandanya, pembeli diminta mencelupkan jari mereka ke tinta.
Terkait pengiriman 1.600 ton beras ke NTT, masyarakat dari sejumlah wilayah berharap agar beras itu dapat digunakan untuk operasi pasar. Sejauh ini, operasi pasar masih sebatas di wilayah perkotaan sehingga ke depan harus diperluas hingga di wilayah perdesaan.
”Justru harga beras yang paling tinggi itu di perdesaan. Di kota paling mahal Rp 14.000 per kg, sementara di perdesaan sampai Rp 17.000 per kg. Sejak harga beras naik, operasi pasar hanya ada di kota,” kata Margaretha Bulu (45), warga Kabupaten Flores Timur.
Menurut dia, banyak bantuan pemerintah yang tidak menyentuh masyarakat di berbagai wilayah perdesaan. Sebagai contoh, subsidi minyak goreng yang mulai bergulir sejak 2022. Padahal, harga minyak goreng di perdesaan kala itu sempat mencapai Rp 30.000 per liter.
Krisis beras yang terjadi saat ini berpotensi terjadi lagi di masa datang.
Sementara itu, Zadrak Mengge dari Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal berpendapat, pengiriman beras ke wilayah NTT hanyalah solusi jangka pendek. Hal itu tidak menyelesaikan persoalan pangan di NTT. Krisis beras yang terjadi saat ini berpotensi terjadi lagi di masa datang.
Menurut dia, faktor penyebab krisis beras beragam, di antaranya, gagal panen sebagai dampak perubahan iklim. Diprediksi, kondisi di masa depan bisa lebih sulit dibandingkan hari ini. Dampak perubahan iklim kian buruk dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu, Zadrak mendorong masyarakat desa agar memperkuat pangan lokal di setiap daerah. NTT merupakan daerah yang kaya pangan lokal selain beras, yang produktivitasnya tetap terjaga kendati iklim terus berubah. Pangan dimaksud seperti pisang, umbi-umbian, jagung, dan kacang-kacangan.
Berdasarkan pemetaan di empat pulau, yakni Lembata, Rote, Sabu, dan sebagian Timor, didapat setidaknya 36 jenis pangan lokal. Jumlah tersebut belum termasuk Pulau Sumba, Flores, Kepulauan Alor, dan sejumlah pulau kecil lainnya.
”Kalau pangan lokal kita sudah tersedia dan kita pun bangga mengonsumsinya, kita tidak perlu risau ketika tidak ada beras. Kita masih bisa hidup dengan makanan kita. Kita mengalami yang namanya kedaulatan pangan,” ujarnya.
Dalam catatan Kompas, gerakan memperkuat pangan lokal mulai dilakukan di berbagai perkampungan. Di kampung O’aem, Kabupaten Kupang, warga menggelar festival pangan lokal setiap tahun. Di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, ada warga yang membuka warung di tengah kebun dengan menu pangan lokal.