Tradisi ”mabuug-buugan” yang dijalankan dan dilestarikan warga Desa Adat Kedonganan, Kuta, Badung, juga lekat dengan Tri Hita Karana, yaitu upaya menjaga hubungan yang harmonis dengan sosial dan lingkungan.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·4 menit baca
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Keceriaan dan kegembiraan terpancar dari krama (warga) dan yowana (pemuda dan pemudi) Desa Adat Kedonganan, Kedonganan, Kuta, Kabupaten Badung, Bali, selesai mengikuti tradisi mabuug-buugan di tengah hutan mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Kamis (23/3/2023).
Teriakan bergembira menyambut percikan air suci, atau tirta, dari jero pamangku. Warga, yang mayoritas anak-anak dan remaja, dari Desa Adat Kedonganan, Kelurahan Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali, kemudian berduyun-duyun masuk ke kawasan Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Kamis (23/3/2023).
Mereka berjalan menyusuri sungai kecil hingga masuk bagian tengah hutan bakau Prapat Benoa. Tiba di bagian tengah Prapat Benoa, warga kemudian mengambil lumpur berwarna kecoklatan lalu melumuri badan hingga wajah mereka. Beberapa orang juga mengambil lumpur itu untuk melumuri badan atau wajah temannya. Alih-alih marah, justru tawa ceria yang muncul dari mereka.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Krama (warga) dan yowana (pemuda dan pemudi) Desa Adat Kedonganan, Kedonganan, Kuta, Kabupaten Badung, saling membalurkan lumpur hutan bakau ketika mengikuti tradisi mabuug-buugan di tengah hutan mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Kamis (23/3/2023).
”Seru,” kata Ni Kadek Candri (14). Remaja putri asal Kedonganan itu tertawa dengan wajah bertopeng lumpur. ”Ini menarik sekali. Baru pertama kali ikut,” ujar Candri disusul tawa.
Mahyuni (35) juga larut dalam suasana riuh di tengah hutan bakau Prapat Benoa, Kamis (23/3). Mahyuni mengajak putranya, Agung Bagus (10), turut dalam keramaian mabuug-buugan. ”Keluarga juga ikut,” ujar Mahyuni sambil menggenggam lumpur kecoklatan.
Suami Mahyuni, Agung Raka (40), mengungkapkan, mereka merasa senang mengikuti tradisi mabuug-buugan atau mandi lumpur hutan bakau. Raka juga menyatakan sudah beberapa kali mengikuti tradisi mabuug-buugan yang digelar saat Ngembak Geni atau sehari setelah hari suci Nyepi. Setahun lalu, tradisi mabuug-buugan digelar setelah selama 2020 sampai 2021 tradisi itu tidak dilangsungkan akibat situasi pandemi Covid-19.
”Ini kali kedua setelah pandemi Covid-19,” kata Raka.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Krama (warga) dan yowana (pemuda dan pemudi) Desa Adat Kedonganan, Kedonganan, Kuta, Kabupaten Badung, berkumpul di sekitar gedung Wantilan Palghuna Pura Kedonganan sebelum mengikuti tradisi mabuug-buugan di tengah hutan mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Kamis (23/3/2023).
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Krama (warga) dan yowana (pemuda dan pemudi) Desa Adat Kedonganan, Kedonganan, Kuta, Kabupaten Badung, berdoa bersama di pelataran Pura Dalem Kahyangan Desa Adat Kedonganan sebelum mengikuti tradisi mabuug-buugan di tengah hutan mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Kamis (23/3/2023).
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Krama (warga) dan yowana (pemuda dan pemudi) Desa Adat Kedonganan, Kedonganan, Kuta, Kabupaten Badung, menerima tirta (air suci) yang dipercikkan jero pamangku sebelum mengikuti tradisi mabuug-buugan di tengah hutan mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Kamis (23/3/2023).
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Krama (warga) dan yowana (pemuda dan pemudi) Desa Adat Kedonganan, Kedonganan, Kuta, Kabupaten Badung, menyusuri sungai di tengah hutan bakau untuk mengikuti tradisi mabuug-buugan di tengah Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Kamis (23/3/2023).
Dikutip dari Widyanatya, Jurnal Pendidikan Agama dan Seni Fakultas Pendidikan Universitas Hindu Indonesia, I Made Sudarsana dan Ida Ayu Gede Prayitna Dewi menyebutkan, mabuug-buugan direkonstruksi sejak 2014 setelah tradisi masyarakat Desa Adat Kedonganan itu ditinggalkan selama hampir 60 tahun.
Mabuug-buugan adalah tradisi permainan menggunakan lumpur atau buug di hutan bakau. Tradisi mabuug-buugan juga dikaitkan dengan penerapan konsep Tri Hita Karana karena tradisi itu sangat relevan dengan upaya masyarakat untuk menjaga hubungan yang harmonis atau interaksi sosial masyarakat dan ekologi lingkungan alam.
Kepala Desa Adat (Jero Bandesa) Kedonganan I Wayan Sukarja mengatakan, tradisi mabuug-buugan dimaknai sebagai bentuk pembersihan diri untuk menyambut tahun baru Saka. Tradisi mabuug-buugan digelar warga Desa Adat Kedonganan sehari setelah Nyepi, atau saat Ngembak Geni, yang menandai awal aktivitas masyarakat setelah menjalani Catur Brata Penyepian selama hari suci Nyepi.
”Dua tahun, yakni selama 2020 sampai 2021, tradisi ini terhenti akibat masih suasana pandemi Covid-19,” kata Sukarja. ”Sejak tahun lalu tradisi ini dapat kembali dilangsungkan,” ujar Jero Bandesa Desa Adat Kedonganan itu menambahkan.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Krama (warga) dan yowana (pemuda dan pemudi) Desa Adat Kedonganan, Kedonganan, Kuta, Kabupaten Badung, saling membalurkan lumpur hutan bakau ketika mengikuti tradisi mabuug-buugan di tengah hutan mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Kamis (23/3/2023).
Tradisi mabuug-buugan menjadi permainan yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat Desa Kedonganan pada era penjajahan Jepang tahun 1942 sampai 1945.
Krama (warga) Desa Adat Kedonganan patut berbangga akan tradisi mabuug-buugan yang dimilikinya. Dalam tulisan berjudul ”Aktualisasi Tradisi Mabuug-buugan sebagai Benteng Budaya di Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung” pada Widyanatya, Jurnal Pendidikan Agama dan Seni Fakultas Pendidikan Universitas Hindu Indonesia Volume 1 Nomor 2 Tahun 2019, I Made Sudarsana dan Ida Ayu Gede Prayitna Dewi, tradisi mabuug-buugan menjadi permainan yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat Desa Kedonganan pada era penjajahan Jepang tahun 1942 sampai 1945. Tradisi mabuug-buugan kemudian mengalami masa pasang dan masa surut sejak 1946 sampai 1965.
Mabuug-buugan berasal dari kata buug yang berarti ’lumpur’. Buug juga merujuk pada bumi atau pertiwi. Menurut Jero Bandesa Desa Adat Kedonganan, tradisi mabuug-buugan juga lekat dengan upaya menjaga kesucian dan kelestarian hutan atau wana kerthi karena tradisi dijalankan para krama (warga) Desa Adat Kedonganan di tengah hutan bakau Prapat.
Tradisi mabuug-buugan juga bentuk penghormatan atau pemulian kepada laut atau segara kerthi karena warga diajak membersihkan diri di pantai seusai mabuug-buugan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah memasukkan tradisi mabuug-buugan masyarakat Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Badung, Bali, sebagai warisan budaya takbenda dalam domain adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Krama (warga) dan yowana (pemuda dan pemudi) Desa Adat Kedonganan, Kedonganan, Kuta, Kabupaten Badung, saling membalurkan lumpur hutan bakau ketika mengikuti tradisi mabuug-buugan di tengah hutan mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Kamis (23/3/2023).
Sebelum mengikuti tradisi mabuug-buugan, Kamis (23/3), prajuru (pengurus) desa adat mengumpulkan krama (warga) dan yowana (pemuda dan pemudi) di area Wantilan Palghuna Pura Kedonganan. Mereka kemudian berjalan kaki ke kawasan hutan bakau Prapat yang berada di timur Desa Adat Kedonganan.
Setelah seluruh krama dan yowana berkumpul di pelataran Pura Dalem Kahyangan Desa Adat Kedonganan yang berada di sekitar hutan bakau, jero bandesa memberikan pengarahan, antara lain, perihal tujuan mabuug-buugan adalah untuk membersihkan diri dan menghilangkan kekotoran. Oleh karena itu, para peserta mabuug-buugan diharapkan berperilaku sopan selama mengikuti tradisi itu.
Candri dan kawannya tertawa dan bergembira saat mereka saling mengusapkan lumpur hutan bakau. Mereka tidak khawatir atau takut jikalau badan, bahkan wajah, menjadi kotor akibat lumpur. ”Nanti, kan, bisa dibilas di segara,” ujar Candri dengan nada ceria.