Melindungi bahasa daerah merupakan jalan menjaga identitas sekaligus merawat peradaban.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
FRANSISKUS PATI HERIN
Tampilan layar berisi peta revitalisasi bahasa daerah di NTT saat dipaparkan dalam rapat koordinasi yang digelar Kantor Bahasa NTT di Kota Kupang, Senin (27/3/2023).
KUPANG, KOMPAS — Bahasa daerah di Nusa Tenggara Timur terus direvitalisasi agar lestari lintas generasi. Upaya ini dilakukan mengingat banyak bahasa daerah berada di ambang kepunahan. Disadari pula bahwa melindungi bahasa daerah merupakan jalan menjaga identitas sekaligus merawat peradaban.
Pandangan itu mengemuka dalam pembukaan rapat koordinasi antar-instansi yang membicarakan tentang pelindungan bahasa daerah di NTT. Acara yang digelar Kantor Bahasa NTT itu berlangsung di Kota Kupang, Senin (27/3/2023) petang.
Kepala Kantor Bahasa NTT Elis Setiati melaporkan, sepanjang 2022, pihaknya melakukan revitalisasi terhadap lima bahasa daerah, yakni Dawan, Manggarai, Rote, Kambera, dan Abui. ”Tahun 2023 ini ditambah dua lagi, yakni Adang dan Kabola,” ujarnya.
Bentuk revitalisasi bahasa daerah adalah dengan melatih para guru utama sebagai fasilitator untuk mengimplementasikan penggunaan bahasa daerah di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Dikatakan bahwa elemen kunci dalam menjaga bahasa daerah adalah keluarga, sekolah, dan komunitas.
FRANSISKUS PATI HERIN
Pembukaan rapat koordinasi antar-instansi yang membicarakan tentang pelindungan bahasa daerah di NTT. Acara yang digelar Kantor Bahasa NTT itu berlangsung di Kota Kupang, Senin (27/3/2023).
Jika hal itu dilakukan dengan baik, program revitalisasi akan mendorong anak-anak menjadi penutur aktif. Disadari, saat ini penutur aktif bahasa daerah didominasi orang dewasa, itu pun kebanyakan di perkampungan. Sementara di perkotaan, didominasi bahasa Melayu dengan dialek setempat.
Kantor Bahasa NTT menargetkan akan menghasilkan 251 guru dari wilayah persebaran bahasa daerah yang sedang direvitalisasi itu. Para guru dimaksud akan menularkan kepada guru-guru lain yang nantinya diharapkan menjadi pengajar di komunitas mereka masing-masing.
Menurut data Kantor Bahasa NTT, secara keseluruhan di NTT terdapat 72 bahasa daerah atau sekitar 10 persen dari total 718 bahasa daerah di Indonesia. NTT menjadi penyumbang bahasa daerah terbanyak ketiga. Dari 72 bahasa itu, empat bahasa daerah terancam punah.
Bahasa dimaksud adalah Beilel, Sar, Kafoa, dan Nedebang. Semuanya berada di Kabupaten Alor. Kuat dugaan, masih banyak bahasa daerah yang terancam punah, tapi belum teridentifikasi. Penyebabnya adalah jumlah penutur yang berkurang akibat migrasi masyarakat dari luar atau kawin campur yang membuat anak tidak menguasai bahasa kedua orangtuanya.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Pasar Nangablo berada di perbatasan Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende di Pulau Flores, NTT, Rabu (22/6/2022). Di pasar itu, warga menggunakan bahasa daerah Sikka dan Lio.
Sementara itu, Staf Khusus Gubernur NTT Bidang Pendidikan Willi Toisuta, dalam sambutannya, mengatakan, pemerintah daerah sangat mendukung revitalisasi bahasa daerah. Ia pun menegaskan bahwa bahasa daerah merupakan identitas dalam merawat peradaban suatu daerah.
Ia bahkan mengingat akan ancaman hilangnya bahasa-bahasa lokal di dunia. ”UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) memperkirakan sekitar 3.000 bahasa lokal akan hilang di akhir abad ini,” ucapnya.
Kendati demikian, sejumlah orangtua di perkampungan pesimistis para guru bisa menjadi agen yang baik dalam menghidupkan bahasa daerah. Mereka juga meragukan bahwa lingkungan sekolah menjadi elemen yang dapat menumbuhkan perkembangan bahasa daerah.
”Sebab, di sekolah, ketika anak berbicara menggunakan bahasa daerah, oleh sekolah dianggap sebagai anak yang bodoh. Bahkan, ada sekolah yang memberikan hukuman kepada anak yang berbahasa daerah,” ujar Merselina Nogo (45), warga di Kabupaten Flores Timur.