Pendataan dan Pengawasan Lemah, Pupuk Bersubsidi Rentan Diselewengkan
Lemahnya pengawasan dan pendataan petani penerima pupuk bersubsidi menjadi penyebab masih munculnya beragam bentuk penyelewengan pupuk. Ekosistem penyaluran pupuk yang baik perlu dibentuk untuk menekan risiko tersebut.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Lemahnya sistem pengawasan dan pendataan petani penerima pupuk bersubsidi menjadi penyebab masih munculnya beragam bentuk penyelewengan pupuk. Pemerintah diminta untuk membangun ekosistem penyaluran pupuk yang baik guna menekan risiko penyelewengan itu.
Hal ini disampaikan anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, Kamis (9/3/2023), seusai melakukan pengawasan di sejumlah titik penyaluran pupuk di kawasan Banyuasin dan Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Menurut dia, permasalahan utama dari penyaluran pupuk bersubsidi hampir sama setiap tahunnya, yakni berkaitan dengan lemahnya pengawasan dan pendataan petani.
Kenyataan itu ia temui saat melakukan peninjauan di berbagai daerah dan menemukan pengawasan pupuk bersubsidi oleh tim Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) belum optimal. ”Tidak ada prosedur standar operasional yang jelas dalam tim ini sehingga setiap instansi seolah bekerja sendiri-sendiri,” ujarnya.
Kondisi ini terjadi karena operasional KP3 tidak didukung dengan dana yang memadai. Setelah melakukan pengecekan di lapangan, ungkap Yeka, pemerintah daerah tidak menganggarkan dana untuk operasional KP3 di daerahnya. Padahal, dalam Peraturan Dalam Negeri (Permendagri) No 84 tahun 2023 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2023 telah diatur dan diberikan ruang bagi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pengawasan pupuk bersubsidi.
Menurut Yeka, penyaluran pupuk bersubsidi haruslah diawasi karena rentan penyelewengan. Di Banyuasin, misalnya, masih ditemukan penyaluran pupuk tidak tepat sasaran.
”Penyelewengan terjadi karena besarnya disparitas harga yang tinggi antara pupuk nonsubsidi dan subsidi. Kita tidak bisa memastikan apakah pupuk benar-benar diterima oleh mereka yang berhak,” ujarnya.
Permasalahan lain muncul dari proses pendataan yang juga belum optimal. Dari data Sistem Informasi Penyuluh Pertanian (Simluhtan) ditemukan masih banyak petani yang belum mengajukan E-Alokasi sebagai salah satu syarat menerima pupuk bersubsidi.
Ada berbagai macam penyebab, seperti sulitnya petani memasukan data diri seperti validasi data nomor induk kependudukan (NIK) karena masih banyak data kependudukan petani yang belum sinkron dengan data dari dinas kependudukan dan catatan sipil tempat domisili.
Karena itu, Yeka berharap Kementerian Pertanian bisa melakukan pemutakhiran data dalam Simluhtan karena permasalahan ini tidak hanya terjadi di Sumsel, tetapi juga di sejumlah wilayah di Indonesia. ”Hal ini menandakan ada problem sistemik dari segi pendataan petani,” kata Yeka.
Tidak sampai di sana, penyaluran pupuk juga belum tepat karena kurangnya agen penyalur pupuk di daerah. Banyak petani yang mengambil pupuknya secara kolektif lantaran aksesibilitas yang kurang baik di desa tersebut. ”Apalagi, jumlah kios pupuk di daerah tersebut terbilang terbatas,” ujar Yeka.
Padahal, seharusnya penebusan pupuk dilakukan langsung oleh penerima manfaat. Namun, karena keterbatasan fasilitas, penebusan pupuk masih dilakukan secara kolektif.
Di sisi lain, perlu ada sosialisasi kepada penyuluh pertanian agar mereka dapat membantu petani melakukan pendataan dengan benar dan memperoleh haknya dengan lancar.
Jika masalah ini tidak diselesaikan segera, Yeka khawatir pupuk bersubsidi yang disediakan pemerintah tidak dapat terserap optimal. Penyerapan yang tidak optimal ini dikhawatirkan menjadi celah penyelewengan.
Stok cukup
Direktur Utama PT Pupuk Sriwidjaja Tri Wahyudi Saleh mengatakan, pihaknya menjamin ketersediaan stok dan pasokan distribusi pupuk bersubsidi di Sumsel aman. Dengan kapasitas produksi dari empat pabrik urea sebesar 2,6 juta ton urea dan 300.000 ton NPK per tahun, proses produksi berjalan lancar. ”Semua berjalan baik karena pasokan gas di Sumsel cukup,” ucap Tri.
Adapun stok pupuk di wilayah kerja PT Pusri, yakni di Sumbagsel, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, kini telah mencapai 126.000 ton untuk urea dan 27.000 ton NPK. Jumlah stok itu sudah melebihi ketentuan ketersediaan pupuk yang ditentukan pemerintah, yakni 10 persen dari alokasi.
Dari gudang lini tiga di wilayah Kabupaten Banyuasin, misalnya, dari total pupuk bersubsidi yang dialokasikan sebesar 65.231 ton untuk jenis urea dan NPK, jumlah pupuk yang tersedia di gudang saat ini sudah mencapai 8.995 ton atau melebihi dari 10 persen total alokasi di kabupaten tersebut, yakni sebesar 6.523 ton. Stok ini cukup untuk pelaksanaan musim tanam periode berikutnya.
”Jadi, adanya isu pupuk bersubsidi langka itu tidak benar,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah daerah bisa mengoptimalkan pendataan petani agar pupuk bersubsidi yang sudah disediakan pemerintah ini dapat dioptimalkan untuk memperkuat ketahanan pangan di Sumsel.
Kepala Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel Ilfantria menyebutkan, permasalahan distribusi pupuk sudah mulai terjadi sejak perencanaan. Masih ada daerah yang tidak melampirkan rencana definitif kebutuhan kelompok tani (RDKK) manual. Padahal, ini merupakan salah satu syarat mutlak sebagai dasar pengajuan pupuk bersubsidi kepada pemerintah pusat.
Permasalahan selanjutnya muncul pada saat penyerapan dan penyaluran pupuk bersubsidi. Banyak kasus ditemukan jumlah pupuk yang dialokasikan oleh produsen tidak sesuai dengan jumlah yang diterima petani.
Sampai dengan Januari 2023, data petani penerima subsidi yang terinput dalam E-alokasi baru mencapai 150.544 ton atau 60,10 persen dari alokasi yang tersedia.
Tentu ini bukan jumlah yang sedikit. Jika ada orang yang mengambil keuntungan Rp 3.000 saja per kilogram, itu berarti sudah ada penyelewengan hingga Rp 9 miliar. Masalah ini muncul lantaran banyak pupuk bersubsidi yang tidak diserap petani.
Penyebabnya, mereka tidak mampu menunjukkan dokumen administrasi yang diperlukan untuk mengambil pupuk bersubsidi atau ada masalah lain, seperti sudah melewati masa tanam ataupun kendala kondisi geografis di wilayah tersebut. Kondisi ini tentu akan dimanfaatkan untuk mengalihkan pupuk ke petani lain.
Di sisi lain, ungkap Ilfantria, fungsi pengawasan dari KP3 juga belum optimal lantaran tidak adanya alokasi anggaran bagi mereka untuk melakukan pengawasan di lapangan. ”Sejak dua tahun terakhir, tidak ada anggaran bagi KP3 dalam melakukan tugasnya,” ucapnya.
Sebelumnya, Gubernur Sumsel Herman Deru mengingatkan pemerintah kabupaten/kota segera mendorong petani di wilayahnya untuk mendaftar di E-alokasi. Tentu harus dengan pendampingan dari penyuluh pertanian.
Sampai dengan Januari 2023, data petani penerima subsidi yang terinput dalam E-alokasi baru mencapai 150.544 ton atau 60,10 persen dari alokasi yang tersedia. Adapun untuk NPK baru mencapai 170.454 ton atau sekitar 90,30 persen dari alokasi pupuk yang disediakan.
Pada 2023, Sumsel mendapatkan alokasi pupuk bersubsidi yang cukup besar, yakni 250.475 ton urea atau meningkat 107 persen dibandingkan dengan alokasi tahun lalu. Sementara alokasi NPK mencapai 188.761 ton atau meningkat 89,4 persen dibandingkan dengan tahun lalu.