Jalan Panjang Perjuangan Buruh Gendong di Yogyakarta
Selama puluhan tahun, para buruh gendong di Yogyakarta mengorganisir diri untuk memperjuangkan nasib mereka. Berkat perjuangan panjang itu, sejumlah hal positif berhasil dicapai. Namun, beberapa masalah masih membayangi.
Selama puluhan tahun, para buruh gendong di Yogyakarta telah mengorganisir diri untuk memperjuangkan nasib mereka. Berkat perjuangan panjang itu, sejumlah hal positif berhasil dicapai. Namun, beberapa masalah masih membayangi.
Sutinah (50) menunjukkan bekas luka di pergelangan tangan kirinya. Pada Oktober 2022, perempuan yang bekerja sebagai buruh gendong itu terpleset di Pasar Beringharjo, Kota Yogyakarta. Saat kejadian itu, Sutinah tak sedang menggendong barang.
Namun, peristiwa itu membuat pergelangan tangannya mengalami patah tulang dan meninggalkan bekas luka. “Gara-gara patah tulang itu, saya harus libur kerja empat bulan. Baru setengah bulan ini kerja lagi,” ujar Sutinah saat ditemui, Senin (6/3/2023).
Untungnya, untuk pengobatan dan operasi patah tulang itu, Sutinah tak perlu mengeluarkan biaya. Sebab, perempuan asal Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), itu sudah terdaftar sebagai peserta Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Terpleset di pasar juga pernah dialami buruh gendong lain, Isah Ponirah (49). Beberapa bulan lalu, dia terpleset saat menggendong kacang hijau seberat 50 kilogram (kg) di Pasar Beringharjo. Akibat kejadian itu, tempurung lututnya bergeser.
“Waktu itu, kaki saya sempat enggak bisa ditekuk. Tapi, setelah dibawa ke tukang pijat, Alhamdulillah bisa sembuh,” tutur Isah. Tak lama setelah kejadian tersebut, Isah langsung bekerja kembali.
Cedera karena terpleset di pasar hanya salah satu problem yang dialami oleh para buruh gendong di DIY. Masalah lainnya adalah penghasilan yang tak menentu karena tidak ada standar untuk upah bagi para buruh gendong.
Baca juga: Buruh Gendong, Wajah Sahaja di Tengah ”Cendol” Beringharjo
Isah menuturkan, buruh gendong di Pasar Beringharjo rata-rata diupah Rp 5.000 untuk sekali angkut dengan beban sekitar 30-50 kg. Jika bertemu pelanggan yang baik, mereka bisa mendapat bayaran lebih, misalnya Rp 10.000 sekali angkut. Namun, terkadang mereka juga diberi upah yang tak manusiawi.
“Saya pernah diminta angkat barang dari lantai satu sampai lantai tiga, tapi ditawari upah hanya Rp 1.500. Ya saya tolak. Untuk beli minuman saja enggak cukup kalau Rp 1.500,” tutur Isah yang merupakan Ketua II Paguyuban Buruh Gendong Sayuk Rukun Pasar Beringharjo.
Meski begitu, Isah mengakui, upaya standarisasi upah buruh gendong itu sulit dilakukan. Sebab, para buruh gendong di area penjualan pakaian di Pasar Beringharjo memiliki cara kerja berbeda dengan buruh gendong di area lain.
Di area penjualan sayuran, misalnya, para buruh gendong biasanya hanya diminta mengangkat barang dari satu tempat ke tempat lain. Oleh karena itu, waktu yang dibutuhkan hanya beberapa menit. Mereka inilah yang biasa mendapat bayaran Rp 5.000 untuk sekali angkat.
Baca juga: Pemeriksaan Kesehatan Gigi dan Mulut Buruh Gendong Pasar Beringharjo
Sementara itu, buruh gendong di area pakaian biasanya diminta membawakan barang belanjaan pembeli sambil mengikuti pembeli berbelanja dari satu tempat ke tempat lain. Aktivitas itu bisa memakan waktu selama beberapa jam. Karena harus bekerja dalam waktu berjam-jam, buruh gendong di area pakaian itu bisa dibayar hingga Rp 100.000 per sekali angkut.
“Tapi, ya tidak setiap hari bisa dapat bayaran sampai Rp 100.000 gitu. Ada juga buruh gendong (di area pakaian) yang cuma dibayar Rp 5.000 setelah ngikuti pembeli ke sana ke mari,” ungkap Isah.
Pengorganisasian
Di antara sejumlah tantangan itu, para buruh gendong perempuan di DIY mengorganisir diri dengan membentuk paguyuban. Selama bertahun-tahun, mereka juga didampingi oleh Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan hak-hak perempuan pekerja.
Direktur Yasanti, Nadlrotussariroh, menuturkan, pada tahun 1992, lembaga itu melakukan penelitian tentang buruh gendong di Pasar Beringharjo. Setelah penelitian itu selesai, Yasanti mulai mendampingi para buruh gendong untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Dari pendampingan itulah terbentuk paguyuban buruh gendong bernama Sayuk Rukun.
“Kami mendampingi dan akhirnya para ibu buruh gendong itu membuat organisasi,” ujar perempuan yang biasa dipanggil Sariroh itu.
Saat ini, Yasanti tidak hanya mendampingi buruh gendong perempuan di Pasar Beringharjo. Lembaga itu juga mendampingi para buruh gendong di tiga pasar lain, yakni Pasar Giwangan dan Pasar Kranggan di Kota Yogyakarta serta Pasar Gamping di Kabupaten Sleman, DIY.
Berdasarkan data Dinas Perdagangan Kota Yogyakarta, terdapat 260 buruh gendong di Pasar Beringharjo, terdiri dari 210 orang perempuan dan 50 laki-laki. Sementara itu, ada 134 buruh gendong di Pasar Giwangan dan 13 buruh gendong di Pasar Kranggan. Adapun berdasarkan data Yasanti, jumlah buruh gendong di Pasar Gamping sekitar 50 orang.
Sariroh menuturkan, setelah paguyuban terbentuk, Yasanti mengajak para buruh gendong untuk melakukan advokasi terkait sejumlah persoalan. Salah satu yang mereka perjuangkan beberapa tahun lalu adalah penyediaan tempat khusus di pasar bagi para perempuan buruh gendong untuk istirahat.
“Dulu, ibu-ibu buruh gendong itu kalau istirahat ya di area dekat sayuran. Kalau ganti baju dan kerokan, ya di tempat terbuka di pasar karena enggak punya ruang yang tertutup,” ungkap Sariroh.
Setelah melalui sejumlah proses, perjuangan untuk mendapat ruang khusus itu berhasil. Di Pasar Beringharjo, misalnya, terdapat sebuah ruangan bernama Sentong Endong-endong. Sentong berarti bilik atau kamar, sementara endong-endong adalah istilah untuk menyebut para buruh gendong perempuan.
Saat ini, ruangan itu biasa digunakan untuk istirahat dan tempat pertemuan para buruh gendong. “Untuk mendapat tempat itu, perjuangannya sepuluh tahun lebih,” kata Sariroh.
Yasanti juga kerap mengajak para buruh gendong untuk mengikuti berbagai jenis pelatihan, termasuk bagaimana cara melakukan advokasi dan berdialog dengan instansi pemerintah. Beberapa buruh gendong bahkan pernah diajak ke luar negeri untuk menghadiri pertemuan dengan perempuan pekerja dari negara lain.
Baca juga: Bantuan Pembaca ”Kompas” Menjangkau Ratusan Buruh Gendong di DIY
Melalui sejumlah upaya itu, aspirasi buruh gendong menjadi lebih didengar oleh pihak-pihak terkait. “Buruh gendong akhirnya tidak lagi dipandang sebelah mata. Mereka juga diakui sebagai warga pasar. Itu perjuangannya tidak mudah dan butuh waktu panjang,” tutur Sariroh.
Menurut Sariroh, kebanyakan buruh gendong di empat pasar di DIY juga telah menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Kondisi itu terjadi setelah Yasanti bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk memberikan sosialisasi dan pendampingan kepada para buruh gendong.
Toilet gratis
Meski begitu, Sariroh menyebut, masih ada beberapa aspirasi buruh gendong yang belum terwujud. Salah satunya adalah penyediaan toilet gratis di pasar untuk mereka. Selama ini, para buruh gendong terkadang masih diminta membayar saat menggunakan toilet. Hal itu dinilai memberatkan karena mereka bisa beberapa kali ke toilet dalam sehari.
“Kalau sekali ke kamar mandi bayar Rp 2.000, bisa dihitung berapa banyak yang harus mereka bayar dalam sehari. Makanya ada upaya untuk memperjuangkan toilet gratis. Ada beberapa toilet di pasar yang sudah gratis, tetapi ada yang belum,” papar Sariroh.
Buruh gendong akhirnya tidak lagi dipandang sebelah mata. Mereka juga diakui sebagai warga pasar
Kepala Bidang Pasar Rakyat Dinas Perdagangan Kota Yogyakarta Gunawan Nugroho Utomo mengatakan, pihaknya telah melakukan sejumlah upaya untuk mendukung keberadaan buruh gendong di pasar tradisional. Salah satu contohnya, Dinas Perdagangan Kota Yogyakarta telah membuat nota kesepahaman dengan pengelola kamar mandi di pasar untuk menggratiskan para buruh gendong.
Namun, Gunawan mengakui, upaya menggratiskan kamar mandi bagi buruh gendong itu belum berjalan optimal. Sebab, ada sebagian penjaga kamar mandi yang masih meminta buruh gendong untuk membayar. Oleh karena itu, Dinas Perdagangan Kota Yogyakarta berencana mempertemukan pengelola kamar mandi dengan paguyuban buruh gendong untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Gunawan menambahkan, keberadaan buruh gendong juga telah diakui dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pasar Rakyat. Dalam perda itu, buruh gendong disebut sebagai salah satu entitas ekonomi di pasar rakyat yang berhak mendapat perlindungan dan pemberdayaan.
“Dengan perda itu, perhatian dan keberpihakan terhadap teman-teman buruh gendong akan lebih baik lagi,” ujar Gunawan.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial DIY Endang Patmintarsih mengatakan, pihaknya belum bisa memastikan berapa banyak buruh gendong di DIY yang telah menerima bantuan sosial (bansos). Dia menyebut, dasar pemberian bansos adalah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Informasi di DTKS itu mengacu pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
“Padahal, di KTP dan KK itu kan tidak disebut pekerjaan buruh gendong, paling kan disebut pekerjaannya swasta. Ini yang kami kesulitan untuk mengetahui,” ungkap Endang.
Namun, Endang meyakini, apabila para buruh gendong itu masuk kategori miskin, data mereka akan masuk ke dalam DTKS sehingga bisa memperoleh bansos. Kalaupun ada buruh gendong yang belum mendapat bansos, data mereka bisa diusulkan untuk dimasukkan ke dalam DTKS agar bisa mendapat bansos.