Rayakan ”Meugang”, Aceh Sediakan 29.976 Ekor Ternak
”Meugang” merupakan tradisi warga Aceh menyambut Ramadhan dengan menikmati masakan daging. ”Meugang” dirayakan beberapa hari sebelum Ramadhan. ”Meugang” diartikan sebagai menyambut Ramadhan dengan sukacita.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Umat Islam di Aceh bersiap merayakan tradisi meugang dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Sebanyak 29.976 ekor ternak sapi dan kerbau disediakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging pada hari meugang.
Pantauan Kompas pada Senin (20/3/2023), pasar-pasar tradisional di Aceh Besar dan Banda Aceh mulai ramai oleh pedagang daging musiman. Daging segar sapi lokal digantung pada kayu atau bambu. Tawar-menawar antara pembeli dan penjual membuat suasana pasar terasa hidup.
Meugang merupakan tradisi warga Aceh menyambut Ramadhan dengan menikmati masakan daging. Meugang dirayakan beberapa hari sebelum Ramadhan. Meugang diartikan sebagai menyambut Ramadhan dengan sukacita. Meugang juga menjadi momen memperkuat tali persaudaraan anggota keluarga.
Seorang pedagang daging di Banda Aceh, Imran, menuturkan, harga daging sapi masa meugang naik menjadi Rp 170.000 per kilogram, padahal hari biasa hanya Rp 140.000 per kg. Permintaan daging melesat ikut mendorong kenaikan harga.
Imran menjual daging sapi lokal. Meski harganya tinggi, dagangannya tetap laris. Warga Aceh dominan mengomsumsi daging sapi lokal karena dianggap lebih sehat dan rasanya lebih manis.
Bagi warga Aceh, meugang menjadi hari sakral. Nyaris tidak ada keluarga yang tidak merayakan meugang. Biasanya komunitas perantau akan merayakan meugang bersama. Kelompok peduli sosial akan membagikan daging kepada keluarga kurang mampu.
Seorang warga Banda Aceh, Ishak (38), mengatakan, kenaikan harga daging pada hari meugang kondisi normal karena permintaan meningkat. Kenaikan tidak terlalu jauh dibandingkan tiga tahun sebelumnya. Bahkan, pada tahun 2018, harga daging meugang berkisar Rp 150.000 hingga Rp 170.000 per kg.
Sebagian besar warga telah menyiapkan diri untuk merayakan meugang jauh-jauh hari. Sejumlah uang ditabung untuk dibelanjakan kebutuhan meugang.
Kepala Dinas Peternakan Aceh Zalsufran mengatakan, sebanyak 29.976 ekor ternak baik sapi dan kerbau tersedia di 23 kabupaten kota. Dia memastikan stok daging untuk meugang tercukupi. Selain ketersediaan yang cukup, kenaikan harga juga masih terkontrol.
Zalsufran memperkirakan total ketersediaan daging meugang sebanyak 4.300 ton. Dengan harga jual Rp 170.000 kg, maka setara dengan nilai Rp 731 miliar. ”Perputaran uang selama meugang sangat besar, bukan hanya dari jual-beli daging, melainkan dari bahan pokok lainnya,” katanya.
Dosen Ekonomi Universitas Muhammadiyah Aceh, Mimi Asri, menuturkan, selain sebagai tradisi, meugang juga membuat geliat ekonomi warga bergerak. Selama meugang, transaksi jual-beli meningkat artinya perputaran uang di kalangan warga juga lebih besar.
”Konsumsi menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Mimi.
Sejarawan Aceh, TA Sakti, menuturkan, meugang adalah ritual budaya yang dirawat secara turun-temurun sejak masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa tersebut, sebulan sebelum meugang, para kepala desa mengirimkan nama-nama warga miskin kepada petugas kesultanan. Kesultanan akan menyantuni mereka dengan daging dan kain.
Sakti mengatakan, sebagai kesultanan Islam, bulan suci Ramadhan disambut dengan bahagia. Tradisi makan enak bersama-sama bagian dari rasa bahagia.
Sakti menambahkan, pada hari meugang, anak-anak yang berada di rantau pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan sanak saudara. Apabila ada anak yang tidak bisa pulang, ibunya akan mengirimkan masakan daging ke rantau. Masakan daging itu menjadi ikatan kasih sayang.
Hari meugang juga menjadi momentum bagi orang kaya dermawan untuk berbagi kepada warga miskin. Keluarga besar harus memastikan sanak saudaranya dapat menyantap daging meugang.
”Dulu ada budaya meuripee (urunan). Beberapa keluarga urunan beli sapi, dagingnya dibagi rata,” ujar Sakti.
Selain itu, ada juga yang jual dengan sistem utang, bayar waktu keumeukoh (panen) padi. ”Dulu budaya meuseuraya (gotong royong) kuat, sekarang sangat individualistis,” kata Sakti.
Meski demikian, menurut Sakti, tradisi meugang tidak akan hilang dalam era yang semakin modern. Sebab, selain ada unsur budaya, meugang menjadi bagian kepentingan ekonomi.