Warga Samarinda secara mandiri melakukan penelitian untuk memverifikasi narasi sejarah tempat tinggal mereka, yang hari jadinya dirayakan saban tahun. Mereka menggugat kebijakan dengan pendekatan ilmiah.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
KOMPAS/SUCIPTO
Suasana Taman Samarendah, tempat berkumpul sekaligus ruang terbuka hijau, di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu (12/3/2023).
Mendapat kesempatan untuk pertukaran pemuda pada 2009, Nabila Nandini yang kala itu masih berusia 17 tahun malah resah. Sebelum mengikuti program untuk bisa berangkat ke Belgia, ia mengulik tentang Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Ia mesti presentasi tentang kota asalnya. Namun, ia menemukan sejumlah kejanggalan mengenai sejarah berdirinya Kota Samarinda.
Keresahan itu tenggelam bertahun-tahun sampai akhirnya ia bergiat di komunitas sejarah lokal di Samarinda, yakni Lembaga Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari (Lasaloka KSB). Ia dan beberapa kawan berinisiatif mengumpulkan bukti-bukti dan naskah kuno mengenai sejarah Samarinda. Dari penelusuran bersama itu, mereka menemukan keganjilan.
Selama ini, hari jadi Kota Samarinda ditetapkan pada 21 Januari 1668. Itu ditetapkan pula dalam Perda Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor 1 Tahun 1988. Tanggal itu ditetapkan dengan patokan kedatangan orang dari Sulawesi yang bermukim di sekitar Samarinda tahun 1668.
Dalam buku Merajut Kembali Sejarah Kota Samarinda terbitan Pemerintah Kota Samarinda tahun 2004, di halaman lima disebutkan salah satu rombongan itu dipimpin oleh La Mohang Daeng Mangkona yang disebut pengikut La Maddukelleng putra Arung Paneki dari daerah Wajo, Sulawesi.
”Kenapa Samarinda lahir berdasarkan kedatangan satu tokoh? Dari apa yang saya tahu, sudah ada orang-orang yang hidup di Samarinda sebelum itu,” kata perempuan 29 tahun itu, Selasa (14/3/2023).
Di kemudian hari, Nabila bertemu Muhammad Sarip (42) yang sudah menulis mengenai sejarah lokal Samarinda dan sekitarnya. Mereka sepakat untuk menelaah ulang secara ketat narasi yang sudah mapan itu. Terbitlah sebuah artikel ilmiah berjudul ”Kontroversi Sejarah La Mohang Daeng Mangkona dan Hari Jadi Kota Samarinda: Sebuah Tinjauan Kritis” yang terbit di Jurnal Yupa Universitas Mulawarman Volume 5 No 2, 2021. Sarip dan Nabila bekerja sama menulisnya.
Kebaruan dalam sejarah itu sebuah keniscayaan. Seharusnya kita tidak alergi dengan itu selama pembuktian dan metodenya ilmiah. (Nabila)
Mereka menjabarkan sejumlah kerancuan mengenai hari jadi Kota Samarinda, yang pada Januari lalu diperingati sebagai tahun ke-355 berdirinya kota itu. Mereka menguji validitas sejarah kedatangan rombongan La Mohang Daeng Mangkona di Samarinda Seberang yang diklaim sebagai dasar hari jadi Kota Samarinda.
Dalam ”Merajut Kembali Sejarah Kota Samarinda” yang diterbitkan Pemkot Samarinda, tertulis La Mohang Daeng Mangkona tiba pada 1668. Bukti kedatangan rombongan itu dilandaskan pada buku Kroniek der Zuider En Oosterafdeeling van Borneo karya Dr J Eisenberger di halaman 9.
KOMPAS/SUCIPTO
Muhammad Sarip (42), penulis sejarah lokal, berpose di ruang kerjanya di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (13/3/2023).
Namun, setelah mereka verifikasi, di halaman 9 buku berbahasa Belanda itu tak ditemukan nama tokoh La Mohang Daeng Mangkona. Layaknya sebuah kronik, buku itu hanya menyebutkan tahun 1668 adalah dimulainya pemukiman suku Bugis di Samarinda. Lantas, bagaimana penyusun buku yang diterbitkan Pemkot Samarinda itu bisa menyimpulkan dalam rombongan tersebut ada tokoh bernama La Mohang Daeng Mangkona?
Melalui catatan-catatan klasik, mereka menunjukkan bukti bahwa La Maddukelleng baru lahir tahun 1700. Dengan bukti itu, kedatangan rombongan La Mohang Daeng Mangkona, pengikut La Maddukelleng, pada 1668 menjadi tidak logis dan tak berdasar. Melalui penelitian tersebut, mereka merekomendasikan kepada Pemkot Samarinda untuk merevisi dan merekonstruksi ulang sejarah hari jadi Kota Samarinda dengan metode historiografi.
Bahkan, Sarip secara mandiri pernah menulisnya menjadi buku Samarinda Tempo Doeloe, Sejarah Lokal 1200-1999 yang terbit tahun 2017. Selain bukti yang ia ajukan, gugatan mendasar Sarip ialah apakah mungkin sebuah daerah didirikan oleh satu sosok semata? Ia menilai, sebuah wilayah tumbuh di masa silam atas hubungan timbal balik banyak orang, dan tak perlu ada satu tokoh yang dinilai sebagai pendiri kota.
”Menurut saya, narasi kota didirikan oleh satu orang itu tidak bagus untuk komitmen persatuan,” katanya.
Serius
Saat ini, perda mengenai hari jadi Kota Samarinda belum direvisi. Kendati demikian, situs resmi Pemkot Samarinda tak lagi mencantumkan narasi tunggal mengenai hari jadi Kota Samarinda. Mulai tahun 2018, Sarip sudah melakukan pendekatan personal kepada pengurus situs tersebut. Ia membawa bukti dan tulisannya untuk meyakinkan.
Upaya-upaya mereka adalah bentuk inisiatif warga terhadap tempat tinggalnya. Nabila dan Sarip memang tak memiliki latar belakang pendidikan sejarah. Nabila lulusan S-1 Hubungan Internasional dan S-2 Komunikasi Politik. Adapun Sarip adalah lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman. Selain belajar secara mandiri melalui buku tentang penulisan sejarah, mereka mengikuti seleksi Sertifikasi Kompetensi Penulis Sejarah Kemendikbud.
Dari seleksi dan pelatihan itu, mereka belajar kepenulisan sejarah yang ilmiah dan ketat. Pelatihan itu menyadarkan Sarip bahwa tak semua sumber teks yang mengatasnamakan sejarah bisa dikutip begitu saja. ”Sumber tertulis pun harus diverifikasi. Apakah itu sumber yang bisa dipercaya, apakah itu berlandaskan fakta, dan seterusnya,” katanya.
Kendati ada ungkapan sejarah ditulis oleh pemenang, Nabila dan Sarip yang sejatinya bukan penguasa di pemerintahan ingin menggugat perda yang mestinya dilandasi naskah akademik itu bisa dipertanggungjawabkan. Upaya ini pun sebenarnya diberi celah oleh perda. Sebab, perda mengenai hari jadi Samarinda memberi peluang revisi jika ada kekeliruan atau bukti baru.
”Kebaruan dalam sejarah itu sebuah keniscayaan. Seharusnya kita tidak alergi dengan itu selama pembuktian dan metodenya ilmiah,” kata Nabila.
SUCIPTO
Kapal tongkang pengangkut batubara melintas di Sungai Mahakam, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Sabtu (7/1/2023).
Menurut dia, narasi sejarah yang tak berdasar bisa punya dampak sosial dan politik serius di masa kini atau di masa depan. Narasi mengenai tokoh tertentu yang diklaim punya andil besar terhadap sebuah wilayah, kata Nabila, bisa terpupuk di ingatan warga—apalagi dirayakan saban tahun. Dampaknya, orang-orang tak bertanggung jawab bisa menggunakan klaim itu untuk kepentingan pribadi atau kelompok dan mengenyampingkan kelompok lain.
Padahal, sebuah wilayah tumbuh dan bergeliat berkat kerja sama banyak orang. Bukan hanya orang yang namanya tercatat sejarah, melainkan juga orang-orang yang kerap dianggap remeh, seperti pembuat perahu, pedagang, pekerja kasar, dan orang-orang yang tak punya kekuasaan politik.
Upaya Sarip dan Nabila, pada titik tertentu, juga upaya untuk menggeliatkan kota tempat tinggalnya. Setidaknya, terhadap perda yang saban tahun dianggap sumber pasti itu, mereka menggugat: segala sesuatu untuk kepentingan publik semestinya ditentukan dengan ilmiah dan jelas landasannya.