Empat Prajurit TNI Diperiksa Terkait Dugaan Kekerasan terhadap Warga Sipil di Sumbawa
Empat anggota TNI diperiksa terkait kasus dugaan kekerasan terhadap warga sipil di Sumbawa. Korem 162/Wira Bhakti menegaskan akan memproses hukum anggotanya jika terbukti bersalah.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Kasus kekerasan terhadap warga sipil diduga dilakukan oleh anggota Kompi Senapan B Yonif 742/SWY-Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Terkait hal itu, Komando Resor Militer 162/Wira Bhakti saat ini memeriksa empat anggota dan menegaskan akan memproses secara hukum jika anggota tersebut terbukti bersalah.
Kepala Penerangan Korem 162/Wira Bhakti Mayor (Inf) Asep Okinawa menyampaikan hal itu di Mataram, Kamis (9/3/2023). Menurut Asep, sebanyak empat anggotanya masih diperiksa di Datasemen Polisi Milter IX/2 Mataram. Pemeriksaan itu baik keterlibatan hingga kronologi kejadian.
”Mereka masih dalam pemeriksaan. Jika terbukti bersalah, akan ditindak sesuai hukum yang berlaku. Pernyataan ini juga sejalan dengan pernyataan Komandan Korem 162/Wira Bhakti Brigadir Jenderal TNI Sudarwo Aris Nurcahyo,” kata Asep.
Kasus dugaan kekerasan terhadap lima warga sipil yang dilakukan anggota Kompi Senapan B Yonif 742/SWY itu terjadi di Cafe Azena 2, Kecamatan Labuhan Badas, Kabupaten Sumbawa, Sabtu (18/2/2023).
Taufan, narahubung Aliansi Perlindungan Korban Kekerasan Aparat (Appeka) dalam siaran pers yang diterima Kompas, menjelaskan, kejadian itu bermula saat lima korban, yakni IE, JMA, ID, ABL, dan ABD, datang ke Café Azena 2 untuk berkaraoke. Di sana, mereka bertemu Prajurit Satu (Pratu) MS.
Menurut Taufan, empat korban kemudian memesan ruangan karaoke dan beberapa botol minuman keras. Mereka berkaraoke ditemani teman berkaraoke (partner song). Sementara satu korban lagi berada di luar ruangan bersama Pratu MS.
Para partner song yang semula menemani para korban kemudian keluar tanpa izin. Hal itu membuat IE marah dan memecahkan beberapa botol minuman keras. Pratu MS, yang mengetahui hal itu, masuk dan sempat berdebat dengan IE. Namun, berhasil dilerai dan berdamai. Para korban kemudian meninggalkan kafe tersebut.
Dalam perjalanan pulang, kendaraan para korban dihentikan oleh banyak orang yang berpakaian bebas. Mereka kemudian diseret keluar dari kendaraan dan dibawa ke halaman Markas Kompi Senapan B Yonif 742/SWY-Sumbawa. Di sana, mereka diduga mengalami kekerasan oleh sekitar 70 anggota kompi, termasuk Pratu MS.
Akibatnya, lima warga sipil tersebut mengalami luka berat. Empat orang dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Sumbawa, sementara satu orang lagi dilarikan ke Rumah Sakit Umum Provinsi NTB di Mataram karena kritis.
Bantah
Asep membantah bahwa Pratu MS ikut minum minuman keras bersama salah satu korban di luar kafe tersebut. Menurut Asep, saat para korban datang ke lokasi, Pratu MS tidak berada di sana.
”Pratu MS tidak ikut minum. Ia datang ke sana karena mendapat laporan dari rekannya yang berkerja di kafe tersebut (Cafe Alzena 2),” kata Asep.
Asep juga membantah bahwa kedua belah pihak berdamai setelah perdebatan di kafe tersebut. Menurut Asep, Pratu MS diduga ditodong senjata tajam dan mendapat umpatan kasar.
Menurut Asep, Pratu MS yang mendapat umpatan kasar itu kemudian menelepon rekan-rekannya yang sedang piket. Saat para korban melintas di depan Markas Kompi Senapan B Yonif 742/SWY-Sumbawa, mereka dicegat.
”Awalnya tidak ada niat menganiaya. Anggota mencegat untuk menanyakan apakah kejadian di kafe benar. Tetapi karena yang ditanya dalam kondisi mabuk, terjadi emosi spontan. Sehingga terjadi penganiayaan. Memang kesalahan anggota, kami mengakui,” kata Asep.
Meski tidak menepis ada anggotanya yang diduga melakukan pengeroyokan, Asep membantah jika jumlahnya mencapai 70 orang. ”Tidak mungkin (sebanyak itu),” kata Asep.
Korem, kata Asep, sudah membuka ruang dan telah berkoordinasi Komando Distrik Militer 1607/Sumbawa, Denpom IX/2 Mataram, dan Polres Sumbawa, untuk penyidikan. Juga mendorong perdamaian dengan para korban. ”Walau ada perdamaian, proses hukum terhadap anggota tetap berjalan,” kata Asep.
Asep berharap, semua pihak menahan diri. Jangan sampai karena ada kepentingan perseorangan atau kelompok tertentu, kekondusifan yang sudah terjadi kembali terganggu.