Menyesap Kopi Aceh hingga ke Pantai
Di Banda Aceh, kopi tersedia dalam aneka suasana. Mau menikmati kopi di tepi pantai ditemani senja, di warung kopi yang riuh, atau di kafe yang adem, semua nikmat.
Kopi, senja, dan pantai. Ketiga hal istimewa itu bisa ditemukan di Pantai Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Di sana pengunjung dapat menyesap kopi sambil mengantar matahari pulang.
Menjelang senja pantai Ulee Lheue kian ramai. Deretan kursi plastik di tebing yang menjorok ke laut terisi semua. Nora, Mito, Nobi, Haris, dan Sultan berada di antara banyak pengunjung sore, Selasa (21/2/2023).
Seorang pelayan menyodorkan daftar menu. Mereka sepakat memesan sanger espresso. Sanger paduan kopi, susu, dan gula dengan komposisi kopi lebih dominan. Meski manis susu dan gula terasa, rasa kopi tetap lebih kuat.
Baca juga: Seladang, Sensasi ”Ngopi” di Kebun Kopi di Aceh
Di dalam mobil, di balik mesin kopi, sang barista dengan cekatan menyiapkan pesanan mereka.
”Ngopi di sini beda dengan di warung biasa, pemandangan alam sangat indah,” kata Nobi.
Aktivitas minum kopi sudah jadi rutinitas, tetapi memilih ngopi di tepi pantai, apalagi saat waktu senja, memberi kesan berbeda. Jika cuaca sedang cerah, proses matahari tenggelam terlihat sempurna. Pemandangan aktivitas orang memancing, nelayan pulang melaut, dan kapal feri masuk ke pelabuhan menjadi bonus.
Saat ngopi di warung dianggap membosankan, orang-orang mencari ruang terbuka. Pantai Ulee Lheue kini menjadi salah satu tempat ngopi favorit. Di sepanjang pantai, puluhan mobil kopi siap menyajikan kopi kualitas terbaik bagi pengunjung.
Salah satunya adalah milik Dargo (52). Dia menyulap mobil minibus Granmax sebagai kedai kopi. Diberi nama Queen Coffee, kini setiap pukul 16.00 hingga 19.00 berjualan kopi di pantai itu.
Jika di warung menyediakan kopi saring robusta, mobil kopi hanya menjual kopi arabika gayo. Penyajiannya menggunakan mesin espresso. Kehadiran mobil kopi telah meningkatkan konsumsi kopi arabika. Kini konsumsi robusta dengan arabika nyaris seimbang.
Queen Coffee hanya menjual arabika gayo kualitas spesial atau kelas tinggi. Citarasa tidak perlu diragukan. Hanya merogoh kocek Rp 10.000 hingga Rp 15.000, satu cangkir espresso atau sanger dapat dinikmati.
Baca juga: Festival Kopi Kutaraja, Mengembalikan Gairah Wisata Aceh
”Rata-rata penjualan sehari Rp 1 juta. Kalau akhir pekan bisa mencapai Rp 4 juta,” ujar Dargo.
Dia pernah membuka warung kopi, tetapi biaya operasional terlalu besar dibandingkan dengan berjualan di mobil. Untuk mengoperasikan warung mobil kopi itu, ia mempekerjakan lima karyawan, sebagian besar masih mahasiswa.
Tahun 2018, saat Dargo mulai berjualan di mobil, usaha serupa baru sekitar 80 unit. Namun, tahun 2023 diperkirakan mobil kopi telah mencapai 300 unit. Mobil kopi mudah ditemukan di bantaran sungai, pantai, jalan kota, dan tempat keramaian. Artinya, di Banda Aceh, kopi enak sangat mudah didapat.
Kafe urban
Dalam satu dekade terakhir, warung-warung kopi di Banda Aceh bertransformasi dengan cepat, dari sebagai tempat transit menjadi gaya hidup. Belakangan konsep warung kopi diubah menjadi kafe urban dengan konsep lebih modern. Beberapa mulai menerapkan self service atau pelayanan mandiri layaknya di kafe kota besar, seperti Starbucks.
Kafe urban tampil dengan nuansa lebih segar dan penuh estetika. Kafe modern itu menyasar anak muda atau milenial sebagai basis konsumen. Namun, menu utama yang diandalkan tetap kopi.
Baca juga: Kopi Gayo Jadi Pemikat Wisata
Mengusung konsep praktis kafe urban tidak menyediakan menu kopi saring, tetapi hanya kopi arabika sajian mesin espresso. Beberapa kafe, untuk mengurangi tenaga kerja, menggunakan wadah sekali pakai.
Teatory Coffee milik Helmi (31) yang terletak di kawasan Lamnyong, Banda Aceh, adalah salah satu kafe urban. Helmi lulus sebagai sarjana manajemen bandar udara di Institut Transportasi dan Logistik Trisakti, Jakarta. Namun, ia terjun ke bisnis kopi dan optimistis bisnis kafe di Aceh sangat menjanjikan.
”Niat mau tes CPNS, tetapi belakangan saya lihat usaha kafe di Banda Aceh cerah,” ujar Helmi.
Teatory menerapkan pelayanan mandiri. Konsumen mendatangi bar untuk memesan minuman dan minuman. Saat pesanan telah siap, bel berbunyi, lalu konsumen kembali ke bar untuk mengambil pesanan.
Pembayaran dilakukan saat pemesanan. Berbeda dengan warung kopi, pembayaran dilakukan di akhir atau saat konsumen hendak pulang.
”Self service untuk mengurangi karyawan. Pengunjung kami belum ramai, masih sanggup ditangani oleh dua karyawan,” ujar Helmi.
Baca juga: ”Meneguk” Energi dan Diskusi dalam Secangkir Kopi
Di situ meja disusun di halaman terbuka. Cahaya neon berpendar dari lantai semen dan pohon ketapang kencana memberikan kesan teduh. Sejumlah kata bijak berbahasa Inggris menghiasi dinding. Suasananya tenang.
Kafe urban di Aceh memang terlihat lebih tenang dibandingkan dengan warung kopi yang terasa sangat riuh.
Hal itu juga terlihat di Hoco Coffee yang berada di rumah tua klasik. Lokasi berada tengah permukiman dan banyak dikunjungi keluarga dan anak milenial.
Barista senior di Hoco Coffee, Ibnu Hajar (27), menuturkan, konsumen yang mencari suasana tenang lebih memilih kafe daripada warung kopi. Di kafe, meski di ruang terbuka, meja tidak terlalu berdekatan sehingga pengunjung seperti memiliki ruang privat.
”Standar pelayanan kafe tidak ada teriak-teriak, etika menjadi hal yang utama,” kata Ibnu.
Hoco tetap mengandalkan kopi sebagai menu utama, 70 persen penjualan adalah kopi dan minuman turunan dari kopi. Hoco menyajikan minuman unik, yakni sanger durian.
Antropolog dari Universitas Islam Negeri Ar Raniry, Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, menuturkan, warung kopi telah bertransformasi dengan cepat sesuai dengan perubahan zaman. Tahun 1970-an, warung kopi menjadi tempat transit sebelum warga ke tempat kerja, tetapi kini warung kopi telah menjadi gaya hidup.
”Dulu sangat jarang ada perempuan duduk di warung kopi, tetapi sekarang itu hal biasa,” kata Bustamam.
Bustamam menuturkan, perubahan tampilan dari warung menjadi kafe ikut mengubah budaya atau interaksi. Generasi muda mudah menerima kehadiran kafe modern, sementara kelompok tua sulit meninggalkan warung tradisional.
Dulu sangat jarang ada perempuan duduk di warung kopi, tetapi sekarang itu hal biasa.
Baca juga: Perempuan yang Tidak Mendapat Segelas Kopi
Warung kopi membuka ruang interaksi sesama pengunjung atau penjual lebih akrab. Hanya dengan memberikan kode tertentu, barista sudah tahu pesanan yang dimaksud. Penjual duduk bersama pengunjung menjadi pemandangan lumrah karena umumnya para pelanggan tetap. Sementara di kafe hal itu dianggap tabu.
”Sebagian orang tidak nyaman dengan kafe self service karena sebagai konsumen, justru dia ingin dilayani,” kata Bustamam.
Menurut Bustamam, pergeseran budaya ngopi dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Meski gaya ngopi berubah, warung kopi tetap menjadi ruang silaturahmi.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Almuniza mengatakan, pertumbuhan warung kopi ikut menggairahkan pariwisata. Kegiatan bertajuk kopi selalu ramai peminat.
”Komoditas kopi merupakan salah satu daya tarik wisatawan ke Aceh. Kopi yang terjamin kualitasnya dan diakui dunia, ya, kopi Aceh,” ucap Almuniza.
Kini, konsumen pun bebas menentukan pilihannya. Mau menikmati kopi di ruang terbuka berteman senja, di warung kopi yang riuh, atau di kafe yang adem, di Banda Aceh semua tersedia.
Baca juga: Edi Azhari Memanggungkan Kopi Tangse