Kisah ”Serbuan” Buruh Gendong dari Sentolo ke Beringharjo
Sebagian besar buruh gendong di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, berasal dari Kecamatan Sentolo, Kulon Progo. ”Serbuan” buruh gendong dari Sentolo ke Beringharjo itu sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu.
Sebagian besar buruh gendong di Pasar Beringharjo, Kota Yogyakarta, berasal dari Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. ”Serbuan” para buruh gendong dari Sentolo ke Beringharjo itu sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu karena dorongan faktor ekonomi.
Bus berwarna merah dengan tulisan ”Hey Tayo” terparkir di pinggir jalan tak jauh dari Pasar Beringharjo, Senin (6/3/2023) sore. Sejumlah perempuan tampak berjalan menuju bus itu lalu naik ke dalamnya. Mereka adalah para buruh gendong yang telah selesai bekerja di pasar dan hendak pulang ke rumah.
Sore itu, bus dengan 27 kursi tersebut diisi sekitar 30 perempuan buruh gendong sehingga sebagian terpaksa harus berdiri. Ada juga yang duduk di tempat menaruh barang di samping sopir. Suasana di dalam bus agak gerah karena alat pendingin udara mati, sementara jendela bus tak bisa dibuka. Hanya ada satu kipas angin yang mengurangi kegerahan di dalam bus.
Setelah semua buruh gendong naik, bus mulai berjalan pelan menembus kemacetan di wilayah Kota Yogyakarta. Kendaraan itu lalu menuju ke arah Jalan Yogyakarta-Wates. Di sepanjang jalan ini, bus ”Hey Tayo” itu berhenti beberapa kali untuk menurunkan buruh gendong.
Lokasi perhentian itu, antara lain, di wilayah Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), serta Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, DIY. Sesudah itu, bus terus berjalan hingga memasuki Kecamatan Sentolo, Kulon Progo.
Di wilayah Sentolo, bus lebih kerap berhenti untuk menurunkan penumpang. Jumlah buruh gendong yang turun pun jauh lebih banyak. Perjalanan bus itu berakhir di Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, yang berjarak sekitar 23 kilometer (km) dari Pasar Beringharjo. Waktu tempuh menuju desa itu dari Pasar Beringharjo sekitar 1 jam.
Baca Juga: Dana Kemanusiaan Kompas Salurkan Bantuan untuk Buruh Gendong
Sopir bus, Suryanto (61), mengatakan, bus itu memang menjadi langganan antar-jemput buruh gendong dari Sentolo ke Pasar Beringharjo dan sebaliknya. Setiap hari sekitar pukul 07.20, Suryanto mengantar buruh gendong berangkat dari Sentolo. Pada sore hari, sekitar pukul 15.45, dia menjemput para ibu itu di pasar, lalu mengantar pulang.
Ongkos antar-jemput itu Rp 10.000 sekali jalan atau Rp 20.000 pulang pergi. Menurut Suryanto, aktivitas antar-jemput itu dilakukan berdasar kerja sama antara pemilik bus dan para buruh gendong sejak sekitar 30 tahun lalu. ”Dulu, di tahun-tahun awal, ongkos naik bus ini hanya Rp 25 per orang,” kata warga Giwangan, Kota Yogyakarta, itu.
Suryanto menuturkan, pendapatan dari antar-jemput itu sekitar Rp 300.000-Rp 400.000 per hari. Dari total pendapatan itu, dia wajib menyerahkan Rp 150.000 kepada pemilik bus. Uang yang tersisa lalu dibagi dengan rekannya yang bekerja sebagai kenek.
Getok tular
Desa Salamrejo menjadi salah satu desa yang warganya banyak bekerja sebagai buruh gendong. Salah seorang di antaranya adalah Isah Ponirah (49). ”Saya jadi buruh gendong itu dari tahun 2010. Simbok (ibu) saya itu juga dulu jadi buruh gendong,” ujar Ketua II Paguyuban Buruh Gendong Sayuk Rukun Pasar Beringharjo itu.
Sebelum menjadi buruh gendong, Isah sempat bekerja di warung soto di Pasar Beringharjo sejak tahun 1989. Sesudah juragannya meninggal, Isah lalu beralih menjadi pedagang keliling di pasar itu. Namun, dia kemudian memilih menjadi buruh gendong hingga sekarang. Saat ini, pendapatannya sebagai buruh gendong sekitar Rp 50.000-Rp 80.000 per hari.
Dari penghasilannya sebagai buruh gendong ditambah pendapatan sang suami yang dulu bekerja sebagai sopir bus, Isah bisa membeli tanah seluas 1.000 meter persegi di desanya, membangun rumah, dan menyekolahkan tiga anaknya hingga jenjang SMK.
Sekitar tiga tahun lalu, suami Isah berhenti bekerja sebagai sopir bus. Pendapatan Isah sebagai buruh gendong pun menjadi kian penting. Untuk menambah penghasilan, dia bersama suaminya kemudian memproduksi dan menjual minuman tradisional wedang uwuh dan wedang secang.
Baca Juga: Perempuan Tangguh, Melewati Kesulitan
Isah menuturkan, dari sekitar 210 perempuan buruh gendong di Pasar Beringharjo, sekitar 90 persennya berasal dari Kecamatan Sentolo. Khusus di Desa Salamrejo, dia menyebut, ada sekitar 20 perempuan yang bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo.
Menurut Isah, sejumlah perempuan di desanya memilih menjadi buruh gendong setelah mendapat informasi getok tular dari tetangganya. Ada juga yang mengikuti jejak ibunya yang lebih dulu menjadi buruh gendong. Kebanyakan buruh gendong itu hanya lulusan SD atau SMP.
”Dengan latar belakang pendidikan yang rendah, mereka tidak bisa bekerja di sektor formal. Di sisi lain, mereka juga tidak memiliki modal untuk menjalankan usaha sendiri,” ujar Isah yang merupakan lulusan SMP.
Akhirnya, pekerjaan menjadi buruh gendong pun dipilih karena mereka harus mencari pendapatan tambahan karena penghasilan sang suami tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sebagian keluarga, pekerjaan sebagai buruh gendong bahkan menjadi sumber pemasukan utama.
Kondisi itu antara lain terjadi di keluarga Purwadi (68), warga Desa Salamrejo. Sejak enam tahun silam, Purwadi berhenti dari pekerjaannya sebagai petugas kebersihan karena sakit. Sejak saat itu, penghasilan utama keluarga tersebut berasal dari sang istri, Ponirah (65), yang sehari-hari bekerja sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo.
Untuk menambah pendapatan, Purwadi menjalankan usaha penetasan telur ayam di rumahnya. Dari usaha itu, dia bisa menjual bibit ayam hasil penetasan kepada pihak lain. ”Kadang-kadang, kami juga dibantu oleh dua anak kami yang sudah kerja,” tuturnya.
Dengan latar belakang pendidikan yang rendah, mereka tidak bisa bekerja di sektor formal.
Desa lain
Selain Salamrejo, desa lain di Kecamatan Sentolo yang banyak warganya menjadi buruh gendong adalah Tuksono. Salah seorang perempuan di Desa Tuksono yang setia menjadi buruh gendong adalah Giyah (78). Meski sudah lanjut usia, Giyah masih terus bekerja menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo.
Giyah menuturkan, dirinya bekerja sebagai buruh gendong sejak usia belasan tahun. Saat pertama kali datang ke Pasar Beringharjo, Giyah berjalan kaki bersama tetangganya. Perjalanan dari pagi sampai sore itu dilakoni karena dia ingin menyusul ibunya yang juga bekerja sebagai buruh gendong.
”Waktu masih muda, saya kuat nggendong sampai satu kuintal. Tapi, kalau sekarang, kuatnya paling 25 sampai 30 kg,” tutur Giyah. Dia menambahkan, pada zaman dulu, buruh gendong juga harus membawa barang hingga ke luar pasar. Bahkan, Giyah mengaku pernah menggendong barang hingga jarak 3 km dari Pasar Beringharjo.
Kepala Desa Tuksono Zainuri mengatakan, sejak tahun 1970-an, memang banyak warga desa itu yang bekerja sebagai buruh gendong. Dia menyebut, pilihan bekerja sebagai buruh gendong itu berawal dari keberhasilan seorang warga Tuksono yang membuka usaha di kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta.
Menurut Zainuri, warga tersebut awalnya menjadi penjaja minuman di kawasan Malioboro. Setelah sukses, dia lalu mengembangkan usaha di kawasan tersebut. Kesuksesan itu membuat sejumlah warga Tuksono juga ingin membuka usaha di Malioboro.
Namun, karena tak memiliki modal, sebagian warga akhirnya beralih menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo yang terletak di kawasan Malioboro. ”Buruh gendong adalah pilihan pekerjaan yang dinilai menarik karena hanya bermodal tenaga dan bisa mendatangkan uang dengan cepat,” kata Zainuri.
Zainuri menambahkan, pekerjaan sebagai buruh gendong kebanyakan ditekuni oleh perempuan karena sebagian besar laki-laki di Tuksono sudah memiliki pekerjaan lain, yakni bertani. Dia menyebut, hingga awal tahun 2000-an, jumlah perempuan di Desa Tuksono yang menjadi buruh gendong terdata mencapai ratusan orang. Namun, seiring waktu, jumlah ini semakin menurun.
Saat ini, kata Zainuri, jumlah buruh gendong asal Tuksono hanya 40-50 orang. Penurunan itu kemungkinan disebabkan oleh menurunnya kebutuhan terhadap jasa buruh gendong di pasar. Dengan meningkatnya kepemilikan kendaraan pribadi, banyak orang yang tak lagi membutuhkan jasa buruh gendong untuk mengangkut barang dari pasar ke rumah.
Selain itu, saat ini, pilihan ragam pekerjaan juga semakin banyak. Oleh karena itu, pekerjaan sebagai buruh gendong pun tak selalu diwariskan turun-temurun di sebuah keluarga.