Rawan Konflik, 1.200 Hektar Tanah Timbul di Sumsel Diinventarisasi
Kantor ATR/BPN Sumsel mendata keberadaan tanah timbul yang terletak di dua kabupaten. Luas lahan tanah timbul itu mencapai 1.200 hektar. Jika tidak segera diinventarisasi, tanah itu dikhawatirkan akan memicu konflik.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Kondisi Pulau Kemaro di tengah Sungai Musi, Palembang, Sumsel, Senin (8/2/2021). Sungai Musi menjadi urat nadi kegiatan masyarakat Palembang sejak dulu. Namun, keberadaan sungai tengah tergerus karena kecenderungan warga yang mengabaikan sungai.
PALEMBANG, KOMPAS — Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Sumatera Selatan sedang mendata keberadaan tanah timbul yang terletak di dua kabupaten. Luas lahan tanah timbul itu mencapai 1.200 hektar. Jika tidak segera diinventarisasi, tanah itu dikhawatirkan akan memicu konflik di kemudian hari.
Kepala Bidang Penataan dan Pemberdayaan Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Selatan Makmur A Siboro, Kamis (16/3/2023), di Palembang menuturkan, akibat fenomena alam yang terjadi, pihaknya menemukan tanah timbul di dua kabupaten, yakni Banyuasin dan Ogan Komering Ilir. ”Tanah itu muncul di pesisir sungai,” ujarnya.
Luas tanah timbul itu cukup besar, untuk di Ogan Komering Ilir seluas 700 hektar, sedangkan di Banyuasin seluas 500 hektar. Tanah ini harus diinventarisasi terlebih dahulu agar tidak disalahgunakan atau diklaim oleh pihak mana pun. Adanya tanah timbul juga akan berpengaruh pada perubahan garis pantai.
Hamparan sawah yang telah menguning di Dusun IV, Desa Cahaya Alam, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Selasa (19/7/2022). Selain menanam kopi dan sayur-mayur, warga Dusun IV juga menanam padi untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Jika mengacu pada aturan, tanah timbul yang muncul ini akan dikuasai negara yang tentu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan warga setempat. ”Tanah ini bisa digunakan untuk nelayan atau petani setempat yang ingin mengembangkan usahanya,” ujar Makmur.
Jika tidak segera diinventarisasi, lanjut Makmur, dikhawatirkan kawasan ini akan menjadi sumber konflik lahan baru yang bisa saja mencuat. ”Bisa jadi lahan ini akan diperebutkan oleh sejumlah pihak,” ujarnya.
Tanah itu muncul di pesisir sungai.
Makmur yang juga menjabat sebagai Sekretaris Ketua Pelaksana Harian Gugus Tugas Reforma Agraria Sumatera Selatan menyebut, dari hasil pendataan tahun lalu, konflik lahan yang terjadi di Sumsel tidak lepas dari saling klaim lahan perkebunan, sengketa lahan di kawasan perbatasan, dan terkait pelepasan kawasan hutan. ”Masalah inilah yang harus terus diminimalisasi,” ujarnya.
Potensi pertanian
Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Pertanian Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumatera Selatan Ilfantria menyebut, kemunculan lahan baru bisa menjadi potensi pertanian yang bisa digarap. Secara umum, karakteristik lahan pertanian di Sumsel memang unik karena sebagian besar merupakan kawasan pertanian rawa lebak dan pasang surut yang rentan terendam air kala musim hujan dan muncul kembali pada saat kemarau.
Tambak tradisional yang ada di Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Rabu (16/11/2022). Tambak udang windu dan bandeng ini dibuka dengan cara membabat hutan mangrove. Pengelolaan tambang berkonsep ramah lingkungan mulai dicanangkan untuk mengembalikan fungsi hutan bakau di sana.
Padahal, lahan tersebut sangat berpotensi dijadikan sebagai lahan pertanian. Ilfantria menuturkan, saat ini total luas lahan baku sawah di Sumsel mencapai 472.000 hektar. Namun, dari hasil pemeriksaan di lapangan, ada tambahan luas baku sawah sekitar 138.000 hektar.
”Penambahan luas lahan itu juga disertai dengan data poligon,” ujarnya. Penambahan ini juga sebagai upaya untuk mempersiapkan langkah BPN yang akan melakukan tahapan verifikasi luas lahan baku sawah se-Indonesia dalam waktu dekat.
Dengan penambahan ini diharapkan sejumlah bantuan dari pemerintah pusat dapat diterima, utamanya bantuan pupuk bersubsidi dan sarana pertanian dapat berdampak pada bertambahnya produksi gabah di Sumsel. Tahun ini, Sumsel menargetkan penambahan produksi gabah dari 2,76 juta ton gabah kering giling (GKG) pada 2022 menjadi 3,94 juta ton pada 2023.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Petani menggarap lahan sawah di Kecamatan Muara Sugihan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Selasa (7/12/2021). Sebagai provinsi penghasil beras, Sumsel masih dilanda data lahan baku sawah yang timpang.
Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi Sumsel Edward Candra berharap proses inventarisasi dan pemetaan lahan dilakukan secara terperinci. Tujuannya agar ada basis data yang jelas, termasuk untuk mendeteksi potensi konflik yang ada di dalamnya.
”Ini sangat berkaitan dengan pendataan aset, penanganan konflik, dan akses bagi mereka yang berhak,” ujar Edward.
Menurut dia, kejelasan status tanah tentu akan membantu warga untuk bisa meningkatkan taraf ekonomi. ”Karena, dengan status yang jelas, mereka dapat memperoleh bantuan berupa bimbingan atau bahkan modal untuk menjalankan pekerjaannya,” ujar Edward.