Harga gabah dan beras yang akan dibeli pemerintah melalui Bulog meningkat di pertengahan Maret ini. Kenaikan harga ini bisa memberikan dampak positif bagi perekonomian di Jabar karena provinsi ini tengah surplus beras.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·2 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Kenaikan harga gabah dan beras yang diserap pemerintah berpotensi bernilai positif terhadap perekonomian Jawa Barat. Perubahan harga itu membuat pemerintah bisa membeli beras petani dengan harga lebih bersaing di tengah tingginya produksi di Jabar.
Kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras ini mengemuka pada Rabu (15/3/2023) di Istana Kepresidenan, Jakarta. Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengumumkan, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp 5.000 per kilogram dari sebelumnya Rp 4.200 per kilogram. Sementara itu, harga beras di gudang Bulog kini mencapai Rp 9.950 per kg.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jabar Erwin Gunawan Hutapea mengatakan, kebijakan itu memberikan keuntungan bagi petani. Apalagi, Jabar saat ini dinilai dalam kondisi surplus produksi beras, lebih dari 1 juta ton.
”Kenaikan itu terkait kemampuan Bulog untuk membeli dari para petani. Dengan penyesuaian ini, Bulog punya kapasitas untuk menyerap lebih,” ujarnya di sela rapat tingkat tinggi Tim Pengendalian Inflasi Daerah dan Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah Jabar di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (16/3/2023).
Karena itu, Erwin berpendapat, kenaikan harga ini bisa memberikan dampak positif bagi perekonomian di Jabar. Selama ini, harga (gabah dan beras) itu dibatasi sehingga Bulog sebagai salah satu instrumen untuk stabilisator harga pangan, termasuk beras, tidak bisa membeli dengan fleksibel.
”Bahan pertanian, termasuk beras ini, mengikuti siklus. Jadi, harapannya, dengan penyesuaian HPP ini, Bulog bisa memainkan harga berasnya dengan lebih optimal. Produksi petani bisa diserap dengan kapasitas yang lebih besar,” ujarnya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengatakan, Jabar mengalami surplus 1,3 juta ton. Di samping produksi yang melimpah ini, dia berharap tidak ada penimbunan yang berdampak pada kenaikan harga di tengah masyarakat.
Alasannya, kenaikan harga beras di pasar ini berpotensi meningkatkan inflasi. Padahal, lanjut Emil, roda perekonomian hingga inflasi di Jabar saat ini masih terkendali. Berdasarkan data Bank Indonesia, pada Februari 2023, inflasi di Jabar mencapai 6,17 persen tahun demi tahun (year on year/yoy), dan 0,35 persen bulan ke bulan (month to month/mtm).
Tidak hanya harga beras, berbagai komoditas pangan juga menjadi perhatian. Emil menyebut, pihaknya akan melakukan intervensi berupa operasi pasar jika ada peningkatan harga yang tidak terkendali. Dia juga mengimbau setiap kepala daerah untuk saling berkomunikasi dan mendukung saat ada produksi pangan yang berlebih.
”Daerah yang surplus berkomunikasi dengan daerah yang defisit, dan bisa menjual ke sana. Jadi jangan sedikit-sedikit impor. Jabar juga punya Pusat Distribusi Provinsi (PDP) yang tujuannya menyimpan komoditas-komoditas yang akan dirilis,” ujarnya.