Kehidupan sebagian kuli angkut masih berkelindan dengan kemiskinan dan belum sepenuhnya mendapat perlindungan sosial yang layak.
Oleh
REBIYYAH SALASAH, SAIFUL RIJAL YUNUS, RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Denyut perekonomian di Tanah Air turut diwarnai peran kuli angkut dalam rantai distribusi barang ataupun lewat jasa yang ditawarkan kepada konsumen. Ironisnya, kehidupan sebagian besar dari mereka masih berkelindan dengan kemiskinan dan belum sepenuhnya mendapat perlindungan sosial yang layak.
Mayoritas kuli angkut masih belum sejahtera. Mereka yang menggeluti pekerjaan itu rata-rata berpendidikan tidak tinggi serta minim modal dan kesempatan berusaha di sektor lain. Pendapatan yang diperoleh dari mengandalkan tenaga itu pun belum sepenuhnya membuat mereka dapat hidup layak.
Kisah hidup Mistar (56), kuli angkut sayuran di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, memberi gambaran nyata kondisi itu. Pria yang tidak tamat sekolah dasar ini tak punya pilihan lain untuk mencukupi kebutuhan keluarga selain menjadi kuli angkut. Ia ”mewarisi” pekerjaan sang ayah yang juga kuli angkut.
Selama puluhan tahun bekerja sebagai kuli angkut, penghasilannya per hari Rp 50.000-Rp 100.000. Meski pas-pasan, ia berupaya menyekolahkan anak-anaknya setidaknya hingga SMP atau SMA. ”Paling tidak anak-anak memiliki pendidikan lebih tinggi dari saya yang tidak tamat SD,” katanya, Rabu (8/3/2023).
Meski penghasilan sebagai kuli angkut tidak tentu dan jauh dari sejahtera, sebagian dari mereka tetap bertahan hingga usia senja. Maru (70), kuli angkut di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, salah satunya. Penghasilannya rata-rata hanya Rp 50.000 per hari.
Pendapatan yang tak menentu itu tidak lepas dari ketiadaan ikatan formal antara kuli angkut dan pengguna jasanya. Di samping itu, tidak ada standar tarif dari jasa yang diberikan yang membuat mereka lebih berdaya.
Bertahan hidup
Sosiolog dari Universitas Halu Oleo, Kendari, Bahtiar, berpandangan, profesi kuli angkut menjadi pilihan terakhir masyarakat yang mencoba bertahan hidup. Mereka terpaksa menjadi kuli angkut karena tidak memiliki pilihan lain. Terlebih lagi jika mereka telah mempunyai tanggungan di tengah kondisi ekonomi yang tak menentu.
Padahal, seiring waktu, orang yang berkecimpung di bidang ini semakin banyak. Terlihat mereka yang bekerja adalah anak muda hingga orang tua. Kondisi ini berdampak pada menurunnya pendapatan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kuli angkut memiliki peran signifikan, terutama dalam rantai pasok, mulai dari sektor hulu. Tanpa kehadiran mereka, perputaran bisnis pasti akan terganggu. ”Namun, mereka rentan karena upahnya tak menentu, jam kerja panjang, dan tidak terlindungi jaring pengaman sosial,” kata Bhima.
Pemerintah, menurut dia, perlu mendukung para kuli ini dengan menyediakan jaring pengaman sosial. Meski status mereka sebagai pekerja informal, bukan berarti tak bisa terlindungi, baik kesehatan maupun kesejahteraannya.
Terkait jaminan kesehatan, misalnya, para kuli angkut ini bisa masuk kriteria penerima bantuan iuran (PBI). Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 21 Tahun 2019 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perubahan Data Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, penerima PBI ialah fakir miskin dan orang tidak mampu.
Orang tidak mampu adalah orang dengan sumber mata pencarian yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar layak, tetapi tidak mampu membayar iuran jaminan kesehatan bagi diri dan keluarganya.
”BPJS Kesehatan perlu menjemput bola dengan mendaftarkan para kuli ini. Pendekatannya berbeda, tidak bisa dengan digital yang bisa jadi tidak terjangkau oleh mereka. Pemerintah yang perlu aktif dan mendatangi mereka langsung. Upayanya pun perlu dilakukan secara masif,” tutur Bhima.
Dalam jajak pendapat Litbang Kompas terhadap 508 responden nasional, 67,9 persen responden menilai, kuli angkut belum mendapat perhatian sama sekali dari pemerintah atau lembaga terkait.
Sebanyak 41 persen responden mendorong agar pemerintah atau lembaga terkait memberikan perhatian dengan menetapkan upah yang layak atau tarif minimum atas jasa kuli angkut. Sebanyak 18 persen responden mendorong agar pemerintah memberikan jaminan kesehatan dan 14 persen responden memberikan jaminan perlindungan kesehatan.
Dalam konteks aturan ketenagakerjaan, pengajar hukum ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Nabiyla Risfa Izzati, berpendapat, kuli angkut yang tergolong pekerja informal memang sulit terlindungi. Problem itu disebabkan regulasi ketenagakerjaan bias pekerja formal.
Walakin, pemerintah bisa kembali ke konstitusi yang menyatakan bahwa negara wajib melindungi semua warganya. Perlindungan dasar harus diberikan, antara lain, dengan memastikan mereka memiliki jaminan sosial aktif.
”Perlu ada terobosan-terobosan kebijakan yang bisa dilakukan. Tidak selalu melalui formalisasi pekerjaan para kuli ini, yang penting memastikan bahwa hak-hak dasar mereka terpenuhi,” ujar Nabiyla.
Di sisi lain, ia mendorong kuli angkut memberdayakan diri lewat paguyuban. Paling tidak terdapat semacam wadah bagi para kuli ini untuk bisa mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan dan keberlangsungan pekerjaannya.
”Mekanisme penentuan upah akan terbantu dengan adanya paguyuban kuli angkut. Dengan demikian, bisa melakukan negosiasi dengan pengguna jasa mereka,” katanya.
Adapun Bahtiar menyarankan agar pemerintah mengubah paradigma pembangunan dari yang eksklusif menjadi inklusif. Dengan demikian, kelompok marjinal seperti kuli angkut memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam pembangunan.