Wujud Toleransi, ”Penaruban Bersholawat” Berlangsung Khidmat di Kompleks Gereja
Hidup rukun dan damai antarumat beragama ditunjukkan warga Desa Penaruban, Purbalingga, Jawa Tengah. Shalawatan digelar di pelataran gereja dan jemaat saling membantu satu sama lain.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURBALINGGA, KOMPAS — Shalawat dalam rangka khataman santri Majelis Taklim Nurulloh Junjung Drajat dan Harlah Ke-3 Tari Sufi Purbalingga digelar di Purbalingga, Jawa Tengah, Senin (27/2/2023) malam. Acara bertajuk Penaruban Bersholawat bersama KH Amin Maulana Budi Harjono sebagai pengasuh Ponpes Al-Ishlah, Tembalang, Semarang, itu berlangsung khidmat di halaman kompleks gedung Gereja Kristen Jawa Penaruban, Purbalingga. Hal itu menjadi lambang perwujudan toleransi beragama.
”Kehidupan keberagaman agama dan masyarakat sungguh baik pada hari-hari yang dijalani. Ini ditandai dengan bagaimana kami saling bekerja sama satu sama lain. Secara khusus, kemarin Majelis Nurulloh mengadakan khataman, dan kami menyediakan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk saudara-saudara umat Islam,” kata Pendeta Gereja Kristen Jawa Penaruban Tri Agus Fajar Winantiyo saat dihubungi dari Purwokerto, Selasa (28/2/2023) pagi.
Fajar mengatakan, umat Kristen dalam gereja itu ikut bergotong royong menyiapkan tempat dan kursi, juga menjaga genset agar listrik tidak padam. ”Ruangan di pelataran gereja, kursi, dan lain sebagainya kami persilakan untuk bisa digunakan sesuai kebutuhan,” katanya.
Selain acara tersebut, lanjut Fajar, kerukunan dan gotong royong umat Islam dengan gereja yang memiliki 312 jemaat ini diwujudkan dengan acara bakti sosial serta saling menjaga di hari raya. ”Penjagaan terhadap acara-acara keagamaan, misalnya Natal, itu ada beberapa anggota Banser yang ikut menjaga,” katanya.
Lokasi gereja dengan Majelis Taklim Nurulloh Junjung Drajat berada di satu lingkungan rukun warga di Desa Penaruban, yang berjarak sekitar 100 meter. Mereka bertetangga sehingga ketika ada acara besar yang mengundang ribuan orang, pelataran gereja dipersilakan untuk digunakan umat Muslim.
”Ini wujud kerukunan yang harus kita pupuk dan kita jaga. Kalau ada suasana surga yang diturunkan ke bumi, ya wujudnya kerukunan seperti ini,” ujar KH Amin Maulana Budi Harjono dalam ceramahnya, Senin malam, seperti dikutip dari siaran pers.
Shalawatan juga dimeriahkan dengan penampilan tari sufi. Dengan memakai kopiah dan baju khas masyarakat tradisional Turki yang beraneka warna, sejumlah penari berdiri di sebelah kiri dan kanan panggung, berputar mengikuti irama musik rebana yang bertalu-talu. Mereka berputar-putar ke kiri, puluhan kali, bahkan ratusan kali, dengan kaki tetap bertumpu pada tengah, di titik stabil.
KH Amin Maulana Budi Harjono pun mengajak warga Desa Penaruban dan sekitarnya untuk terus memupuk kerukunan di tengah-tengah perbedaan. ”Setiap orang, kan, merindukan surga. Surga dalam bahasa Arab-nya jannah. Di jannah itu ada taman, ada keragaman yang tumbuhannya berbeda-beda. Mari kita jaga keberagaman itu,” ujarnya.
Masyarakat Indonesia yang jumlahnya 270 juta jiwa, lanjut Budi, juga harus rukun, yang diikat sesanti atau wejangan Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya meskipun berbeda-beda tetaplah satu.
”Bhinneka Tunggal Ika itu disimbolkan burung garuda. Garuda adalah raja segala burung, yang selalu mau berdamai dan menghargai burung-burung lainnya. Mari jadikan garuda di dadaku, agar kita hidup rukun. Sekali lagi saya tekankan, kalau ada suasana surga yang diturunkan ke bumi, ya wujudnya kerukunan yang kita rasakan malam ini,” ujar Budi.