Toleransi hanya bisa muncul jika perbedaan tak dianggap sebagai tembok penyekat, seperti yang tertanam erat dalam pemikiran warga di kaki Gunung Lawu.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Toleransi hanya bisa muncul jika perbedaan tak dianggap sebagai tembok penyekat. Perbedaan itu mesti dilihat bagaikan kembang beragam warna. Pemahaman semacam itu tertanam erat dalam pemikiran sekelompok warga di kaki Gunung Lawu, Jawa Tengah. Bibit kerukunan yang ditabur sejak lama membuat bunga toleransi bermekaran.
Hujan baru saja reda. Matahari sore pelan-pelan mengintip. Sinar jingganya menghangatkan hawa dingin yang sedari pagi menyelimuti Pedukuhan Jlono, di Desa Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (22/3/2023). Pedukuhan itu hanya berjarak dalam radius 8 kilometer dari puncak Gunung Lawu.
Kepergian rintik hujan mendorong tiga pria keluar dari rumahnya. Mereka segera saja berjalan kaki mengelilingi kampung yang sedang sunyi senyap. Tak terdengar sama sekali suara aktivitas warga. Bunyi gesekan daun yang tertiup angin hingga gemericik air yang beradu di kolam malah lebih cepat masuk telinga.
Ketiga pria tersebut melangkahkan kaki pelan-pelan. Mereka enggan membikin kegaduhan. Mata mereka begitu jeli mengawasi setiap rumah yang dilewati. Mereka ingin memastikan bahwa pintu-pintu rumah tersebut telah dikunci rapat oleh para pemiliknya.
”Ini sudah menjadi tradisi di pedukuhan kami setiap kali perayaan Nyepi. Banyak warga melakukan ibadah menyepinya di pura setempat sehingga rumahnya ditinggalkan kosong. Warga yang beragama lain membantu berjaga sampai ibadah menyepi selesai,” kata Wakil RT 001 RW 015 Pedukuhan Jlono, Cipto (47), yang ikut berkeliling sore itu.
Lebih kurang jumlah warga di pedukuhan tersebut mencapai 200 orang. Sekitar 35 persen di antaranya merupakan pemeluk agama Hindu. Sisanya terdiri dari warga beragama Islam dan Kristen. Mereka itulah yang secara sadar melaksanakan penjagaan dan ronda selama umat Hindu menjalani ibadah tapa brata penyepian di Pura Jonggol Shanti Loka yang letaknya di ujung pedukuhan.
Semakin malam, kata Cipto, jumlah warga yang ikut berjaga semakin banyak. Ketika siang hari, rata-rata warga masih bekerja. Malam harinya, seluruh warga juga sudah menyepakati mematikan lampu jalan sampai ibadah penyepian rampung. Untuk itu, penjagaan dan ronda malam semakin terasa penting.
”Ini untuk menghargai teman-teman Hindu yang sedang menyepi. Kan, itu benar-benar harus mati lampu. Walau lampu dimatikan, tetap ada teman-teman yang berjaga seperti ronda di sepanjang jalan. Memang, ada satu-dua rumah yang masih menyalakan lampu, itu biasanya karena punya anak-anak,” ujarnya.
Di sisi lain, Cipto menyatakan sudah berkoordinasi dengan pengurus masjid setempat untuk mengurangi volume pengeras suara. Pasalnya, pelaksanaan tapa brata penyepian kebetulan berbarengan dengan salat tarawih pertama bagi umat Muslim yang akan memasuki masa Ramadhan.
Cipto tak mempermasalahkan kondisi tersebut. Menurut dia, warga setempat telah terbiasa menghormati adanya perbedaan. Semuanya tinggal saling menyesuaikan saja. Kerja sama antarumat beragama juga menjadi hal yang lazim. Misalnya, saat tiba waktunya umat Muslim merayakan Idul Fitri, umat Hindu giliran membantu menjaga ketika sesamanya tengah shalat bersama. Hal sama berlaku bagi umat Kristen.
”Itu namanya toleransi. Kerukunan itu sudah kita jaga. Perbedaan itu, kan, waktu sedang beribadah saja. Selebihnya, kita sama-sama umat manusia yang saling membutuhkan juga. Maka, saya agak heran jika di tempat-tempat lain masih ada yang bertengkar karena agama,” kata Cipto.
Pemangku Pura Jonggol Shanti Loka Gimanto mengungkapkan, sebenarnya umat Hindu tidak pernah menuntut agar warga setempat memahami mereka yang sedang menjalankan penyepian. Kepedulian warga, menurut dia, tumbuh secara alami. Ia menganggap kemunculan toleransi didorong oleh pengalaman hidup bersama sekian lama. Kebiasaan saling jaga juga muncul begitu saja hingga menjadi tradisi kampung tersebut.
Lebih lanjut, tutur Gimanto, terdapat kebiasaan anjangsana, atau silaturahmi, ke rumah warga setempat lainnya setelah selesai ibadah penyepian. Dalam kesempatan itu, mereka memohon maaf apabila sepanjang tahun memiliki banyak kesalahan. Mirip seperti silaturahmi saling memaafkan ketika perayaan Idul Fitri. Oleh karena itu, sampai muncul ungkapan, warga pedukuhan tersebut bisa merayakan Lebaran dua kali dalam setahun.
”Kami sadar, kami hidup bukan dengan orang Hindu saja. Kami juga hidup dengan orang-orang lain yang bukan beragama Hindu saja. Kita semua saling bersinggungan dan mungkin juga berbuat salah. Jadi, kami juga memohon maaf kepada warga beragama lainnya,” kata Gimanto saat ditemui, Selasa (21/3/2023).
Apa yang terjadi di Pedukuhan Jlono sebenarnya puncak dari toleransi. Ada perasaan saling membutuhkan sama lain. Itulah yang dinamakan inklusi.
Akan tetapi, momen anjangsana dari rumah ke rumah ditunda pelaksanaannya. Sebab, selesainya penyepian bersamaan dengan dimulainya hari pertama puasa. Gimanto khawatir jika niat baik dari anjangsana justru mengganggu sesama yang sedang menjalankan ibadah tersebut. Menurut rencana, anjangsana akan dilaksanakan berbarengan pada waktu Idul Fitri nanti.
Ketua Karang Taruna Karya Bineka Bakti Pedukuhan Jlono Agus Suparno menyatakan, kebinekaan menjadi karakter warga dari pedukuhannya. Kesadaran untuk mengakui perbedaan latar belakang hidup di dalam diri masing-masing warga. Dicontohkannya, saat mengadakan pengajian, warga memilih penceramah yang memiliki pandangan moderat. Dengan demikian, tidak akan mengoyak semangat persatuan yang lebih dahulu dijadikan pedoman.
Kuatnya karakter kebinekaan, ungkap Agus, bisa dilihat di keluarganya yang memeluk agama berbeda-beda. Ayah dan ibunya beragama Hindu. Agus dan kakak pertamanya beragama Islam, sedangkan kakak keduanya beragama Kristen. Perbedaan justru mempererat tali persaudaraan. Setengah berkelakar, ia semacam berlebaran tiga kali dalam hari-hari besar keagamaan yang dipeluk masing-masing anggota keluarganya.
”Harapan saya, kekompakan dan kerukunan ini terus terjaga. Kita tidak usah memedulikan agama yang berbeda-beda. Hidup bermasyarakat harus gotong royong dan rukun,” kata Agus.
Dihubungi terpisah, Direktur Riset Setara Institute Halili mengatakan, praktik kebinekaan di Pedukuhan Jlono sepatutnya diteladani masyarakat perkotaan yang belakangan rentan dipengaruhi konservatisme agama dengan faktor politik.
Kentalnya dimensi politik membuat pengentalan identitas. Kondisi seperti itu memicu terjadinya ketegangan tensi hingga perpecahan di tengah masyarakat yang begitu majemuk seperti di Indonesia. Hendaknya kearifan lokal yang mengusung tinggi semangat inklusivitas bisa diresapi dengan baik oleh warga perkotaan.
”Apa yang terjadi di Pedukuhan Jlono sebenarnya puncak dari toleransi. Ada perasaan saling membutuhkan satu sama lain. Itulah yang dinamakan inklusi. Mereka menganggap sesamanya sebagai bagian untuk menyempurnakan hidupnya. Oleh karenanya, mereka bergaul secara terbuka,” kata Halili.