Suara untuk Masyarakat Adat dari Sudut Kota Cantik
Masyarakat adat jadi kunci pelestarian dan penjaga hutan yang ulung. Menjaga hutan sama dengan menjaga budaya. Suara-suara itu muncul di sudut kota-kota cantik dalam panggung aspirasi budaya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Hutan dan kekayaan alam di dalamnya lebih baik dikelola masyarakat. Pengetahuan dan teknologi yang bijak dari mereka mampu menjaga keseimbangan alam.
Begitulah seruan-seruan yang mengemuka dalam aksi Panggung Aspirasi Budaya yang diselenggarakan berbagai pemuda dan mahasiswa di Kota Cantik-Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Sabtu (25/3/2023). Mereka tergabung dari beberapa lembaga, mulai dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Palangkaraya hingga Himpunan Mahasiswa Papua di Palangkaraya.
Para pemuda dan mahasiswa itu berkumpul untuk merayakan kembali Hari Masyarakat Adat Nasional. Tidak seperti aksi demonstrasi mahasiswa biasanya, kali ini mereka menggelar panggung budaya dengan satu seruan, ”Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat” yang tertera di beberapa baliho dengan coretan cat semprot. Puluhan mahasiswa itu mengenakan busana adat dari asal mereka masing-masing, mulai dari pakaian suku Dayak, Papua, Nias, Batak, hingga Flores.
Sore itu, kawasan Tugu Soekarno di Jalan S Parman, Palangkaraya, dipenuhi mahasiswa. Di depan patung Soekarno yang sedang menunjuk, mereka mengawalinya dengan membaca naskah Pancasila.
Acara berlanjut dengan penampilan beberapa mahasiswa dengan kesenian daerahnya masing-masing. Ada yang memperagakan busana, membaca puisi, menyanyikan lagu daerah, hingga menampilkan tarian-tarian yang menggetarkan hati.
”Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa, hancurkan budayanya. Relakah ini terjadi?” tanya Ketua PMKRI Cabang Palangkaraya Rahel Dewi Sartika saat berpidato.
Pidato itu disambut teriakan para pemuda dari berbagai sudut ruang terbuka itu. Beberapa anak-anak Papua menggenggam busur panah dan mengangkatnya, beberapa lagi memegang bendera Merah Putih dan yang lain mengepal tangan kiri ke udara.
Acara berlanjut. Beberapa mahasiswa Papua mengambil panggung. Mereka melepaskan anak-anak panah, seakan sedang berada di hutan memburu babi hutan. Mereka berteriak kegirangan saat anak panah menembus jantung si buruan.
Buruan itu dipotong beberapa bagian, masing-masing mengambil bagiannya. Mereka pulang dan disambut oleh keluarga dan kerabat mereka di kampung. Hasil buruan pun dibagikan kepada orang-orang di kampung.
Drama itu membekas di kepala mahasiswa Dayak yang hadir. Mereka tak asing dengan cara berburu itu. Rahel, misalnya, yang berasal dari Delang, Kabupaten Lamandau, Kalteng, masih ingat bagaimana orangtua, kakek, juga keluarganya berburu di hutan sekitar kampungnya.
Rahel mengingat kembali peralatan yang disiapkan untuk berburu, mulai dari mandau, tombak, hingga sumpit atau yang dikenal dengan sebutan sipet. Mereka biasanya ditemani seekor anjing saat berburu untuk mengejar target buruan.
Setelah daging didapat, kata Rahel, semua orang di rumah hingga tetangga kebagian. Budaya itu masih dijaga hingga saat ini meski tak sesering dulu.
Di sisi lain, para perempuan lihai meramu. Rahel mengingat beberapa masakan khas Dayak Tomun yang semuanya berasal dari hutan, mulai dari memasak daging dalam bambu, daun sangkubak yang membuat makanan jadi gurih, hingga sayuran-sayuran liar yang tumbuh begitu saja.
Rahel juga mengingat harumnya jamur-jamur segar yang tumbuh di atas kayu lapuk seusai hujan reda. Jamur itu bisa dimakan dan jadi masakan favorit masyarakat Dayak. Belum lagi kecombrang atau bunga potok yang dijadikan sambal menemani ikan bakar dari Sungai Delang.
Semua aktivitas masyarakat adat itu bisa hilang. Rahel sadari itu. Begitu juga Bella Siska, mahasiswi asal Dayak Maanyan. Bella membacakan puisi dalam bahasa Maanyan berjudul Budaya Indonesia. Demikian penggalan syairnya:
”Pulau jawa sah tatau andri kasegahen batik ni (Pulau Jawa yang kaya akan keindahan batiknya). Kalimantan sah tatau andri kakau kayuni (Kalimantan yang kaya akan pepohonannya). Papua sah segah andri Raja Ampatni (Papua yang indah dengan Raja Ampatnya). Oh nagariku,tuu henemasam budayaku iti (Oh Negeriku, sungguh beragama budaya ku ini).”
Bagi Bella, budaya di Kalimantan bakal hilang ketika pepohonan atau hutan ikut hilang. ”Bukan antimodern, tapi paling tidak budaya tidak boleh tergerus oleh teknologi,” katanya.
Dalam diskusi sebelumnya, Koordinator Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi mengungkapkan, hutan beserta keragaman hayati di dalamnya lebih baik dikelola oleh masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki pengetahuan lokal dan teknologinya sendiri untuk mengelola alam tanpa harus merusaknya.
Menurut Habibi, hutan lebih baik dikelola oleh masyarakat adat. Ini merupakan refleksi dari banyak fakta yang ditemukan selama ini. Masyarakat adat mempunyai peran penting dalam menjaga kelestarian hutan.
Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) mencatat, sebanyak 80 persen dari keanekaragaman hayati hutan dunia yang tersisa terletak di wilayah masyarakat adat. Bahkan, tanah adat menyimpan setidaknya 24 persen karbon karena tanah mereka ini berada di hutan tropis dunia.
”Hubungan antara hutan dan masyarakat adat bukan sekadar hubungan antar-obyek. Keduanya saling menjaga dan saling membutuhkan antara subyek yang satu dengan yang lain,” kata Habibi.
Hutan Todak boleh sekadar menjadi obyek eksploitasi untuk keuntungan ekonomi semata. ”Masyarakat adat sering digusur dan dianggap menghalangi ekspansi dan eksistensi program pemerintah atau perusahaan swasta, padahal mereka yang selama ini mempunyai peran penting dalam menjaga kelestarian,” katanya.
Di akhir aktivitas Panggung Aspirasi Budaya, para mahasiswa meneriakkan ”Segera sahkan RUU Masyarakat Adat!”