Kelompok masyarakat di Kota Samarinda berinisiatif mengarsip ingatan tentang tempat tinggalnya dengan berbagai cara. Mereka percaya, mengumpulkan pengetahuan adalah tameng terkuat dari klaim yang sembarangan.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
Roedy Haryo Widjono memberi kami dua eksemplar buku yang belum lama ini terbit. Ini, kata dia, merupakan salah satu bentuk dari advokasi kebudayaan yang selama ini ia dan kawan-kawannya di Nomaden Institute lakukan. Buku itu ialah Dongeng Dayak Bahau, Sastra Lisan Warisan Leluhur dan Kamus Populer Dayak Punan Kuhi dan Punan Murung.
Buku tersebut merupakan respons terhadap pembangunan dan terbitnya berbagai izin penguasaan lahan yang terus bergeliat di Kalimantan Timur. Ia melihat itu berdampak pada sejumlah pengetahuan yang hilang dan nyaris hilang, tetapi tak terdokumentasikan. Pengetahuan yang ia maksud adalah pengetahuan yang tumbuh dan digali oleh masyarakat yang sudah menetap puluhan atau bahkan ratusan tahun di Kalimantan Timur.
Salah satunya, pengetahuan itu terselip melalui dongeng, cerita rakyat, atau sastra lisan. Kisah-kisah ini, kata Roedy, bisa menjadi cerminan. Untuk itu, ia dan sejumlah kawannya berbincang dan mengais ingatan-ingatan warga mengenai dongeng dan cerita yang dituturkan turun-temurun. Agar tak tergerus ingatan, mereka menggali dan menulisnya.
”Itu kami dokumentasikan dalam bentuk buku, tulisan,” ujar lelaki kelahiran Juli 1958 itu di ruang kerjanya di Samarinda, Sabtu (11/3/2023).
Tentu saja Roedy dan tim tak sekadar mencatat apa yang diucapkan warga Dayak Bahau. Ia mencari dan menggali melalui berbagai sumber apa saja yang pernah eksis di masyarakat Dayak Bahau. Itu dijadikan kerangka analisis untuk mengetahui kenapa cerita itu ada. Jika di kehidupan saat ini sudah tak ada, mereka berupaya mencari tahu apa dan siapa yang membuat dongeng tersebut tergerus.
Dari sana, mereka bisa mengulik lebih jauh ada politik apa yang bekerja di balik itu semua. Salah satu cerita yang menarik dalam buku Dongeng Dayak Bahau adalah sebuah cerita mengenai perseteruan antara kura-kura dan kera dalam menanam pohon pisang. Dua satwa itu berlomba menanam pohon pisang. Si penanam bibit yang berhasil tumbuh akan menjadi pemenangnya dan harus melakukan sesuatu sesuai perjanjian.
Dari dongeng tersebut, kita bisa menarik kesimpulan bahwa kera, kura-kura, dan pisang telah diketahui masyarakat Dayak Bahau. Itu termanivestasi dalam dongeng yang dituturkan dari generasi ke generasi. Dari sana, kita bisa mencari tahu apakah kura-kura, kera, dan pisang masih eksis di tempat tinggal masyarakat Dayak Bahau di pedalaman.
Apakah masyarakat dayak Bahau bisa menanam dan mendapatkan pisang di lingkungannya saat ini? Sebab, Kalimantan Timur, yang pusat pemerintahannya ada di Kota Samarinda, sebagian besar lahannya sudah dikelola oleh swasta untuk perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Dari sana, kata Roedy, kita sudah bisa melihat ada perbedaan sudut pandang antara masyarakat lokal dengan pengusaha dan pemerintah. Bagi masyarakat Dayak Bahau, hutan adalah tanah, ruang hidup, dan ritual untuk berkomunikasi dengan pencipta. Adapun bagi pengusaha dan pemerintah, hutan adalah sesuatu yang bisa dieksploitasi untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya, bukan secukupnya.
Bagi Roedy, kebudayaan yang semacam itu perlu diadvokasi. Itu adalah salah satu jalan yang ia ambil ketimbang melihat kebudayaan semata untuk pariwisata atau pertunjukan, program yang kerap digelar pemerintah atas nama program kebudayaan: pentas kesenian dan sesudahnya media massa dari berbagai negara memotretnya.
”Jika Anda mau mengekspresikan ini dalam konteks program pemerintah, pemerintah setempat itu mestinya menjamin ruang hidup masyarakat. Ruang penghidupan yang sekarang dihabisi itu harus diamankan,” tutur Roedy.
Kliping dan penelitian
Upaya-upaya mengarsip secara sukarela juga dilakukan oleh sejumlah akademisi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman, Samarinda. Salah satu inisiatornya adalah Dahri Dahlan, penyair yang juga dosen Program Studi Sastra Indonesia. Mereka menyebut kelompok ini sebagai Kerani Budaya.
Sejak awal 2023, mereka sepakat mengumpulkan berbagai naskah, buku, foto, dan dokumen lain mengenai Samarinda dan Kalimantan Timur secara sukarela. Kliping itu dilakukan mula-mula dari terbitan media massa lokal di Samarinda dan Kaltim. Topiknya berbagai macam, mulai kuliner, teater, sastra, budaya, sejarah, hingga komunitas literasi.
Mereka melakukannya gotong royong, mulai dari segi teknis hingga pembiayaan. Secara teknis, mereka mengkliping dokumen-dokumen itu di Google Drive milik kampus yang kuotanya tak terbatas. Itu semua mereka lakukan dengan kegelisahan yang sama, yakni kendala yang kerap dihadapi ilmuwan adalah kekurangan data saat melakukan penelitian mengenai Kalimantan Timur.
”Masalah tersebut harus segera dibenahi secara perlahan dan salah satu caranya adalah dengan mendokumentasikan topik tertentu yang tersebar melalui media. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah mengkliping,” tutur Dahri.
Padahal, seharusnya kita dinilai melalui apa yang dibicarakan, bukan melulu latar belakang pendidikannya.
Ada pula kelompok warga yang tergabung dalam Lembaga Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari atau Lasaloka-KSB. Mereka membangun situs Sejarahkaltim.com yang berisi ulasan dan data-data mengenai Samarinda dan Kaltim. Para penulisnya membatasi diri hanya menulis berdasarkan data dan fakta dengan literatur yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan desas-desus.
Secara mandiri, mereka menulis mengenai tokoh sastra, perang, asal-usul sebuah nama tempat, hingga kerajaan yang pernah berdiri di Kalimantan Timur. Secara bergilir, mereka menulis tentang Samarinda dan Kaltim. Mereka terdiri dari berbagai kalangan dan tak ada yang berlatar pendidikan sejarah, yakni Fajar Alam sebagai pemimpin redaksi, Arief Rahman sebagai redaktur pelaksana, serta Nabila Nandini dan Muhammad Sarip sebagai kontributor.
Mereka terus menulis dengan inisiatif dan upaya kelompok untuk merawat ingatan tentang wilayahnya. Kendati tak memiliki latar belakang pendidikan sejarah, Nabila dan Sarip telah memiliki sertifikat kompetensi penulis sejarah dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sebelum mengikuti sertifikasi tersebut, Sarip kerap diremehkan dan dianggap tak kompeten.
”Padahal, seharusnya kita dinilai melalui apa yang dibicarakan, bukan melulu latar belakang pendidikannya,” katanya.