Koalisi Masyarakat Sipil: Standar Berbeda dalam Kasus Sambo dan Tragedi Kanjuruhan
Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada standar berbeda dalam penyelesaian kasus Sambo dan Tragedi Kanjuruhan. Kasus Sambo ditangani sangat atraktif, sementara Tragedi Kanjuruhan sebaliknya.

Situasi area dalam Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Senin (31/10/2022), Pecahan kaca dan sepatu ditemukan di beberapa titik.
MALANG, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada standar berbeda dalam penyelesaian kasus Sambo dan Tragedi Kanjuruhan. Kasus Sambo disebut ditangani dengan sangat atraktif, sementara Tragedi Kanjuruhan diperlakukan sebaliknya.
Demikian salah satu poin dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil terkait penyampaian temuan atas pemantauan proses hukum dan persidangan Tragedi Kanjuruhan 20 Januari-16 Maret 2023 di Pengadilan Negeri Surabaya, yang disiarkan melalui akun Youtube Kontras, Selasa (21/3/2023).
Koalisi Masyarakat Sipil terdiri atas berbagai organisasi. Adapun tim pemantauan kasus tersebut antara lain Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang, LBH Surabaya, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Hadir dalam siaran pers tersebut, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti, serta Koordinator LBH Pos Malang Daniel Alexander Siagian.
Baca juga: Vonis Ringan, Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Minta Jaksa Banding

Rini Hanifah (43) memegang foto anaknya, Agus Rainsyah, yang menjadi korban dalam Tragedi Kanjuruhan dalam sidang perdana kasus Tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, Senin (16/1/2023). Sidang dilakukan secara daring dengan diikuti para terdakwa dari di dalam Rutan Polda Jatim. Lima tersangka kasus Tragedi Kanjuruhan yang akan diadili adalah Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris, Security Officer Suko Sutrisno, Danki 3 Brimob Polda Jatim Ajun Komisaris Has Darmawan, Kabag Ops Polres Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, dan Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi.
Muhammad Isnur menunjukkan, ada perlakuan berbeda dalam penanganan kasus Tragedi Kanjuruhan apabila dibandingkan dengan kasus yang terjadi berdekatan, yaitu kasus Sambo cs. Dia menyoroti perbedaan sikap hakim dalam dua kasus itu.
Menurut Isnur, hakim di kasus Sambo sangat atraktif, mengejar dan bahkan bisa mengevaluasi keterangan masing-masing orang. Sementara dalam kasus Kanjuruhan, hakim diam, cenderung pasif, tidak berupaya menggali fakta yang terjadi dan tidak punya inisiatif membongkar yang sesungguhnya.
”Apa ada standar berbeda bagi hakim dalam bekerja? Maka kami mendesak Hakim Agung, Komisi Yudisial, untuk turun tangan menyelidiki terkait etik hakim ini,” katanya.
Menurut dia, seharusnya hakim berusaha mengungkap kebenaran materiil. Bukan memberikan legitimasi berita acara pemeriksaan atau pembelaan dari kepolisian.
Kritik lain Isnur adalah untuk kejaksaan. Dalam kasus Tragedi Kanjuruhan, kejaksaan dinilai gagal menjadi dominus litis atau pemegang kekuasaan penuntutan dan pengendali perkara. ”Karena upaya penuntutan di ruang sidang tak lebih dari tukang pos yang hanya mengantarkan BAP (berita acara pemeriksaan) ke ruang sidang,” katanya.
Baca juga: Dua Polisi Terdakwa Kasus Kanjuruhan Divonis Bebas, Satu Lainnya Dihukum 1,5 Tahun Penjara

Rekaman video CCTV Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, saat tragedi yang menewaskan 135 orang Sabtu (1/10/2022). Terlihat lampu di lorong anak tangga bagian Pintu 12 dalam justru padam di tengah orang-orang yang terjebak berusaha menyelamatkan diri.
Fatia Maulidiyanti juga menyoroti perbedaan perlakuan serupa oleh polisi. Menurut dia, ada standar berbeda polisi dalam penanganan kasus Sambo dan Tragedi Kanjuruhan.
”Ketika terjadi penembakan oleh Sambo, polisi menaruh atensi sangat besar, hingga penyelidikannya dilakukan tim khusus. Kenapa dalam Tragedi Kanjuruhan ini proses hukumnya tetap ditangani Polda Jatim? Bagaimana mungkin mereka menyelidiki rekannya sendiri?” katanya.
Fatia juga menyebut bahwa sidang Tragedi Kanjuruhan tidak mendapat atensi khusus sehingga bisa memberikan tekanan negara untuk melakukan proses reformasi kepolisian. ”Seakan-akan persidangan ini hanya formalitas dan tidak menyebabkan efek jera ke kepolisian,” katanya.
Tragedi terkait dunia sepak bola ini, menurut Fatia, bahkan tidak memunculkan pertanggungjawaban dari institusi penyelenggara sepak bola, yaitu PSSI dan FIFA. Proses investigasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta Tragedi Kanjuruhan tidak ada rekomendasi menyeluruh, selain mengganti ketua PSSI.
”Bagaimana tanggung jawab PSSI semestinya juga ditagih,” katanya.
Bahkan, menurut Fatia, FIFA sebagai federasi sepak bola dunia, juga tidak memberikan ganjaran pada PSSI karena tidak memberikan sanksi atas tragedi sebesar itu. Seakan-akan 135 nyawa meninggal seperti angin lalu saja, dan tidak ada tanggung jawab menyeluruh.
Bahkan, kata dia, sebelum sidang ada intimidasi dan beberapa bentuk stigmatisasi yang dilakukan oknum ataupun oleh negara, terkait budaya suporter yang dianggap sebagai penyebab peluncuran gas air mata.
”Tetapi itu sebenarnya bukan pembenaran untuk penggunaan senjata yang mematikan itu. Seharusnya fokus pada penggunaan senjata mematikan di lapangan di mana itu tak boleh dilakukan atau dilarang,” katanya.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan dan Kampung-kampung yang Berselimut Kain Hitam

Sebuah tulisan menyayat hati terpampang di sebelah pintu keluar Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, saat diabadikan, Jumat (7/10/2022) sore, bersamaan dengan tujuh hari Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan ratusan suporter Aremania.
Dengan beberapa temuan itu, Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti penanganan Tragedi Kanjuruhan akan menjadi contoh buruk untuk perjuangan keadilan di Indonesia. Menurut Isnur, adalah vonis itu tidak akan membawa dampak perubahan pada sepak bola di Indonesia.
”Kalau perkara sebesar dan sebrutal Tragedi Kanjuruhan saja polisi bisa mengakali, kejaksaan dan pengadilan gagal menghadirkan keadilan, bagaimana keadilan-keadilan lain?” kata Isnur menambahkan.
Dalam kesempatan itu, Koalisi Masyarakat Sipil tetap menyerukan ada beberapa hal harus dilakukan oleh negara. Di antaranya mendesak presiden; Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM; Kepala Polri; Kepala Jaksa Agung; serta pihak terkait lain untuk memastikan Tragedi Kanjuruhan dapat diungkap secara tuntas.
”Pengungkapan tuntas ini dengan tidak hanya menyentuh aktor lapangan saja, tapi juga menyeret aktor high level,” kata Daniel Alexander Siagian.
Baca juga: Permainan Tiket di Kanjuruhan

Security officer Suko Sutrisno berdoa seusai vonis yang diberikan kepadanya dalam sidang kasus Tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur, Kamis (9/3/2023). Hakim Ketua Abu Achmad Sidqi Amsya menjatuhkan vonis 1 tahun dan 6 bulan kepada Abdul Haris dan vonis 1 tahun kepada Suko Sutrisno. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu 6 tahun dan 8 bulan penjara. Keduanya telah menjalani masa penahanan oleh penyidik Polda Jatim sejak 24 Oktober 2022 lalu hingga saat ini selama proses persidangan.
Daniel menambahkan, Koalisi Masyarakat Sipil juga mendesak Kapolri untuk memulai penyelidikan dan penyidikan kembali. Sejauh ini, Polda Jatim dinilai gagal membawa kebenaran dan pelaku ke pengadilan.
”Kami juga mendesak Komisi Yudisial memeriksa majelis hakim yang mengadili tragedi ini, atas dugaan pelanggaran kode etik, dan membuka hasil temuannya sebagai proses pemantauan yang selama ini dilakukan,” katanya.
Sebelumnya, hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya sudah memvonis lima tersangka (dari 6 tersangka) Tragedi Kanjuruhan. Mantan Komandan Kompi Brimob Polda Jatim Ajun Komisaris Hasdarmawan dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan.
Sementara itu, mantan Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi dan mantan Kepala Bagian Operasional Polres Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto justru divonis bebas.
Sebelumnya, majelis hakim juga menjatuhkan vonis ringan kepada Ketua Pantia Pelaksana Arema FC Abdul Haris dan security officer Arema FC Suko Sutrisno. Haris dihukum 1 tahun 6 bulan dan Suko hanya dihukum 1 tahun penjara. Semua vonis itu jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa.
Vonis itu dinilai mencederai rasa keadilan dan mengecewakan keluarga korban karena tidak sebanding dengan jumlah korban. Tragedi 1 Oktober 2022 itu merenggut 135 jiwa dan mencederai lebih dari 600 orang.
Baca juga: Vonis Para Terdakwa Tragedi Kanjuruhan Dianggap Menjauhi Keadilan