Gangguan Kesehatan Menghantui Saat Jam Kerja Tidak Teratur
Bekerja di luar rumah membuat sejumlah orang merasa lebih bebas karena bisa berkutat dengan tugasnya di mana saja. Namun, gangguan kesehatan mengancam saat jam kerja hingga kenyamanan tempat bekerja tidak diperhatikan.
Bekerja di luar kantor rentan membuat pekerja lebih lelah karena jam kerja tidak teratur. Gangguan kesehatan, fisik, hingga mental menghantui pekerja yang bahkan berujung kepada kematian.
Kehidupan Anggun (32),warga Kota Bandung, Jawa Barat, sempat tidak karuan di saat pandemi Covid-19 melanda sejak awal 2020. Persebaran virus yang luar biasa cepat memaksa orang-orang membatasi pergerakan untuk menekan penularan.
Hampir seluruh aktivitas dikerjakan di rumah. Sekolah hingga pekerjaan dipindahkan ke jagat maya dengan pergerakan yang serba terbatas. Anggun yang saat itu bekerja pada industri kreatif di Jakarta juga terkena imbasnya. Dia hampir setiap hari di titik yang sama, tidak ke mana-mana.
Baca Juga: Kelelahan Bekerja Rawan Memicu Kematian
Awalnya Anggun tidak mengalami masalah saat bekerja di rumah. Namun, selang beberapa bulan, tuntutan pekerjaan mulai menghantuinya tanpa batasan jam kerja yang jelas. Dia menatap layar monitor lebih dari 12 jam, bahkan baru mematikan komputernya saat mau beranjak tidur.
Kelelahan akibat jam kerja yang panjang ini akhirnya berujung pada kesehatan Anggun yang cenderung menurun. Selama beberapa hari dalam seminggu, dia kerap merasakan demam atau migrain yang mengganggu aktivitasnya. Meskipun bekerja di meja kantor yang nyaman, mata dan kepalanya terasa berat.
”Dulu waktu di kantor, pembagian jam kerja jelas. Saat pulang ke kantor, sudah tidak ada pekerjaan yang perlu dipikirkan. Namun, saat bekerja di rumah, setiap saat adalah jam kantor, saya merasa tidak ada waktu istirahat,” ujarnya saat ditemui di Bandung, Jumat (10/3/2023).
Tidak hanya jam kerja yang tidak teratur, kehidupan Anggun pun jauh dari kata akur bersama keluarganya. Emosi akibat tekanan dari pekerjaan terbawa ke ranah privat dan itu berdampak pada komunikasi yang kurang harmonis.
Keputusannya untuk kembali ke Bandung agar mendapatkan suasana baru sekitar pertengahan 2021 juga tidak berujung baik. Dia tetap dihantui pekerjaan yang seakan-akan tidak berakhir. ”Saya bahkan sempat merasa tertekan dan tidak mau melihat notifikasi dari grup Whatsappkantor karena itu pasti tidak jauh dari pekerjaan,” kata Anggun.
Sekitar pertengahan 2022, Anggun memutuskan berkonsultasi dengan sahabatnya yang bekerja sebagai psikolog. Setelah merunut masalahnya dari awal pandemi hingga dua tahun berikutnya, Anggun ternyata mengalami gangguan psikosomatik. Kondisi ini terjadi saat keadaan psikologis seseorang berdampak kepada kesehatan fisiknya.
”Saya mulai merasa ada yang salah. Sewaktu berdiskusi dengan teman yang berprofesi psikolog, dia meminta saya untuk beristirahat karena dianggap gangguan psikosomatik. Namun, karena waktu itu masih banyak pekerjaan, saya tetap lanjut,” ujarnya tertawa.
Kondisi yang dialami Anggun ini bisa dirasakan siapa saja. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2016, sebanyak 745.000 orang meninggal karena jam kerja yang tinggi dari total 1,9 juta kematian kerja di 183 negara.
Kematian akibat kelelahan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penyebab lainnya. Kematian dalam pekerjaan yang kedua berasal dari faktor paparan partikel, gas, dan asap berbahaya dengan jumlah kasus hingga 450.000 jiwa. Setelah itu, faktor kecelakaan kerja menyebabkan 363.000 kematian.
Aktivitas di luar area kantor membuat jam kerja menjadi tidak terkontrol. Apalagi, pandemi memaksa orang-orang bekerja di rumah yang bisa saja berdampak pada hubungan keluarga.
Ranah privat
Menurut Programme Officer ILO Country Office for Indonesia and Timor Leste Abdul Hakim, risiko cacat dan kematian kerja akibat kelelahan semakin mengancam di saat pandemi Covid-19. Disrupsi digital hingga terbatasnya mobilitas bisa berdampak pada jam kerja semakin tidak pasti, bahkan berpengaruh ke ranah privat.
Abdul berujar, pekerjaan yang dilakukan di rumah berpotensi menimbulkan masalah baru. Saat berbagai macam interaksi bertemu di satu waktu, mulai dari rapat daring hingga mengurus keluarga, mampu membuat pekerja stres. Bahkan, tempat kerja yang tidak ergonomis menimbulkan masalah kesehatan lainnya.
”Aktivitas di luar area kantor membuat jam kerja menjadi tidak terkontrol. Apalagi, pandemi memaksa orang-orang bekerja di rumah yang bisa saja berdampak pada hubungan keluarga. Bahkan, posisi bekerja yang tidak ergonomis bisa berdampak pada kesehatan tubuh,” ujarnya di sela Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (IOMU) ke-15, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (25/2/2023).
Tidak hanya dari sektor formal, para pekerja informal juga lebih terdampak di tengah pandemi. Perputaran ekonomi semakin tersendat sehingga memicu banyak pemutusan hubungan kerja.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, sebanyak 4,15 juta penduduk usia kerja terdampak pandemi. Bahkan, sekitar 240.000 orang menjadi pengangguran karena Covid-19, 110.000 orang sementara tidak bekerja, dan sekitar 3,48 juta orang mengalami pengurangan jam kerja.
Pemasukan tambahan
Pengurangan jam kerja ini juga membuat sebagian orang memilih menambah pemasukan. Menurut Abdul, para pekerja yang terdampak ini tidak akan memilih sektor informal untuk menyambung hidup.
Kesulitan hidup di tengah pandemi membuat orang-orang bekerja lebih keras, bahkan mengabaikan waktu istirahat. Akibatnya, kelelahan hingga kematian mengancam para pekerja, seperti yang dialami para pengendara ojek daring.
Berdasarkan data BPS pada Februari 2022, jumlah pekerja sektor informal mencapai 81,33 juta jiwa atau 59,97 persen dari total 135,61 juta pekerja. Angka ini meningkat 0,35 persen dibandingkan Februari 2021. Bahkan, BPS mencatat sebanyak 9,44 juta orang di Indonesia mengalami pengurangan jam kerja akibat pandemi Covid-19 pada Februari 2022.
”Pandemi banyak membuat banyak orang kehilangan pekerjaan sehingga mereka memasuki sektor informal yang tidak memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja. Jika ini terus terjadi, bisa saja berdampak pada menurunnya derajat kesehatan di masa depan,” ujarnya.
Regulasi
Perubahan aktivitas pekerja akibat pandemi ini menjadi perhatian dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Menurut Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Kemenaker Haiyani Rumondang, regulasi terkait perubahan pola kerja ini tengah dibahas pemerintah.
”Saat beraktivitas di luar kantor, waktu kerja menjadi tidak terkontrol. Bisa saja melebihi waktu normal karena pekerjaan yang ada dilaksanakan dengan virtual secara bersamaan,” ujarnya.
Kalau di kantor, posisi pekerja sudah ergonomis, sesuai aturan K3. Namun, kalau di rumah, tidak semua orang memperhatikan itu. Perusahaan juga kesulitan untuk mengawasi hal yang menjadi tanggung jawabnya.
Selain waktu kerja, pertimbangan untuk merancang kebijakan baru ini dilakukan karena pekerjaan yang tidak dilakukan di tempat khusus atau kantor. Haiyani berujar, saat pekerja beraktivitas di rumah, kontrol K3 dari perusahaan menjadi minim.
”Kalau di kantor, posisi pekerja sudah ergonomis, sesuai aturan K3. Namun, kalau di rumah, tidak semua orang memperhatikan itu. Perusahaan juga kesulitan untuk mengawasi hal yang menjadi tanggung jawabnya,” ujar Haiyani.
Pengawasan dan aturan terkait bekerja di luar kantor ini juga dinanti para pekerja yang mulai nyaman beraktivitas di luar kantor, salah satunya Adit (28). Karyawan swasta dari Bandung ini mengaku lebih senang bekerja di luar kantor saat pandemi. Selain terhindar dari macet, dia juga bebas memilih tempat bekerja sesuai suasana hatinya.
”Kadang saya bekerja di rumah, sesekali di kafe. Memang di kantor posisi kerjanya lebih jelas, tetapi lebih enak di luar karena bekerja di lokasi yang tidak itu-itu saja,” ujarnya.
Meskipun menyenangkan bekerja di luar, Adit membenarkan bahwa jam kerja menjadi semakin tidak teratur dibandingkan dengan saat beraktivitas di kantor. Karena itu, dia berharap ada aturan yang mempertegas perusahaan untuk lebih mementingkan aturan jam kantor saat memberikan pekerjaan.
”Sesekali saya meeting sambil mengerjakan laporan. Mengerjakan beberapa tugas sekaligus ini yang sangat melelahkan,” ujarnya.
Beban kerja yang menumpuk ini menjadi kontraproduktif saat pekerja mengalami kelelahan. Bahkan, gangguan kesehatan hingga kematian bisa menghantui jika waktu istirahat tidak diperhatikan.
Baca Juga: Suka Duka Bekerja dari Rumah