Prevalensi Terpapar Narkoba Meningkat, Intervensi Berbasis Masyarakat Krusial
Prevalensi paparan narkoba di Indonesia meningkat. Pekerja dan pelajar menjadi kelompok masyarakat yang paling rentan terpapar. Karena itu, butuh regulasi yang tegas dan peran dari masyarakat menekan risiko tersebut.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Petrus Reinhard Golose saat menghadiri diskusi publik bertajuk War On Drugs di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (1/3/2023).
PALEMBANG, KOMPAS — Prevalensi paparan narkoba di Indonesia meningkat. Pekerja dan pelajar menjadi kelompok masyarakat yang paling rentan terpapar. Karena itu, butuh regulasi yang tegas dan peran dari masyarakat menekan risiko tersebut.
Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Petrus Reinhard Golose, Kamis (2/3/2023), di Palembang, mengatakan, prevalensi pengguna narkoba di Indonesia tahun 2021 sekitar 1,95 persen atau naik 0,15 persen dari tahun 2019, yakni sebesar 1,80 persen.
Itu berarti sekitar 3,99 juta jiwa di Indonesia sudah terpapar narkoba. Kenaikan ini disebabkan oleh meningkatnya pasar. Kini para pengedar tidak lagi memasarkan di tempat-tempat hiburan, tetapi sudah masuk ke kamar kos atau ke rumah-rumah kosong.
RHAMA PURNA JATI
Ribuan mahasiswa di Palembang, Sumatera Selatan, berunjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, di Kantor DPRD Sumsel, Kamis (8/10/2020).
Memang prevalensi pengguna narkoba di Indonesia masih jauh dari angka rata-rata internasional, yakni sebesar 5,5 persen. Namun, ini bisa menjadi alarm bahwa Indonesia kian diincar oleh para pengedar.
Mulai mencoba
Tidak heran, kini banyak pelajar yang sudah mencoba narkoba, bahkan sejak di bangku sekolah menengah pertama. Dalam kunjungannya ke Universitas Sriwijaya, Rabu (1/3/2023). Ada seorang mahasiswa yang mengaku pernah menjadi pengguna narkoba. ”Ini membuktikan narkoba sudah masuk sampai lembaga pendidikan,” ujarnya.
Selain itu, narkoba juga telah masuk ke sektor dunia usaha, terbukti masih ada pekerja yang menggunakan narkoba ketika beraktivitas di kantor. Dua sektor yang paling rentan diincar adalah sektor perkebunan dan pertambangan. ”Misalnya, ada istilah sabu tukar sawit. Kondisi ini tentu harus diberantas bersama,” ujarnya.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Petugas Badan Narkotika Nasional Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan 50.000 butir ekstasi dan 7,2 kilogram sabu dari sebuah gudang di salah satu perumahan di Palembang. Dua tersangka ditangkap dan mereka terancam hukuman mati.
Karena itu, intervensi semua pihak sangat diperlukan. Tidak hanya intervensi pemerintah, tetapi juga dari masyarakat yang memiliki tanggung jawab menjadi agen untuk memberantas penyalahgunaan narkoba di lingkungan tempat tinggal masing-masing.
Misalnya ada istilah sabu tukar sawit. Kondisi ini tentu harus diberantas bersama.
Petrus juga mengingatkan adanya transaksi narkoba di tahun politik. Bukan tidak mungkin politisi mencari suara dengan memberikan narkoba atau yang kerap disebut narco politics.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumsel Faisal mengatakan, sebenarnya dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika sudah diatur dan menjadi tanggung jawab semua pihak dalam pemberantasan narkoba di lingkungan kerja. Namun, diakui, implementasinya belum berjalan secara menyeluruh.
Memang pemantauan secara menyeluruh sulit dilakukan lantaran transaksi narkoba biasanya terjadi di tempat yang sulit dipantau. ”Misalnya di lahan perkebunan atau di sektor bisnis yang lain,” ujarnya.
Karena itu, butuh peran dari semua pihak, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, hingga serikat buruh, untuk melakukan sosialisasi dan edukasi secara berkesinambungan untuk menekan jumlah pengguna narkoba di Sumsel. Selain itu, perlu ada pemeriksaan secara acak dan mendadak untuk melacak kemungkinan adanya karyawan yang menggunakan narkoba.
Sebuah truk pengangkut tandan buah segar (TBS) sawit tengah melewati jalan lintas timur Sumatera di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, Senin (2/1/2022). Jalan ini menjadi jalur penghubung antarprovinsi di Sumatera. Hanya saja, beberapa kendala ditemui, seperti jalan rusak, bergelombang, serta longsor di sejumlah sisi.
Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sumsel Abdullah Anang menyebut risiko pekerja terpapar narkoba tidak lepas dari kondisi lingkungan kerjanya. ”Ketika di lingkungan kerjanya banyak pengguna, tentu risiko terpapar narkoba akan semakin besar,” katanya.
Apabila terjadi, itu tentu akan berpengaruh pada banyak hal, seperti menurunnya performa kerja hingga hancurnya rumah tangga karena penghasilan digunakan untuk membeli narkoba. ”Karena itu, edukasi dan sosialisasi harus diperkuat,” ucapnya.
Penguatan ini diperlukan karena prevalensi pengguna narkoba di Sumsel cukup tinggi, yakni 5,5 persen dengan jumlah pengguna 359.363 orang. Kondisi ini menempatkan Sumsel sebagai provinsi dengan prevalensi terbesar nomor dua secara nasional setelah Sumatera Utara.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengatakan, kondisi ini tidak lepas dari besarnya permintaan dan besarnya akses. Ia berpendapat, penanggulangan narkoba harus dimulai dari keluarga. Setelah itu berjenjang mulai dari tingkat RT hingga kecamatan.
”Karena itu, pencegahan narkoba berbasis masyarakat sangat diperlukan di Sumsel,” tuturnya.