Nasib Terbawa Kapal hingga Mengganti Barang Bawaan Penumpang
Banyak yang memandang sebelah mata, tetapi peran kuli angkut ini vital dalam sistem ekonomi. Mereka memiliki peran yang tidak tergantikan dalam fasilitas yang masih tradisional. Ratusan tahun profesi ini tetap bertahan.
Oleh
NIKSON SINAGA, RUNIK SRI ASTUTI, SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
Bagi penumpang kapal antarpulau, jasa kuli angkut barang sangat dibutuhkan untuk mengejar waktu dan membawa barang yang berjibun. Meski berjasa, derita kuli angkut seperti tiada akhir. Saat apes, mereka bisa sampai terbawa kapal ataupun membayar ganti rugi barang bawaan penumpang yang hilang atau tertinggal.
Viktor Napitupulu (47) tampak gelisah karena belum mendapat orderan jasa mengangkut barang di Terminal Penumpang Bandar Deli, Belawan, Sumatera Utara, Selasa (7/3/2023). Padahal, Kapal Motor Penumpang (KMP) Kelud yang hendak berangkat ke Batam dan Jakarta akan segera angkat jangkar.
Sesaat, ia menghampiri seorang ibu yang menggendong anak lalu turun dari angkutan kota bersama suaminya. Mereka buru-buru menurunkan barang bawaan cukup banyak.
”Mari saya bantu. Kapal sudah mau berangkat,” kata Viktor menawarkan jasa kepada calon penumpang itu.
Setelah tawar-menawar, penumpang sepakat membayar Rp 250.000 jasa mengangkat enam jenis barangnya, berupa koper, tas, kardus, dan karung goni. Viktor lalu membantu ibu itu mendaftar ulang di loket daring di terminal. Ia pun mencatat nomor dek dan kursi penumpang serta bertukar nomor telepon.
”Ayo, cepat naik ke kapal. Nanti saya temui di kapal,” kata Viktor.
Ia lalu memanggul sebuah karung, menarik koper, dan menenteng tas besar. Badannya yang kurus terhuyung membawa barang naik ke tangga kapal. Ia turun lagi dari kapal dan sekali lagi membawa tiga jenis barang yang tersisa.
Setelah menyerahkan semua barang kepada penumpang, ia mendapat Rp 250.000. Uang itu langsung dipotong Rp 70.000, setoran untuk uang sewa baju kepada mandor kuli angkut. Pendapatan itu tergolong lumayan, tetapi jarang sekali dia dapat.
Pahit getir dialami Viktor selama 27 tahun melakoni hidup sebagai kuli angkut di Terminal Penumpang Pelabuhan Belawan. Pernah ia tidak mendapat upah setelah berjibaku mengangkat barang karena empunya barang tak kelihatan dan teleponnya tidak aktif. Padahal, kuli angkut harus cepat-cepat turun agar tak terbawa kapal. Pernah juga ia harus membayar ganti rugi barang yang hilang.
”Saya pernah membayar Rp 2 juta karena ada satu koper yang hilang. Pernah juga mendekam beberapa hari di penjara kantor polisi karena tak sanggup membayar barang hilang,” kenang Viktor.
Pengalaman tak kalah pahit dialami Parlindungan Marpaung (60), kuli angkut lain. Suatu ketika, ia membantu penumpang yang hampir ditinggal kapal. Namun, saat Parlindungan hendak turun, kapal sudah bergerak dari dermaga.
”Saya harus naik kapal satu malam dan baru bisa turun di Batam. Saya juga harus membayar denda sebesar ongkos Medan-Belawan,” katanya. Di Batam, ia terlunta-lunta selama sepekan menunggu kapal kembali lagi ke Medan.
Puluhan tahun menjalani pekerjaan ini, kini ia memilih mengangkat tas atau barang bawaan penumpang yang tidak terlalu berat. Kelincahan dan tenaganya tak lagi seperti kala muda. Penghasilannya pun tak seberapa, di bawah satu juta rupiah per bulan.
”Hari ini saya dapat Rp 70.000, tetapi masih harus dipotong setoran ke mandor Rp 20.000,” kata Parlindungan.
Upah yang tergolong minim juga dialami Maru (70), kuli angkut di Terminal Penumpang Gapura Surya Nusantara, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur.
”Alhamdulillah, hari ini ada KM Labobar yang bersandar, jadi dapat kerjaan. Kemarin tidak ada kapal, jadi sama sekali enggak ada pemasukan,” ujarnya, Rabu (8/3).
Bersama ratusan kuli angkut lainnya, Maru mengais rezeki di pelabuhan setiap hari. Selama 30 tahun terakhir, ia menawarkan tenaganya kepada penumpang kapal. Tiada tarif pasti untuk jasanya, tergantung dari hasil tawar-menawar dengan penumpang.
”Kalau dirata-rata, penghasilan kuli sekitar Rp 50.000 per hari karena kadang kerja kadang tidak. Beberapa hari belakangan ini tidak ada kapal sandar,” ucap Maru.
Meski hasilnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, para kuli angkut tetap bertahan. Salah satunya Mohamad Badri (45). Bagi dia, bekerja sebagai kuli angkut menjadi pilihan karena tak memerlukan pendidikan yang tinggi. Cukup bermodal tenaga serta ketekunan mencari penumpang yang mau menggunakan jasanya.
Meski demikian, tidak mudah mendaftar menjadi kuli pelabuhan karena jumlahnya dianggap sudah banyak sehingga tidak boleh ada penambahan. Di Terminal Penumpang Gapura Surya Nusantara, ada sekitar 360 kuli angkut.
Terkait layanan transportasi laut, keberadaan kuli angkut memang tidak memiliki hubungan struktural dengan pengelola pelabuhan. Namun, keberadaan mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari layanan penumpang kapal.
Sementara itu, aktivitas tak jauh berbeda dijumpai di Pelabuhan Bungkutoko, Kendari, Sulawesi Tenggara. Beroperasi sejak lima tahun lalu, Pelabuhan Bungkutoko yang merupakan pelabuhan baru di Kendari memang tak seramai Pelabuhan Belawan ataupun Tanjung Perak.
Di sana ada sekitar 30 kuli angkut yang melayani penumpang. Salah satunya La Ompe (49). Ayah tiga anak ini menjadi kuli angkut sejak Bungkutoko beroperasi.
Sebelumnya, Ompe bekerja sebagai nelayan pancing dengan penghasilan lebih minim dan tak tentu. Kini, seperti halnya kuli angkut di sana, rata-rata penghasilannya Rp 1 juta-Rp 3 juta per bulan.
Menurut sosiolog dari Universitas Halu Oleo, Kendari, Bahtiar, kuli angkut dan berbagai pekerjaan lain yang mengandalkan fisik di fasilitas publik merupakan fenomena perkotaan yang tidak terhindarkan. Mereka hadir untuk mengisi celah kecil dalam sistem ekonomi.
”Banyak yang memandang sebelah mata, tetapi peran orang-orang ini vital dalam sistem ekonomi. Mereka memiliki peran yang tidak tergantikan dalam fasilitas yang masih tradisional. Buktinya, ratusan tahun profesi ini tetap bertahan,” tuturnya.
Terkait layanan transportasi laut, keberadaan kuli angkut memang tidak memiliki hubungan struktural dengan pengelola pelabuhan. Namun, seperti disampaikan pengamat transportasi publik Djoko Setijowarno, keberadaan mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari layanan penumpang kapal.
Oleh karena itulah, menurut dia, para kuli idealnya didata identitasnya, bahkan diberikan seragam agar mereka mudah dikenali. Untuk membangun persaingan yang sehat, perlu dibuat aturan main yang jelas. Hal itu juga untuk memberikan kepastian tarif serta layanan kepada pengguna jasa.
Pengelola pelabuhan juga harus memberikan pemahaman agar kuli angkut bersikap sopan dan ramah serta tidak boleh memaksa penumpang menggunakan jasanya. Pada saat bersamaan, kuli angkut dituntut memiliki integritas yang tinggi karena mereka bersentuhan dengan barang milik penumpang.