Transformasi di Balik Salam Penghormatan Sang Porter
Perubahan besar dan positif dari porter tidak lepas dari desain besar transformasi pelayanan kereta api. Saat Ignasius Jonan menjabat Direktur Utama PT KAI, lalu Menteri Perhubungan, wajah perkeretaapian dibenahi.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI, AGUIDO ADRI, WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO, RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
Sebanyak 28 kuli angkut yang biasa dikenal sebagai porter serta sejumlah petugas PT Kereta Api Indonesia (Persero) melangkah menuju peron Stasiun Cirebon, Jawa Barat, Selasa (7/3/2023), pukul 13.40. Mereka lalu berbaris berjajar di samping Kereta Api Argo Cheribon. Ketika kereta mulai berjalan, mereka menyilangkan tangan kanan ke dada sembari menunduk.
Inilah salam hormat dari porter dan petugas kepada penumpang kereta api yang berangkat dari Stasiun Cirebon. Ungkapan terima kasih yang berawal dari Daerah Operasi (Daop) I Jakarta itu telah hadir empat tahun terakhir. Gestur hormat itu menjadi salah satu bukti porter yang bertransformasi dan lebih terorganisasi.
”Customer (pelanggan) itu nomor satu. Kami digaji oleh mereka. Makanya, kami harus memberikan servis yang baik,” ujar Iskandar (47), koordinator porter di Stasiun Cirebon.
Tidak hanya salam hormat, pelayanan prima kepada penumpang juga berupa kode perilaku tak tertulis. Porter, misalnya, wajib mengenakan seragam yang mencantumkan nomor dan nama mereka. Selain identitas, nomor itu penting jika penumpang ingin melaporkan keluhannya. Porter juga harus memasukkan pakaiannya ke celana, bersepatu, dan memakai masker.
Para porter mengatur sendiri waktu kerjanya pukul 07.00-19.00 dan pukul 19.00- 07.00. Namun, sebagian bisa pulang sebelum waktu sif berakhir jika telah meraup pendapatan yang cukup. Mereka bahkan membagi tempat tugas, seperti di pintu masuk stasiun dan ruang tunggu.
”Kalau tidak diatur, nanti 115 porter bergerombol dan tidak bisa berbagi rezeki,” ucap Iskandar yang sudah 10 tahun menjadi porter.
Meskipun tidak ada upah ataupun relasi kerja formal dari pihak PT KAI, mata pencarian porter tetap berada di lingkungan stasiun. Itu sebabnya, mereka berupaya menjaga nama baik PT KAI. Tidak heran, para porter juga sukarela ikut kerja bakti di stasiun setiap Jumat dan Minggu pagi.
Perubahan besar dan positif dari porter ini tidak lepas dari desain besar transformasi pelayanan kereta api. Hal ini dirasakan oleh Siswanto (42), porter di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Ia mengalami, saat pertama kali menjadi porter 20 tahun lalu, kondisi pelayanan hingga jasa porter di stasiun sangat semrawut dan tidak terkoordinasi dengan baik. Siapa saja bisa menjadi porter, tidak berseragam, dan rebutan membawa barang penumpang.
Namun, kondisi seperti itu perlahan mulai berubah dan membaik sejak Ignasius Jonan menjabat Direktur Utama PT KAI dan berlanjut menjadi Menteri Perhubungan. Ia membenahi wajah perkeretaapian Indonesia.
”Kalau tidak salah sekitar 2010, saat Pak Jonan mulai berbenah, sampai ke porternya dibenahi. Jadilah seperti sekarang, terkoordinasi dengan baik oleh manajemen dan dari kami juga,” ujar Siswanto.
Perubahan itu juga ternyata berdampak pada penghasilan porter. Slamet BL (39), porter lain di Stasiun Pasar Senen, misalnya, mengaku penghasilannya tiap bulan berkisar Rp 4 juta-Rp 5 juta.
Kasum (60), porter di Stasiun Purwokerto, Jawa Tengah, mensyukuri rezeki yang diperoleh selama ini. Kendati penghasilannya tidak menentu setiap hari, porter yang sudah bekerja puluhan tahun ini bisa menyekolahkan tiga anaknya. Si sulung lulus kuliah strata 1 di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, anak keduanya telah lulus sekolah menengah kejuruan (SMK), dan si bungsu masih sekolah di SMK.
Tidak ada tarif khusus yang diberikan oleh porter untuk jasa membawa barang penumpang. Untuk sekali angkut, biasanya mereka mendapat upah paling sedikit Rp 10.000. Per hari, dengan jam kerja pukul 08.00-14.00 atau pukul 21.00-03.00, pendapatan mereka di Stasiun Purwokerto berkisar Rp 50.000 hingga Rp 100.000.
Ungkapan syukur juga disampaikan Rudiyanto (40), porter lain. Sepanjang 15 tahun mengais rezeki di Stasiun Purwokerto, dia bisa menghidupi istri dan dua anaknya yang masih bersekolah di bangku SMK dan sekolah dasar.
”Di setiap salam keberangkatan, kami berdoa semoga perjalanan kereta lancar. Ini juga wujud terima kasih ke penumpang,” ujarnya.
Pembinaan
Ketua Paguyuban Porter Stasiun Besar Purwokerto Suryanto mengatakan, di Stasiun Purwokerto terdapat 50 porter. Lewat paguyuban, para porter menjalin silaturahmi dan mendapatkan pembinaan. Misalnya, per bulan terdapat iuran Rp 10.000 untuk kas serta dana sosial jika ada anggotanya yang sakit.
”Kalau ada yang opname, kami juga tole-tole (iuran sukarela). Disepakati minimal Rp 10.000, tapi kadang ada yang memberi lebih,” ucapnya.
Menurut Kepala Stasiun Purwokerto Yuliono Mukti, kehadiran porter, selain membantu membawakan barang penumpang, juga membantu memberikan informasi kepada penumpang. Pihaknya secara rutin memberikan pendampingan, terutama saat kerja bakti bersama.
”Kadang ada penumpang baru, di situ porter bisa menjadi petugas yang membantu memberikan informasi, misalnya jadwal kereta,” katanya.
Lusiana (45), penumpang di Stasiun Gubeng, Surabaya, Jawa Timur, mengatakan, ia terbantu dengan keberadaan porter. Apalagi, sering kali ia bepergian membawa barang bawaan yang banyak. Porter mengurus semua barangnya sejak turun dari mobil hingga naik ke kereta.
Transformasi jasa porter juga berkembang semakin baik seiring penguatan pelayanan PT KAI kepada publik. Hal itu bisa terjadi karena kerja sama manajemen dan porter yang terus dilakukan agar penumpang kereta juga puas.
Kepala Stasiun Gubeng Andy Febri Laksono mengatakan, di wilayah kerjanya ada 57 porter. Pihaknya senantiasa melakukan pembinaan untuk membangun karakter atau perilaku yang baik. Salah satunya, mengajarkan bersikap ramah, sopan, dan santun kepada penumpang. Tidak boleh memaksa, apalagi mengancam penumpang untuk menggunakan jasa mereka.
Selain nilai-nilai kesopanan dan kesantunan, manajemen stasiun juga terus menanamkan nilai integritas agar mereka jujur dalam melayani penumpang. Hal itu untuk mencegah kasus pencurian atau keluhan barang hilang.
Keberadaan porter juga diawasi secara langsung oleh petugas keamanan stasiun. Selain itu, ada kamera pemantau. Porter yang ketahuan mencuri barang penumpang akan diproses hukum dan dilarang bekerja.
Menurut Eva Chairunisa, Kepala Humas PT KAI Daop I Jakarta, para porter merupakan ekosistem yang tak terpisahkan dan memiliki peran penting dalam pelayanan transportasi publik kereta api.
”Semua di stasiun dari petugas hingga porter menjadi satu ekosistem yang melayani penumpang agar penumpang nyaman,” ucap Eva.
Transformasi jasa porter juga berkembang semakin baik seiring penguatan pelayanan PT KAI kepada publik. Hal itu bisa terjadi karena kerja sama manajemen dan porter yang terus dilakukan agar penumpang kereta juga puas.
Begitu pun dengan melibatkan porter dalam memberikan sikap hormat juga bagian penting dalam pelayanan kepada penumpang. Penghormatan kepada penumpang menjadi bentuk rasa terima kasih kepada penumpang karena sudah menggunakan jasa transportasi kereta api.
”Sikap profesional dalam bekerja, ramah, rapi dengan seragam, hingga mengerti cara menyampaikan informasi terkait perjalanan kereta dan ikut memberikan sikap hormat menjadi nilai lebih mereka. Itu bisa berimbas ke penghasilan mereka,” tutur Eva.
Seperti halnya Siswanto dan Slamet, menjadi porter tidak hanya soal mendapat uang jasa angkut barang, tetapi di situ mereka saling belajar menghargai dan menghormati. Menjadi porter berarti turut menjadi pelayan publik yang dijalani dengan sepenuh hati.