Yang Bertaruh Nyawa di Tambang Belerang
Sekitar 50 orang masih setia menekuni pekerjaan mengangkut belerang di Kawah Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur, yang berisiko tinggi terhadap keselamatan dan kesehatan karena keterpaksaan.

Hopit (36), pengangkut belerang, membawa hasil untuk ketiga kalinya dengan memikul dari dasar atau lokasi pengambilan belerang ke tepi Kawah Ijen di atas, Rabu (8/3/2023) pagi. Dalam sehari bekerja, Hopit berusaha mengambil 2-3 kali belerang dengan memikul dari bawah ke atas. Hasilnya 150-200 kilogram belerang bongkahan. Ongkos angkut dihargai Rp 1.250 per kilogram.
Setidaknya 50 lelaki masih menekuni penghidupan sebagai penambang belerang di Kawah Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur. Mereka menggantungkan nasib pada pekerjaan yang termasuk paling berbahaya karena berisiko fatal atau bertaruh nyawa.
“Jika ada pekerjaan lain, pasti saya tidak menambang,” kata Hopit (36), warga Dusun Kebun Dadap, Tamansari, Licin, Banyuwangi di kediaman sederhana, Selasa (7/3/2023) malam. Sudah 15 tahun, pekerjaan menangkap gas belerang dengan pipa dari solfatara, mendongkel dan mengangkut bongkahan belerang dari dinding tepi danau Kawah Ijen telah ditekuni demi kelangsungan hidup keluarga.
Rabu (8/3), selepas pukul 06.00 WIB, Hopit telah berdiri dan menunggu di bibir Kawah Ijen. Di sudut mulut tersulut sebatang rokok kretek Gudang Garam Merah. “Maaf, tadi duluan biar cepat selesai ambil belerang,” kata lelaki yang pagi itu memakai kupluk, celana, dan boot hitam, kaos merah putih lengan panjang, buff atau sarung leher, dan mengikatkan jumper atau baju hangat biru muda ke pinggang.
Baca juga : Air Kawah Ijen Meletup, Satu Orang Hilang

Sepasang turis dari Singapura berfoto bersa,a Sutrisno, pengangkut belerang yang suka menembang lagu-lagu tradisional dalam bahasa Osing di Kawah Ijen, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (8/3/2023). Dalam sehari, pengangkut belerang bisa 3-4 kali bolak balik ke dasar kawah untuk membawa belerang yang setara 150-200 kilogram. Selanjutnya, mereka akan membawa belerang ke lokasi penimbangan di Paltuding, pintu masuk Taman Wisata Alam Kawah Ijen, sekaligus pos timbang PT Candi Ngrimbi, pemegang konsesi pertambangan belerang di Kawah Ijen.
Hopit berangkat dari rumah pukul 03.00 WIB dan tiba di Pos Paltuding, permulaan pendakian ke Kawah Ijen setengah jam kemudian. Di sini juga ada Pos Timbang PT Candi Ngrimbi (dahulu CV Argomulyo), tempat para penambang menaruh troli atau gerobak. Setelah mengambil alat angkut itu, Hopit segera mendaki. Pendakian untuk umum dibuka pukul 04.00 WIB sedangkan saya baru tiba di Pos Paltuding pukul 05.00 WIB karena ketiduran sehingga tidak bisa membarengi Hopit.
Ketika ditemui di tepi Kawah Ijen, Hopit bilang sudah dua kali turun ke tepi danau untuk mengangkut belerang. Lebih dari enam bongkahan besar yang telah diangkut itu telah masuk ke karung. “Saya mau turun sekali lagi. Ayo bareng, Pak,” kata Hopit, bapak dua anak itu.
Saya tidak percaya dengan keamanan jalur menuju danau. Tidak ada kelengkapan keselamatan yang digunakan. Jika terpeleset dan terjungkal, tubuh bisa membentur batuan sehingga tidak bisa dipastikan dampaknya. Selain itu, saya amat awam dengan potensi keluarnya gas beracun di Kawah Ijen yang mengancam keselamatan. Saya memilih turun sekitar 100 langkah untuk memotret dari jauh aktivitas penambang di pagi yang cerah itu.
Baca juga : Ijen Keluarkan Gas Beracun, Wisatawan Tak Bisa Lihat Api Biru

Hopit (36), pengangkut belerang, beristirahat setelah memikul belerang untuk ketiga kalinya dari dasar atau lokasi pengambilan belerang ke tepi Kawah Ijen di atas, Rabu (8/3/2023) pagi. Dalam sehari bekerja, Hopit berusaha mengangkut 2-3 kali. Hasilnya 150-200 kilogram belerang bongkahan. Ongkos angkut dihargai Rp 1.250 per kilogram.
Sekitar 1 jam kemudian, Hopit sudah kembali naik sambil memikul bongkahan belerang yang ketiga. Diperkirakan, kepalan besar mineral non logam putih kekuningan yang sudah diangkutnya mencapai 200 kilogram. “Sudah cukup, sudah terkuras,” ujarnya kemudian duduk di batu di tepi kepundan lalu segera menyulut sebatang rokok.
Selanjutnya, Hopit menaruh seluruh karung dan bongkahan belerang ke gerobak, mengikat, dan mendorong turun sampai pos timbang. Dalam perjalanan turun, Hopit sempat beristirahat di Pos Bunder, bekas pos timbang lama yang kini menjadi tempat istirahat bagi pendaki Kawah Ijen. Segelas kopi, satu pisang, satu tahu isi, dan lagi-lagi sebatang rokok kretek menjadi pemulih energi untuk perjalanan turun.
Hopit bersyukur hari itu dapat menyelesaikan pekerjaan tanpa masalah apalagi kecelakaan. Selepas tengah hari atau sore, Hopit pulang sambil membawa uang dari ongkos angkut yang dibayarkan PT Candi Ngrimbi untuk diserahkan kepada istri. “Lumayan, biar sudah terkuras tetapi bisa untuk isi toples,” katanya.
Toples adalah ungkapan untuk celengan atau tabungan dari hasil bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Arifin, pengangkut belerang, memikul bongkahan belerang yang diambil dari dasar Kawah Ijen ke bagian atas, Rabu (8/3/2023) pagi. Di depannya telah berada sepikul bongkahan belerang pengangkutan pertama. Dalam sehari, pengangkut belerang bisa 3-4 kali bolak balik ke dasar kawah untuk membawa belerang yang setara 150-200 kilogram. Selanjutnya, mereka akan membawa belerang ke lokasi penimbangan di Paltuding, pintu masuk Taman Wisata Alam Kawah Ijen, sekaligus penimbangan PT Candi Ngrimbi, pemegang konsesi pertambangan belerang di Kawah Ijen.
Berisiko
Hopit termasuk dalam 40-50 buruh lepas PT Candi Ngrimbi untuk pengangkutan belerang. Di masa jaya atau sampai 2015, jumlah penambang 350-400 orang. Produksi yang biasanya 15 ton per hari tersisa menjadi 4 ton per hari. “Yang merasa tidak sanggup lagi seperti saya akhirnya jual masker, sarung tangan, kupluk, kaos kaki atau jadi guide (pemandu wisata), sewa troli (gerobak wisata),” ujar Hardiansah (38) yang menekuni pekerjaan sebagai penambang belerang 2004-2005.
Hardiansah merasa pekerjaan yang masih ditekuni Hopit, tetangganya, amat berbahaya. Bapak tiga anak itu juga melihat pengalaman ayah dan kakek di masa lalu yang menjadi penambang belerang. Sebelum 2015 atau ada perbaikan pengangkutan dengan troli, penambang belerang memikul bolak balik seluruh bongkahan yang diambilnya dari tepi danau ke kawah lalu ke Paltuding.
“Di masa kakek saya, ada yang pakai kuda tetapi kebanyakan jalan bahkan sampai pabrik (PT Candi Ngrimbi Unit 1 Belerang Banyuwangi di Desa Tamansari),” katanya. Pabrik itu berada sekitar 17 kilometer dari Paltuding.
Baca juga : Kawah Ijen yang Menarik Wisatawan

Petambang beristirahat disela-sela memikul belerang dari dasar kawah Gunung Ijen yang berada di perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso, Kamis (2/6/2022). Petambang belereng dalam sehari bisa mendapatkan dua kuintal hingga tiga kuintal. Mereka mulai menambang dari jam 02.00 WIB hingga jam 10.00 WIB. Dalam sehari bisa naik turun kawah hingga pos dan membawa empat hingga lima pikul belerang yang bermuatan 70-100 kilogram. Belerang dijual Rp 1.250 perkilogram.
Status sebagai buruh lepas, menurut Asmawi (43), penambang belerang, tidak membuat mereka terlindungi. Penghasilan hanya dari upah atau ongkos angkut yang saat ini Rp 1.250 per kilogram. Jika kondisi tubuh tetap bugar, dalam sebulan, penambang bekerja bisa 20 hari. Asumsi per hari rata-rata dapat mengangkut 150 kilogram belerang sehingga penghasilan dalam sebulan maksimal Rp 3,75 juta. Nilai ini memang di atas upah minimum kabupaten yang Rp 2,529 juta.
“Namun, kami tidak ada asuransi (BPJS), tunjangan, bahkan alat penunjang kerja,” kata Asmawi. Jika sakit, biaya harus ditanggung sendiri. Jika terjadi kecelakaan bahkan sampai kematian, santunan kepada keluarga tidak besar. Bantuan untuk alat kerja amat jarang dari perusahaan lain atau lembaga.
Risiko bertaruh nyawa itulah yang sempat membuat Asmawi berhenti yakni kurun 2011-2012 dan 2017-2019. Namun, penghasilan dari berkebun, beternak, bahkan buruh bangunan atau di pasar tidak cukup untuk penghidupan keluarga. Cuma dengan mengangkut belerang, besaran penghasilan bisa dipastikan. Ada barang, ada uang. “Kalau kerja dapat uang meski risiko. Kalau sakit, kecelakaan, tidak kerja ya tidak ada uang,” ujarnya.

Petambang memikul belerang dari dasar kawah Gunung Ijen yang berada di perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso, Kamis (2/6/2022). Petambang belereng dalam sehari bisa mendapatkan dua kuintal hingga tiga kuintal. Mereka mulai menambang dari jam 02.00 WIB hingga jam 10.00 WIB. Dalam sehari bisa naik turun kawah hingga pos dan membawa empat hingga lima pikul belerang yang bermuatan 70-100 kilogram. Belerang dijual Rp 1.250 perkilogram.
Persaingan
Mantan Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Ijen Bambang Heri Purwanto yang kini bekerja untuk PT Candi Ngrimbi mengatakan, jumlah pengangkut belerang terus berkurang yang terutama karena beralih ke sektor wisata. “Kami tidak bisa memberikan perlindungan optimal karena hubungan dengan penambang yang lepas,” katanya.
Perusahaan pada 2017 mencoba memasukkan program BPJS Kesehatan untuk penambang. Ini memang diakui oleh kalangan penambang. Namun, setelah dua tahun, program itu dicabut sepihak karena perusahaan merasa dirugikan akibat kepindahan pekerjaan penambang ke sektor wisata sebagai pemandu, penarik troli, atau sewa perlengkapan pendakian.
Baca juga : Pemandu Wisata Tewas Terjatuh di Kawah Ijen

Wisatawan asing berfoto di dasar kawah Gunung Ijen yang berada di perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso, Kamis (2/6/2022). Selain api biru, Taman Wisata Alam Kawah Ijen juga menawarkan atraksi kegiatan sublimasi belerang dan panorama pegunungan. Mengutip blog Organisasi Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNWTO), kedatangan turis internasional global naik lebih dari dua kali lipat pada Januari 2022 dibanding sepanjang 2021, atau 18 juta lebih banyak pengunjung. Meskipun demikian, kedatangan turis internasional pada Januari 2022 tetap 67 persen di bawah tingkat sebelum terjadi pandemi Covid-19.
Kepala Desa Tamansari Rizal Sahputra mengatakan, alasan kepindahan tidak terelakkan karena merupakan pilihan pribadi warganya. Pengangkutan belerang dianggap amat berisiko dan berdampak terhadap kesehatan misalnya gangguan pernapasan, cedera bahu dan kaki di masa depan. “Perlu ada intervensi dengan penyediaan perlengkapan dan peralatan keselamatan kerja serta program perlindungan asuransi,” ujarnya.
Namun, siapa yang mau memberikan perlindungan itu? Perusahaan dan pemerintah? Atau mereka dibiarkan selalu bertaruh nyawa dan menantang kematian demi kelangsungan hidup?