Presiden Jokowi meresmikan beberapa infrastruktur penahan dampak banjir Citarum di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Warga di hilir sungai menantikan perhatian serupa.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·5 menit baca
Berbagai infrastruktur untuk meminimalkan dampak banjir di hulu dan tengah Sungai Citarum telah berdiri. Cemas warga setiap musim hujan kini perlahan berganti gembira. Sekarang, giliran masyarakat di hilir sungai sepanjang 297 kilometer itu menanti perhatian serupa.
”Kegembiraan” itu dirayakan pada Minggu (5/3/2023) siang. Presiden Joko Widodo meresmikan lagi beberapa infrastruktur penahan banjir itu, seperti Kolam Retensi Andir, Kolam Retensi Cieunteung, dan Floodway (Sodetan) Cisangkuy di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Banyak warga menanti kedatangannya sejak pagi.
Salah satunya adalah Riri (30), warga Andir, Kecamatan Baleendah, yang setia menunggu berteman terik matahari. Dia penasaran melihat langsung Presiden. Hingga beberapa jam kemudian atau sekitar pukul 15.00, Jokowi keluar dari kawasan peresmian.
Presiden memakai kemeja putih dan celana panjang hitam menyapa. Teriakan warga semakin riuh saat Jokowi melemparkan kaos hitam dan menyerahkan sejumlah bantuan.
”Dari pagi berdiri, tetapi tidak dapat kaos. Salaman ke Presiden juga ganyampe. Tapi tidak apa-apa, sudah melihat beliau dari dekat saja sudah syukur,” ujarnya sambil berseri.
Riri mengatakan, kebahagiaannya bukan perkara kaos atau salaman. Dia datang untuk merayakan banjir yang urung menganggu hidupnya. Dia yakin Kolam Retensi Andir ikut andil. Tempat tinggalnya kebetulan berada dekat Kolam Retensi Andir, di RW 013, Kelurahan Andir.
Sebelumnya, lahir dan hidup di daerah itu, Riri akrab dengan banjir yang kerap merendam setiap tahun. Jika hujan deras terjadi berhari-hari, Riri bersama keluarga harus bersiap karena berpotensi banjir. Genangan air mencapai lebih dari 1 meter sehingga menghentikan semua aktivitas mereka.
”Saya dan suami pekerja lepas sales sepeda motor. Jadi, kalau banjir, tidak bisa pergi ke mana-mana. Tidak bisa mendapat uang,” ujarnya.
Bahkan, Riri sempat bertaruh nyawa karena bersalin di tengah banjir. Kelahiran anak keduanya menjadi sulit karena saat itu terjadi banjir dengan kedalaman lebih dari 1,5 meter.
”Saya harus melewati jendela untuk mencapai bidan. Saat itu bulan Maret, tujuh tahun lalu. Dulu hidup di tengah banjir itu sulit sekali sehingga kami bersyukur sekarang banjirnya tidak bertahan lama. Sekarang paling satu atau dua hari,” ujarnya.
Penampung air
Berdasarkan data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kolam Retensi Andir seluas 3,4 hektar mampu menampung 160.000 meter kubik air. Kolam Retensi Andir dilengkapi tiga pompa berkapasitas 500 liter per detik. Sementara itu, Kolam Retensi Cieunteung dengan luas 4,7 hektar mampu menampung 190.000 meter kubik air.
Selain dua kolam retensi, aliran Sungai Cisangkuy juga direkayasa menggunakan sodetan. Infrastruktur ini memiliki panjang 5,43 kilometer dan mampu mengalirkan air hingga 230 meter kubik per detik untuk mengurangi lama genangan dan luas genangan di Dayeuhkolot dan Baleendah.
Keberadaannya melengkapi Terowongan Nanjung yang rampung pada Desember 2019 dan Embung Gedebage seluas 7,7 hektar yang terlebih dulu tuntas pada 2018.
”Kolam retensi ini untuk mengendalikan banjir. Dulu, kalau hujan sudah deras, di Bandung dan sekitarnya pasti terjadi banjir. Sekarang, sudah ada kolam retensi, (Sodetan) Cisangkuy menelan dana Rp 632 miliar, Cieunteung (Rp 204 miliar), dan Andir (Rp 142 miliar),” ujar Presiden.
Menurut Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, pembangunan infrastruktur menjadi salah satu upaya pengendalian banjir di bagian hulu, tengah, dan hilir. Tidak hanya kolam retensi dan sodetan, dia juga menyebut pembangunan sejumlah polder air yang berperan dalam menanggulangi banjir.
Berdasarkan catatan Kementerian PUPR, polder air yang dibangun bersama kolam retensi di kawasan Bandung ini adalah Polder Cipalasari-1, Polder Cipalasari-2 dan Polder Cijambe dengan volume tampungan 1.250 meter kubik. Selain itu, ada juga Polder Cisangkuy yang mampu menampung air dengan volume 450 meter kubik.
Keberadaan kolam retensi dan polder diklaim bisa mengurangi daerah genangan banjir di kawasan rawan, seperti Dayeuhkolot dan Baleendah. Dari awalnya mencapai 242,6 hektar menjadi 32,3 hektar. Balai Besar Wilayah Sungai Citarum menyebut, infrastruktur ini bisa meminimalkan dampak banjir terhadap 15.973 jiwa.
”Adanya sarana dan prasarana ini, sekarang tinggal 72 hektar lagi yang masih berpotensi banjir walaupun lebih pendek dan segera surut,” ujar Basuki.
Cemas
Meski di kawasan hulu dan tengah telah dibangun infrastruktur, kondisi di hilir masih perlu menjadi perhatian. Hingga kini, kawasan hilir, seperti Kabupaten Bekasi, masih terdampak banjir Citarum.
Basuki menyatakan, pemerintah tengah mempersiapkan sejumlah infrastruktur untuk menahan laju air dari hulu sehingga bisa meminimalkan dampak banjir di hilir.
Pembangunan ini seperti Bendungan Cibeet yang dibangun di lahan seluas 1.700 hektar dan Bendungan Cijuray seluas 203 hektar. Tidak hanya untuk mengurangi potensi banjir, bendungan di Kabupaten Bogor ini juga untuk membantu irigasi dan pengairan bagi masyarakat di sekitarnya.
”Untuk hilir, kami mulai membangun Bendungan Cibeet dan Cijuray. Ini untuk mengamankan banjir di Karawang dan Bekasi yang jadi hilirnya. Selain itu, kami juga menyiapkan tanggul hingga upaya normalisasi aliran sungai di kawasan hilir,” tuturnya.
Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar Wahyudin menyebut, program-program yang ada, termasuk Citarum Harum, patut diapresiasi. Namun, dia menilai semuanya belum ideal.
Wahyudin menyorot sejumlah penyebab terjadinya banjir dan tercemarnya Sungai Citarum yang masih ditemui. Selain lahan kritis dan pencemaran masih ditemui, ego antardaerah dan instansi masih terlihat.
”Kalau diamati, banjir tidak hanya terjadi di Karawang dan Bekasi seperti akhir-akhir ini, tetapi juga daerah-daerah di hulu dan tengah. Masih ada daerah-daerah yang tergenang saat banjir datang,” ujarnya.
Ke depan, Wahyudin juga khawatir kesiapan masyarakat pasca-Program Citarum Harum usai di tahun 2025. Selama ini, sebagian besar perawatan sungai dilakukan oleh TNI.
”Masyarakat juga perlu dipersiapkan untuk menerima warisan dari program ini,” kata Wahyudin.
Pada akhirnya, penanganan bencana seharusnya tidak cukup membangun infrastruktur. Perlu keterlibatan banyak pihak untuk benar-benar hidup berdampingan dengan alam. Apabila masih tidak peduli mitigasi bencana, alam bakal rusak dan manusia juga yang menjadi korbannya.