NTT Harus Ikuti Standar Masuk Sekolah Sesuai Kurikulum Nasional
NTT harus mengikuti standar masuk sekolah sesuai kurikulum nasional. Kebijakan yang diambil di tingkat lokal tidak boleh mengorbankan berbagai pihak.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Nusa Tenggara Timur harus mengikuti standar kurikulum pendidikan nasional untuk mencapai mutu pendidikan yang diinginkan. Salah satu standarnya adalah memulai kelas pukul 07.00 dan harus seragam. Aturan ini berlaku dari Sabang sampai Merauke.
Ketua Dewan Pendidikan Nusa Tenggara Timur (NTT) Simon Riwu Kaho menyampaikan hal itu di Kupang, Kamis (2/3/2023). Riwu merespons kebijakan Pemerintah Provinsi NTT tentang jam pembelajaran siswa SMA yang dimulai pukul 05.30 Wita.
Riwu menilai, kebijakan Pemprov NTT itu sangat keliru.Dalam sistem pendidikan nasional, semua sekolah di Indonesia memulai kegiatan belajar-mengajar pukul 07.00, mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi.
”NTT harus ikuti standar pendidikan yang sudah ditetapkan dalam kurikulum nasional. Tidak perlu buat yang aneh-aneh lagi, hanya mau tampil beda. Masuk kelas pukul 05.30 itu bukan solusi yang tepat menciptakan mutu pendidikan menengah atas di NTT. Justru kebijakan itu semakin memperburuk mutu yang ada,” katanya.
Seperti diberitakan Kompas.id (2/3/2023), belajar lebih pagi mulai pukul 05.30 diterapkan sejak Senin (27/2/2023). Tak semua sekolah memberlakukan hal itu. Sebanyak lima SMA negeri dan lima SMK negeri di Kota Kupang mulai melaksanakan program tersebut. Peserta didik yang terlibat khusus kelas XII.
Jam sekolah dimulai lebih pagi merupakan instruksi dari Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat. Viktor mengutarakan ide tersebut saat tatap muka dengan para kepala sekolah akhir pekan lalu. Tanpa ada kajian, dinas pendidikan dan kebudayaan langsung mengeksekusinya.
Viktor berargumen, dengan sekolah lebih pagi, etos belajar anak meningkat. Prestasi anak juga semakin baik sehingga bisa diterima di perguruan tinggi ternama. Tujuan akhirnya adalah dua SMAN/SMKN di NTT masuk jajaran 200 besar terbaik di Indonesia.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi dalam konferensi pers pada Selasa (28/2/2023) menegaskan sikap itu. Linus bahkan tetap tidak mau mundur kendati dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD NTT, Ketua Komisi V DPRD NTT Yunus Takandewa meminta kebijakan itu dihentikan sementara. Permintaan DPRD secara resmi tertulis dalam rekomendasi rapat.
Menurut Riwu, pemerintah melalui para pakar pendidikan di negeri ini telah merumuskan delapan standar mutu pendidikan nasional yang harus dicapai di jenjang pendidikan, termasuk SMA/SMK. Delapan standar itu berlaku dari Sabang sampai Merauke. Itu wajib direalisasikan dengan teliti dan benar.
Sekolah-sekolah di luar NTT, menurut Riwu, dianggap bermutu bukan karena jam masuk sekolah pukul 05.30. Siswa mereka masuk sekolah tetap pukul 07.00. Itu pun menurut sejumlah pakar pendidikan dan psikologi anak terlalu pagi.
Sekolah bermutu menerapkan standar kompetensi lulusan. Kriteria minimal tentang kualifikasi kemampuan lulusan mencakup sikap, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman belajar yang dinyatakan dalam capaian pembelajaran. Jika belum tercapai, maka dinyatakan belum lulus.
Proses pembelajaran pun harus dipenuhi dalam proses belajar-mengajar, yakni mengenai pelaksanaan belajar pada program studi tertentu untuk memenuhi capaian lulusan. Guru-guru harus kompeten dan selalu hadir di kelas. Kalau guru hanya datang untuk mengisi daftar presensi, lalu meninggalkan ruang kelas, hal itu tidak bisa menjamin mutu siswa walau siswa datang pukul 05.30 sekalipun.
Di luar itu, Riwu juga menyoroti sarana-prasarana pembelajaran yang perlu dipenuhi, sepertilaboratorium praktik, tempat olahraga, tempat beribadah, dan tempat rekreasi. Kondisi ini paling tertinggal di NTT. Di NTT hanya ada gedung sekolah, tetapi rata-rata tidak dilengkapi sarana-prasarana itu.
Ia juga menyoroti alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) NTT ke sektor pendidikan yang diklaim mencapai 50 persen. Jika benar, klaim itu menjadi ironi karena mutu pendidikan tidak meningkat.
”Apakah betul 50 persen itu dikelola secara transparan, terbuka, dan akuntabel untuk sektor pendidikan atau tidak. Apakah pernah diaudit oleh tim auditor independen atau tidak. Jika dana sebesar itu, tetapi larinya ke mana-mana, tetap sama,” kata Riwu.
Dana APBD NTT tahun anggaran 2023 senilai Rp 5,3 triliun. Jika 50 persen diarahkan ke sektor pendidikan, maka ada Rp 2,65 triliun untuk pendidikan. Ini sangat ironis dengan kondisi sekolah-sekolah negeri di NTT. Banyak bangunan gedung yang reyot dan lapuk, atap sekolah bocor, dan kemasukan air banjir.
Ia mengatakan, jika anggaran Rp 2,65 triliun dialokasikan untuk pendidikan, maka kondisi pendidikan di NTT tidak seperti sekarang. Jumlah SMA/SMK negeri di NTT ada 752 unit, terdiri dari 591 SMA dan 161 SMK. Jumlah dana Rp 2,65 triliun itu sudah sangat memadai untuk mengatasi semua kekurangan sektor pendidikan negeri yang ada.
Tomas Arakian (34), guru honorer SMAN di pedalaman Flores Timur, mengatakan tidak mau membahas kebijakan Pemprov masuk sekolah pukul 05.30 itu. Ia juga mengajar di sekolah negeri, tetapi bangunan sekolah masih berupa bambu dan kayu. Tidak ada air bersih, laboratorium, dan perpustakaan. Laptop sekolah pun sangat terbatas.
”Jangan kita bicara masuk sekolah pukul 05.30. Tetapi, mari kita duduk dan evaluasi semua hal menyangkut masalah pendidikan di NTT. Termasuk kami, 1.345 guru honorer yang sudah lulus passing grade 2021, tetapi belum ada usulan formasi oleh Pemprov ke pusat. Sementara dana untuk para guru itu senilai Rp 157 miliar sudah ditransfer ke Pemprov,” katanya.