Daerah Hilir Sumsel Bersiap Kebanjiran, Perlu Kebijakan Radikal Perbaiki Lingkungan
Daerah di wilayah yang lebih rendah, seperti Musi Banyuasin, Banyuasin, termasuk Palembang, diminta bersiap hadapi risiko banjir setelah 7 kabupaten/kota kebanjiran. Perlu kebijakan radikal atasi kerusakan lingkungan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Setelah tujuh kabupaten/kota di Sumatera Selatan dilanda banjir, daerah yang lebih rendah, seperti Musi Banyuasin, Banyuasin, termasuk Palembang, diminta bersiap menghadapi risiko yang sama. Pemerintah dituntut untuk mengeluarkan kebijakan yang radikal untuk menghentikan aktivitas warga yang bisa merusak lingkungan. Langkah ini penting agar bencana banjir di sejumlah daerah di Sumsel tidak lagi terulang.
Dalam satu minggu terakhir, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel mencatat, banjir besar terjadi di tujuh kabupaten/kota di Sumatera Selatan, yakni Lahat, Muara Enim, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Penukal Abab Lematang Ilir, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Prabumulih. Akibatnya, ribuan warga harus mengungsi karena tempat tinggalnya terendam.
Kepala Bidang Penanganan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Ansori, Rabu (15/3/2023), menuturkan, sampai saat ini banjir masih merendam sejumlah wilayah di Sumsel. ”Ribuan rumah terendam, warganya pun terpaksa mengungsi,” ujarnya. Tidak hanya itu, di Lahat banjir juga merenggut tiga korban jiwa.
Banjir juga merusak ladang dan tanaman warga serta sempat memutus arus lalu lintas akibat jalan yang terendam. ”Ini merupakan akumulasi bencana akibat terdegradasinya lahan di kawasan hulu,” ucapnya.
Setelah di hulu mengalami banjir, Ansori pun mengingatkan agar daerah di wilayah yang lebih rendah seperti Musi Banyuasin, Banyuasin, termasuk Palembang untuk bersiap menghadapi risiko yang sama. "Pemerintah daerah harus segera bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan," ucapnya.
Hulu dan hilir
Pengamat Lingkungan dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Yenrizal, menuturkan, bencana yang terjadi di sejumlah kawasan di Sumsel merupakan dampak kerusakan daerah aliran sungai, baik di kawasan hulu maupun hilir.
Di hulu, daerah aliran sungai kian rusak akibat aktivitas alih fungsi lahan hutan menjadi tanaman perkebunan. Kondisi ini diperparah dengan pertambangan galian C di tepian sungai. ”Di Sungai Lematang, misalnya, banyak galian pasir dan batu. Masyarakat seolah tidak peduli jika tindakan mereka sangat berbahaya,” ujarnya.
Ketika daerah pertanaman hutan berkurang ditambah bebatuan serta pasir di sungai menyusut, air akibat tingginya curah hujan akan mengalir deras ke daerah hilir. ”Kondisi inilah yang menyebabkan banjir bandang di Lahat beberapa waktu lalu,” tutur Yenrizal.
Kondisi hilir pun tak kalah mengkhawatirkan. Banyak rawa yang merupakan daerah tangkapan air ditimbun untuk alasan pembangunan. ”Itulah sebabnya, ketika daerah di hulu banjir, tidak lama berselang banjir pun akan menyusul di kawasan hilir,” kata Yenrizal.
Agar kejadian seperti ini tidak berulang, pemerintah dituntut untuk membuat kebijakan yang radikal. Maksudnya adalah menghentikan aktivitas yang bisa merusak lingkungan. Memang kondisi ini pasti akan ditentang banyak pihak karena berkaitan dengan mata pencarian warga. Namun, jika dilihat dari dampak bencananya yang menimbulkan kerugian sangat besar, ketegasan itu harus mulai diterapkan.
Ketika daerah di hulu banjir maka tidak lama berselang, banjir pun akan menyusul di kawasan hilir.
Yenrizal mengusulkan agar pemerintah mulai mengedukasi warga untuk menghentikan aktivitas yang merusak lingkungan dan mulai menanam tanaman yang juga berperan sebagai penangkap air. ”Misalnya serai wangi yang memiliki akar yang kuat. Atau tanaman berakar kuat lainnya,” ucap Yenrizal.
”Di sinilah peran akademisi untuk membuat inovasi mutakhir yang dapat mendukung visi tersebut. Di sisi lain, pemerintah juga harus tegas menindak segala bentuk aktivitas yang merusak lingkungan. Apabila memang tidak bisa dicegah, ada baiknya untuk dibatasi pada zona tertentu,” ujarnya.
Tutupan lahan berkurang
Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Sumsel Syafrul Yunardi berpendapat, banjir berantai yang terjadi disebabkan oleh luas tutupan lahan di bagian hulu daerah aliran sungai sudah terganggu (rusak). Akibatnya, kemampuan kawasan hulu untuk menahan dan menampung air menurun kala hujan berintensitas tinggi mengguyur.
”Konsekuensinya, aliran air dari daerah hulu ke daerah hilir menjadi sangat cepat sehingga mengakibatkan terjadinya bencana banjir dan tanah longsor yang merusak jalan dan jembatan serta menghanyutkan rumah-rumah di sekitar sungai,” papar Syafrul.
Penurunan daya dukung dan daya tampung sungai ini terlihat dari terjadinya sedimentasi yang sangat tinggi sehingga membuat air sungai menjadi dangkal dan airnya menjadi berwarna keruh/kecoklatan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan perbaikan tutupan lahan terutama di daerah hulu sungai (yang merupakan kawasan lindung) dengan penanaman pohon-pohon yang berfungsi lindung (bukan budidaya).
Masalahnya, di sempadan sungai, warga kerap menanam tanaman budidaya, seperti karet, sawit, dan kopi. Padahal, sesuai regulasi, sempadan sungai tersebut merupakan kawasan lindung, yang berarti wilayah yang berfungsi lindung sehingga harus ditanami dengan tanaman yang berfungsi lindung, seperti bambu dan beragam jenis pohon lokal. ”Di sinilah perlu ketegasan pemerintah,” ujarnya.
Proses penanaman kembali terus dilakukan untuk memulihkan kerusakan lingkungan di kawasan hulu. Hanya saja, ujar Syafrul, jika dibandingkan dengan intensitas pembukaan lahan, sangat tidak sebanding. Di sisi lain, proses penanaman juga terbentur kendala sulitnya medan yang cenderung terjal.
Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Panji Tjanjanto menjelaskan, luas lahan hutan di Sumsel saat ini sekitar 3,4 juta hektar. Dari jumlah itu, sekitar 70.000 hektar di antaranya kritis. Upaya pemulihan terus dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan komunitas.
Adapun untuk tutupan lahan juga berkisar 17 persen atau jauh dari ideal, yakni 50 persen. Karena itu, pemulihan kembali lahan kritis terus dilakukan, termasuk mengawasi proses reklamasi di lahan bekas tambang juga telah dilakukan.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengingatkan pemerintah daerah untuk memberikan sanksi tegas bagi perusahaan atau individu yang lalai menjaga lingkungan yang menjadi tanggung jawabnya. ”Beri sanksi tegas, mulai dari peringatan hingga pencabutan izin,” kata Herman.
Di sisi lain, perlu ada edukasi kepada masyarakat untuk tidak lagi menggunduli lahan hutan dan menggantinya dengan tanaman yang tidak ramah lingkungan. Atau melakukan penambangan yang dapat merusak ekosistem.