Hentikan Hoaks Mengancam Nyawa
Tahun ini, hoaks tetap rawan memakan korban jiwa. Terjadi di Papua, potensinya bisa terjadi di semua daerah di Indonesia.
Berita bohong semakin rawan memicu perbuatan agresif sebagian warga. Apabila dibiarkan, keberadaannya sangat rawan memakan korban jiwa. Potensinya semakin tinggi jika dihadapkan pada insting melindungi, seperti isu penculikan anak di berbagai daerah di Indonesia.
Tahun ini, tanah Papua kembali menjadi sasarannya. Hoaks penculikan anak muncul di Kota Sorong, Papua Barat Daya, 24 Januari 2023.
Saat itu, sekelompok warga di Distrik Sorong Manoi membakar perempuan, yang dicurigai sebagai pelaku penculik anak, hingga tewas.
Sebulan kemudian, isu serupa terjadi di Kampung Sapalek, Jalan Trans-Irian, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, Kamis (23/2/2023). Kali ini, korbannya 12 orang tewas.
Tidak hanya di Papua, kabar tidak jauh berbeda memancing emosi sebagian warga di Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, Senin (6/2/2023). Akibatnya, lima tenaga pemasaran jaket kulit asal Garut, Jawa Barat, dituduh menjadi komplotan penculik anak. Mereka selamat, tetapi mobil dirusak massa.
Di Pulau Jawa, isu serupa juga muncul. Di Cangkol, Kota Cirebon, Jabar, seorang pria nyaris menjadi korban amukan warga karena dicurigai sebagai penculik anak, pertengahan Februari lalu.
Warga mengusir pria itu. Namun, ia kembali datang dan mengamati sejumlah anak yang sedang bermain. Belakangan, pria itu diduga mengalami gangguan jiwa dan kabur dari rumahnya.
Baca Juga: Internet, Jurnalisme, dan Hoaks
Program Manager Tular Nalar Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Santi Indra Astuti menyebut, isu penculikan anak membuat banyak warga khawatir. Tanpa pemikiran kritis, insting melindungi justru rentan memunculkan agresivitas.
Warga cenderung cepat menyimpulkan ciri atau tanda-tanda identik dengan sumber bahaya yang tersebar. Dalam kasus penculikan, lanjut Santi, itu dilihat dari bentuk kendaraan, sikap manusia, atau bentuk komunikasi.
Warga yang terlihat terbata-bata atau berasal dari luar daerah langsung dianggap sebagai ancaman. Tindakan agresif dan kekerasan yang memakan korban pun terjadi sehingga bisa melukai, bahkan mencabut nyawa.
”Kita tidak bisa serta-merta menyalahkan masyarakat. Apalagi, insting protektif yang dominan membuat masyarakat cepat termakan informasi hoaks. Bahkan, rasa ingin melindungi ini membuat masyarakat abai terhadap pemikiran rasional lalu main hakim sendiri,” ujar Santi.
Ke depan, peran semua pihak, termasuk negara, sangat vital. Di tengah pemahaman literasi yang belum ideal, Santi yang juga pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung ini menyayangkan aparat keamanan yang belum reaktif.
Dia mencontohkan isu penculikan anak di Papua yang berulang. Kerusuhan di Wamena terjadi tidak lama setelah pembakaran perempuan di Sorong.
Selain ketegasan hukum, dibutuhkan literasi tepat untuk membentuk pemikiran kritis yang menjaga rasionalitas masyarakat.
”Saat pemikiran kritis tidak jalan, rem kekerasan akan menjadi blong,” ujarnya.
Aspek agama, lanjut Santi, juga bisa menjadi salah satu jalan untuk mendekati masyarakat dan mengajak mereka untuk peduli terhadap literasi. Apalagi, peran ketokohan seseorang mampu memberikan dukungan kuat karena dipercaya publik.
”Semuanya menjadi puncak ketidaktahuan, distrust (ketidakpercayaan), dan ketakutan. Karena itu, literasi menjadi dibutuhkan, semua harus duduk bersama. Harus ada orang yang bisa memberikan pemahaman masyarakat. Pemuka agama menjadi salah satunya,” tutur Santi.
Di Jabar, pendekatan itu tengah dilakukan. Menurut Koordinator Divisi Pengelola Aduan dan Pengecekan Fakta Jabar Saber Hoaks (JSH) R Tommy Sutami, aspek keagamaan berperan besar dalam membentuk masyarakat yang lebih kritis terhadap hoaks. Apalagi, ketokohan, terutama agama, masih sangat berpengaruh di tengah masyarakat.
Hal ini, lanjut Tommy, menjadi alasan bagi JSH untuk masuk ke pesantren-pesantren dan mengajak santri untuk lebih rasional menyaring informasi. Edukasi dalam kegiatan Keliling Jabar Belajar Literasi Baik Asyik dan Fun (Kejar Tabayyun) itu dilaksanakan di 27 titik dalam kurun Februari-Agustus 2023.
”Ketokohan di Indonesia saat ini masih sangat berpengaruh, termasuk dari sektor keagamaan. Karena itu, selain mengampanyekan di media, kami juga masuk ke pesantren agar para santri lebih kritis terhadap informasi hoaks di tengah masyarakat,” ujarnya.
Di Cirebon, ikhtiar juga dijaga, salah satunya, lewat Teras Warga, grup Facebook (FB) tentang berbagai hal di Cirebon dan Cirebon Kabupaten Siber Hoaks.
Tidak hanya menjadi saluran penyebar informasi, Teras Warga juga merupakan tempat pengaduan kabar bohong. Grup ini memiliki pengikut hingga 110.000 akun.
Selain mengirim pesan via FB, warga pun dapat menghubungi nomor kontak 085795141285. Laporannya mulai dari hoaks lowongan kerja hingga penculikan anak.
”Setelah menerima pengaduan, kami langsung konfirmasi ke pihak berwenang. Bisa polisi, aparat desa, kuwu (kepala desa), atau mengecek berita di media mainstream,” ujar Ketua Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (RTIK) Kabupaten Cirebon Ahmad Rofahan.
Sejauh ini, mekanisme itu bisa memutus penularan hoaks. Namun, lanjutnya, itu hanya salah satu langkah kecil. Apalagi, Cirebon Kabupaten Siber Hoaks yang didampingi dinas komunikasi dan informatika setempat hanya beranggotakan enam orang. Strukturnya pun belum terbentuk.
Mereka kesulitan membendung gelombang hoaks. Apalagi, sekitar 73,7 persen atau 204,7 juta orang dari total 277,7 juta penduduk Indonesia jadi pengguna internet. Ada 191,4 juta orang di Indonesia yang menjadi pengguna media sosial. Itu sebabnya diperlukan literasi digital.
Literasi ini tidak hanya mencakup kecakapan menggunakan media digital, tetapi juga memahami manfaatnya, keamanan, hingga etika bermedia. Salah satunya, mencegah hoaks dengan tidak termakan judul provokatif, mengecek tanggal foto dan video, hingga memvalidasi sumber berita.
”Masih banyak orang yang butuh literasi digital. Hoaks bisa menyebar karena tingkat literasinya kurang dan tingkat konfliknya yang sangat tinggi sehingga orang sensitif. Di wilayah yang potensi konfliknya tinggi, warga bisa langsung tersulut emosi dengan hoaks,” tuturnya.
Oleh karena itu, Rofahan mendorong berbagai pihak turut mencegah hoaks. Pihaknya, misalnya, menyosialisasikan literasi digital ke sekolah.
Tahun lalu, sekitar 4.000 siswa hingga mahasiswa ikut acara itu. Ia juga menyarankan adanya materi literasi digital dalam kurikulum pendidikan.
Tidak hanya generasi muda, perempuan, khususnya ibu-ibu, rentan terpapar hoaks penculikan anak. Hani Noor Ilahi dalam artikelnya ”Women and Hoax News Processing on WhatsApp”di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (2018) menemukan fakta menarik soal perempuan dan hoaks.
Hasilnya, perempuan sebagai ibu cenderung mengutamakan aspek emosional saat menemukan informasi tentang penculikan anak. Meski memiliki kemampuan berpikir kritis, perempuan kerap mengedepankan perasaannya ketika mendengar kabar buruk tentang anak sekalipun itu hoaks.
Mereka cenderung mudah menyebarkan kabar bohong tentang penculikan anak. WhatsApp menjadi media penyebarannya.
Apalagi, ibu-ibu biasanya tergabung grup keluarga, arisan, serta orangtua murid. Hani pun mengingatkan agar perempuan tidak dilupakan dalam literasi digital.
Tanpa peran berbagai pihak, hoaks yang berujung kekerasan dapat terjadi di mana saja dan kapan pun. Ingat, penyebar hoaks terancam hukuman penjara dan denda hingga Rp 1 miliar. Tidak hanya itu, hoaks juga bisa memicu hilangnya nyawa dan remuknya kohesi sosial.
Baca Juga: Hoaks Berkali-kali di Papua, Pelakunya Harus Ditangkap