Petani Rumput Laut NTT Ingin Pergub Tata Niaga Komoditas Perikanan Dicabut
Petani rumput laut NTT minta Pergub Nomor 39 Tahun 2022 tentang Tata Niaga Hasil Perikanan dicabut. Pergub itu membuat harga rumput laut di tingkat petani menurun drastis.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
Sekelompok perempuan petani rumput laut dari Desa Tablolong, Kabupaten Kupang, NTT, Senin (13/3/2023), merangkai rumput laut di tali agar bisa dilepas atau dibudidaya di laut. Mereka berharap agar Pergub NTT Nomo 39 Tahun 2022 itu dicabut agar petani bisa bebas menjual hasil rumput laut ke semua pedagang.
KUPANG, KOMPAS — Para petani rumput laut di Nusa Tenggara Timur minta Peraturan Gubernur Nomor 39 Tahun 2022 tentang tata niaga komoditas hasil perikanan dicabut. Mereka ingin bebas menjual rumput laut atau Euchemia cottoni dan tida hanya kepada tiga pengusaha yang berkantor di NTT.
Alasannya, harga yang ditawarkan pembeli dari luar provinsi ini jauh lebih tinggi dibandingkan pengusaha yang berkantor di NTT. Jika Pergub tetap berlaku, petani bakal tidak lagi budidaya rumput laut.
Hendrik Seseli (38), petani rumput laut di Desa Tablolong, Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang, NTT, Senin (13/3/2023) mengatakan, harga rumput laut berubah-ubah setiap 10-14 hari. Sebentar naik, sebentar lagi turun. Kondisi ini mengecewakan sejumlah petani rumput laut di Desa Tablolong.
Ia mengatakan, sesuai pergub itu, rumput laut di NTT dikendalikan tiga perusahaan pengelola, yaitu PT Rote Karagian Nusantara di Tablolong Kabupaten Kupang,PT Algae Sumba Timur Lestari di Waingapu, Sumba Timur, dan CV Agar Kembang di Semau. Tiga perusahaan ini yang ditunjuk Dinas Kelautan dan Perikanan NTT membeli semua rumput laut kering, produksi petani di provinsi ini.
Menurut Hendrik, pergub sebaiknya dicabut agar petani bebas menjual bebaske luar daerah. Selama ini tiga perusahaan itu cenderung monopoli sehingga mudah mempermainkan harga di tingkat petani.
Tahun lalu harga rumput laut hanya Rp 22.000 per kilogram. Kemudian petani mengeluh dan sebagian tidak mau budidaya rumput laut. Mereka menaikkan lagi menjadi Rp 25.000 kemudianRp 30.000, dan pekan lalu naik menjadi Rp 32.000 per kg. ”Pengusaha beralasan, kenaikan itu sesuai harga pasaran di tingkat nasional dan dunia,” katanya.
Warga Desa Tablolong sekitar 320 orang. Sebagian besar dari mereka melakukan budidaya rumput laut. Luas lahan pantai yang dikembangkan rumput laut sekitar 5 kilometer yang membentang sepanjang Pantai Tablolong sampai Pantai China. Namun, setelah badai Seroja, mereka lebih fokus 2 km, sepanjang pantai Desa Tablolong.
Sarana budidaya rumput laut seperti tali nilon, bibit, pelampung, dan perahu, diterjang gelombang saat badai Seroja. ”Bantuan pascatsunami tidak menyeluruh. Diberikan kepada kelompok, tetapi kemudian dikelola orang perorangan,” kata Hendrik.
Nelci Ndun (38), petani rumput laut di Desa Tablolong, mengatakan, bibit rumput laut yang sedang dibudidayakan sebagian besar bantuan dari TNI AL Kupang. Mereka membantu bibit hampir kepada semua petani di Tablolong. Bantuan itu mendorong mereka secara swadaya membeli tali, pelampung, kayu, dan perangkat lain untuk budidaya rumput laut.
Soal tuntutan petani agar pergub dicabut, itu kewenangan dinas teknis, yang lebih paham masalah di lapangan. (Ganef Wurgiyanto)
Dinas Kelautan dan Perikanan belum ada kepedulian
Setelah 45 hari, rumput laut dipanen. Satu tahun mereka bisa panen sampai lima kali. Harga mentah rumput laut Rp 5.000 per kg dan kering Rp 32.000 per kg. Pengepul membeli di kediaman petani. Mereka memasok ke pabrik.
”Biasanya mereka jual ke PT Rote Karagian Nusantara yang berjarak sekitar 3 km dari Tablolong. Jual dengan harga berapa, kami tidak tahu,” kata Nelci.
Stevanus Beda Warat, petani rumput laut Desa Baobolak, mengatakan, pemerintah provinsi melarang pengusaha dari luar membeli rumput laut petani di NTT. Padahal, mereka berani membeli dengan harga Rp 38.000-Rp 45.000 per kg. Lebih menguntungkan petani ketimbang menjual kepada pengepul di Lewoleba, Lembata, hanya dengan harga Rp 21.000 pe kg.
”Harga tersebut sesuai kebijakan Dinas Kelautan dan Perikanan NTT sebagai penjabaran dari Pergub NTT Nomor 39 Tahun 2022 tentang tata niaga komoditas hasil perikanan. Pergub ini mewajibkan semua petani rumput laut menjual hasil produksinya ke perusahaan yang beroperasi di NTT,” kata Warat.
Ia mengatakan, sebelum adanya pergub,rumput laut dijual bebas petani dengan harga Rp 37.000-Rp 45.000. ”Harga itu berlaku tahun 2021. Pergub itu terbit 14 Januari 2022. Jika tidak ada pergub, harga rumput laut pasti tinggi sesuai dengan standar harga nasional, yakni Rp 50.000-Rp 65.000 per kg,” ujarnya.
Memiskinkan
Kebijakan pemda itu mengatasnamakan kesejahteraan masyarakat, tetapi malah sebaliknya memiskinkan masyarakat. Pengusaha rumput laut yang berinvestasi di NTT justru mengeruk keuntungan di tengah kemiskinan dan ketakberdayaan masyarakat NTT. Intinya, pergub dicabut supaya petani bebas bertransaksi.
Muhammad Ola (54), petani rumput laut dari Desa Oyang Barang, Flores Timur, mengatakan, jika pemda tetap memberlakukan pergub itu, ia mengajak teman-teman petani berhenti membudidaya rumput laut. Jika semua petani rumput laut tidak terlibat rumput laut lagi, perusahaan akan kolaps.
Ia menyesalkan, dua pekan lalu, aparat desa dan sejumlah petugas kecamatan mengusir pengusaha rumput laut dari Makassar yang hendak membeli rumput laut di Flores Timur dan Lembata. Tindakan itu tidak hanya melukai hati pengusaha tersebut, tetapi juga para petani rumput laut yang sudah lama membangun komunikasi dengan pengusaha bersangkutan.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Stefani Tunga Boro yang didatangi di kantornya tidak mau ditemui. Dihubungi melalui pesan Whatsapp pun tidak ditanggapi meski membaca. Saat ditelepon pun tak diangkat.
Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan NTT Ganef Wurgiyanto mengatakan, meski membidangi ekonomi dan pembangunan, dirinya tidak mempunyai kewenangan soal masalah teknis. ”Soal tuntutan petani agar pergub dicabut, itu kewenangan dinas teknis, yang lebih paham masalah di lapangan,” katanya.
Ganef, yang sebelumnya menjabat Kadis Kelautan dan Perikanan, mengatakan, pergub itu dia yang susun. Namun, isinya tidak membatasi seperti itu. Petani bebas menjual ke mana saja. ”Jadi, teknis pelaksanaan di lapangan, itu kewenangan dinas kelautan dan perikanan,” ujarnya.