Rangkaian Persidangan Ungkap Kejanggalan Kasus Puskesmas Bungku
Kasus Puskesmas Bungku jadi potret ketidaksesuaian aparat menyikapi kasus-kasus dalam proyek pembangunan. Tidak hanya terjadi di Jambi, fenomena itu kerap didapati di tempat lain, berbuntut gugatan pra-peradilan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
DOKUMENTASI DINKES BATANGHARI
Pelayanan vaksinasi massal di Puskesmas Bungku, Kabupaten Batanghari, Jambi, 2021.
Kasus Puskesmas Bungku di Kabupaten Batanghari diseret ke ranah pidana selagi pembangunannya masih dalam tahap pemeliharaan. Sejumlah pihak menilai kasus itu seharusnya diselesaikan terlebih dahulu secara administratif berupa upaya perbaikan. Sejumlah kejanggalan pun mulai beruntun terungkap dalam rangkaian sidang di Pengadilan Negeri Jambi.
Yang terbaru, pakar hukum dari Universitas Jambi, Sukamto, menelisik tindakan tidak sah aparat penegak hukum dalam sidang pada Kamis (9/3/2023) lalu. Tindakan tidak sah yang dimaksud, kasusnya telah dibawa penyidik ke ranah pidana selagi proses pembangunan masih dalam tahap pemeliharaan.
Padahal, pada tahapan itu belum bisa ditemukan adanya penyimpangan atau perbuatan melawan hukum pidana. Yang berlaku pada tahap pemeliharaan adalah hukum administrasi negara. Jika ditemukan adanya kekurangan dalam pembangunan, pelaksana dapat diminta untuk memperbaikinya paling lambat 60 hari.
Kalau pelaksana mengabaikannya, barulah aparat masuk ke hukum perdata, dan yang terakhir ke ranah pidana. Itu sesuai dengan kedudukan hukum pidana sebagai ultimum remidium (upaya terakhir dalam hal penegakan hukum).
Sukamto menyebut Kejaksaan Agung telah menyiapkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 14 Tahun 2016 yang berisi instruksi pengamanan dan pengawalan pelaksanaan proyek pemerintah. Jaksa pengawas agar tidak melakukan penyelidikan atau penyidikan ketika proyek masih berjalan. ”Proyeknya biar selesai dulu. Nanti, kan, ada audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan),” ujarnya. Kalaupun ada kekurangan, lanjut Sukamto, masih ada waktu 60 hari untuk diperbaiki.
SYAHLAN SAMOSIR UNTUK KOMPAS
Pakar hukum Universitas Jambi, (dari kiri) Sukamto dan Usman, menjadi saksi ahli dalam sidang kasus dugaan korupsi pembangunan Puskesmas Bungku di Pengadilan Negeri Jambi, Kamis (9/3/2023).
Senada dengan itu, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 juga menetapkan penyidikan saat pembangunan masih dalam tahap pemeliharaan dinyatakan tidak sah.
Sukamto menyebut kasus Puskesmas Bungku merupakan potret ketidaksesuaian aparat menyikapi kasus-kasus dalam proyek pembangunan. Tidak hanya terjadi di Jambi, fenomena itu ditemui pada wilayah-wilayah lain. Persoalan yang mestinya dapat diselesaikan di ranah administratif menjadi berlarut-larut di ranah pidana. Hal itu juga berimbas pada banyaknya gugatan pra-peradilan. Hasil penelusurannya, ada 10 kasus gugatan pra-peradilan yang akhirnya dikabulkan majelis hakim.
Puskesmas Bungku di Kabupaten Batanghari dibangun tahun 2020 pada masa pandemi. Puskesmas dengan gedung dua lantai itu digadang-gadang memberi layanan medis 24 jam. Layanan itu strategis memenuhi kebutuhan masyarakat pedalaman Jambi, seperti komunitas Orang Rimba dan suku Batin Sembilan,
Dengan dana alokasi khusus sebesar Rp 7,2 miliar, proyek ditargetkan memakan waktu 150 hari kerja. Namun, hingga batas target waktu 14 Desember 2020, pengerjaan baru 88 persen. Proyek lalu dikebut. Selanjutnya, puskesmas resmi beroperasi pada 13 Juli 2021. Gedung itu sempat digunakan sebagai tempat perawatan pasien Covid-19, program vaksinasi massal Covid-19, serta pelayanan medis umum lainnya. Hingga kini, gedung puskesmas masih beroperasi.
Hingga kini, gedung puskesmas masih beroperasi.
Oleh penyidik Kepolisian Daerah Jambi, proyek tersebut dinyatakan gagal bangunan dan ada total loss berdasarkan penilaian ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jambi Komisaris Besar Christian Tory sebelumnya mengatakan, ada dugaan korupsi yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp 6,3 miliar dari total nilai proyek Rp 7,2 miliar itu. Angkanya diperoleh dari penilaian ahli konstruksi ITB dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Jambi.
Tujuh orang kini menjadi terdakwa, yakni mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batanghari Elfi Yennie, Zuldistra Fauzi dan Rudi Harianto dari Tim Pokja Pembangunan Puskesmas Bungku, serta empat lainnya selaku pelaksana pembangunan puskesmas, yaitu Abu Tholib, Adil Ginting, Delly Himawan, dan M Fauzi.
DOKUMENTASI DINKES BATANGHARI
Pelayanan vaksinasi massal di Puskesmas Bungku, Kabupaten Batanghari, Jambi, 2021.
Dalam persidangan pekan sebelumnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Jambi turut hadir sebagai saksi ahli. Auditor BPKP, Muhtazar, menyatakan audit dan kesimpulannya dibuat sesuai permintaan penyidik kepada BPKP. Tim kemudian menyimpulkan adanya kerugian negara Rp 6,3 miliar. Angka itu didapatkan dari penghitungan pekerjaan terpasang yang dinilai nihil disebabkan konstruksi gagal bangunan.
Adapun kesimpulan gagal bangunan diperoleh dari dosen ITB, Mahfudz. Ia menyatakan, kualitas pekerjaan beton jauh di bawah syarat dalam kontrak. Kapasitas komponen struktur (kolom, balok, dan pelat) mengalami penurunan 30 persen. Apabila digunakan, bangunan tersebut akan membahayakan pengguna. Jaksa penuntut umum lalu mendakwa para terdakwa memperkaya diri sendiri atau orang lain dari pembangunan Puskesmas Bungku.
Jaksa Tito Supratman dalam persidangan sebelumnya menanyakan kepada saksi ahli bidang konstruksi pada persidangan, apa dampak jika sebuah bangunan mengalami gagal bangunan. Mahfudz menjawab, bangunan itu bisa membahayakan orang di dalamnya. Apalagi, menurut dia, pembangunan puskesmas itu dilakukan tidak dengan spesifikasi yang direncanakan.
Kuasa hukum terdakwa, Arie Kaban, mempersoalkan minimnya sampel yang diuji oleh saksi ahli dari ITB itu. Ahli mengambil hanya dua sampel kolom dari 92 kolom di puskesmas berlantai dua tersebut. Dari dua sampel yang diambil, hanya satu sampel yang menyatakan kualitas kolom tidak sesuai rencana, sedangkan sampel kedua menunjukkan hasil yang sesuai. ”Bagaimana mungkin jumlah sampel yang sangat sedikit dijadikan dasar membuat kesimpulan terjadinya gagal bangunan?” kata Arie.
Ia pun mempertanyakan kapasitas Mahfudz sebagai ahli konstruksi. Saat ditanya apakah memiliki sertifikasi keahlian, semisal sertifikasi ahli konstruksi, Mahfudz menjawab tidak punya.
Perihal kesimpulan kerugian negara oleh BPKP, pakar hukum Unja, Usman, menyebut dalam sidang, hal itu salah. BPKP hanya berwenang melakukan audit, tetapi tidak berwenang menyatakan adanya kerugian negara. Hal serupa diperkuat Sukamto. Ia mengatakan, siapa pun boleh melakukan audit. Namun, yang berhak menyatakan adanya kerugian negara hanya BPK. Jadi, setelah audit selesai, hasilnya harus diserahkan kepada BPK untuk diperiksa apakah ada kerugian negara. ”Namun, ini tidak dilakukan (BPKP),” katanya.
Kuasa hukum terdakwa, M Syahlan Samosir, mengatakan pihaknya sejak awal telah meminta penyidik menunjukkan isi audit BPKP agar dapat diserahkan kepada BPK, tetapi tidak pernah diberikan.