Menggugat Potret Kekinian Perempuan Sasak yang Tidak Bisa Menenun
Kegelisahan tentang masa depan tenun Sasak berhasil dipotret lewat tari kontemporer bertajuk Tenun?. Kegelisahan itu muncul seiring banyaknya perempuan Sasak yang kini tidak bisa menenun.
Tari kontemporer bertajuk Tenun? dari koreogreafer Gita Kinanthi Purnama Asri, sukses dipentaskan di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Nusa Tenggara Barat, Selasa (14/2/2023) malam lalu. Pertunjukan itu, tidak hanya menyuguhkan keindahan beragam motif kain tenun Sasak, tetapi juga menjadi potret kegelisahan akan banyaknya perempuan Sasak yang kini tidak bisa menenun.
Begitu tirai dibuka, terlihat seorang perempuan yang mengenakan jilbab merah, lambung (baju tradisional perempuan sasak), dan bawahan kain tenun hitam, sedang duduk di atas berugak (gazebo). Ia tengah menenun.
Tak berapa lama, terdengar lengkingan suara mengucap kalimat "Subahnale" atau Subhanallah (Maha Suci Allah). Kalimat itu yang berulang kali diucapkan perempuan Sasak saat menenun, sehingga salah satu motif kainnya dinamakan Tenun Subahnale.
Bersama lirik "Subahnale" yang berulang-ulang, dari kolong bawah berugaq, seorang penari yang seluruh tubuhnya tertutup kain tenun keluar. Dari kolong salah satu rumah tradisional Sasak itu, ia bergerak pelan, sesekali menggeliat dan meliuk-liuk.
Baca juga: Saat Presiden Joko Widodo Terpikat Sepatu Tenun Sundawa Lombok
Petikan gitar elektrik, tabuhan drum, dan alat musik lain kemudian terdengar. Sang penari perlahan memperlihatkan kaki dan tangan, hingga kepala. Saat tempo musik makin cepat, gerakannya pun semakin cepat hingga seluruh badannya terlihat. Bagian ini, ia tutup dengan menari sambil berdiri membawa kain tenun.
Bagian berikutnya hampir sama. Tetapi kali ini lebih banyak penari yang seluruhnya perempuan keluar dari kolong berugaq. Mereka membawa berbagai motif tenun Sasak seperti Subahnale, Kembang Komaq, dan Wayang.
Baca juga: Tenun, Warisan Leluhur yang Menghidupi Banyak Warga NTB hingga Kini
Seperti judulnya, semua hal terkait kain tenun Sasak benar-benar ditonjolkan sepanjang pertunjukan dengan durasi 50 menit itu. Mulai dari perempuan penenun asli yang menenun sepanjang pertunjukan, beragam motif kain tenun, gerakan-gerakan, hingga aksesoris.
Misalnya gerakan selonjoran belasan penari di lantai seperti saat orang sedang menenun, gerakan membawa benang-benang warna warni, hingga penari yang membawa benang panjang di bagian penutup pertunjukan.
Tenun Sasak
Ditemui usai pertunjukan, Gita selaku koreografer mengatakan, Tenun? berdurasi 50 menit dengan pembagian 15 menit di luar panggung dan 35 menit di atas panggung.
Di luar panggung, pertunjukan yang dibawakan langsung oleh Gita, menjadi prolog. Bagian itu menggambarkan kondisi tenun yang saat ini lebih berorientasi ke ekonomi, dan mulai lupa soal regenerasi.
Baca juga: Mengenal Lebih Dalam Tenun Sasak di Mini Museum Tenun
Lalu saat pertunjukan pembuka di panggung, Gita kembali menyuguhkan arti penting tenun dalam ritual masyarakat Lombok. Misalnya, tenun digunakan untuk ngumbaq (menggendong) anak saat sunatan atau potong rambut.
"Tenun?, adalah sebuah tari kontemporer, kritikan bagaimana tenun hari ini dengan segala sejarah, nilai, dan fungsinya," kata Gita.
Menurut Gita, Tenun? diawali dengan riset untuk memotret apa saja persoalan tenun. Terutama soal regenerasi tenun. Ia menemukan banyak perempuan sasak di kampung tenun Sasak yang tidak bisa menenun. Padahal dulu berlaku syarat anak perempuan tidak boleh menikah jika belum bisa menenun.
“Saat riset, saya menemukan banyak perempuan penenun yang menjadikan tenun sebagai pencarian. Tetapi banyak yang sudah tua. Sementara tidak ada regenerasi. Anak-anaknya tidak mau menenun karena sekolah atau bekerja yang lain,” kata Gita.
Baca juga: NTB Optimistis Bisa Jadi Pusat Industri Busana Muslim
Kondisi itu yang Gita gambarkan dengan penari yang keluar dari kolong berugaq. Bagian itu menggambarkan anak perempuan yang lahir dari rahim seorang perempuan penenun.
Sementara tidak ada regenerasi. Anak-anaknya tidak mau menenun karena sekolah atau bekerja yang lain (Gita)
Meski lahir dan tumbuh di lingkungan penenun, namun perempuan itu tetap tidak bisa menenun hingga akhir usianya.
Menurut Gita, orientasi tenun saat ini banyak ke sisi ekonomi. Tidak ada yang salah dengan hal itu selama regenerasi dijaga dan tetap menjaga berbagai ritual-ritual terkait tenun.
“Regenarsi tenun tetap harus dilakukan dengan segala pertanyaan soal kerumitannya. Lakukan saja karena itu warisan nenek moyang,” kata Gita.
Lihat juga: Melestarikan Tenun Perbatasan
Gita yakin, kedua hal itu bisa sejalan. Maka dalam pertunjukan, ia memperlihatkan bagaimana sulit dan beratnya menenun. Ia juga ingin menunjukkan perempuan-perempuan Sasak menggunakan tenun yang cantik dan mahal, merasa bahagia dan bangga terhadap tenun.
Seni Inklusif
Pertunjukan Tari Kontemporer Tenun?, adalah salah satu rangkaian kegiatan dalam proyek seni inklusif perempuan “Sejarah Benang dan Kisah Perempuan Sasak”.
Proyek itu merupakan salah satu salah satu proposal yang lolos dalam program Dana Indonesiana Tahun 2022 dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, juga Lembaga Pengelola Dana Pendidikan atau LPDP.
Sebelumnya, ada sejumlah kegiatan yang dilakukan meliputi riset pada November 202, lokakarya pada Desember 2022-Januari 2023, dan presentasi gagasan Mini Museum pada 24 Desember 2022.
Baca juga: Tenun untuk Semua Usia
Apresiasi diberikan berbagai pihak terhadap pertunjukan Tenun?. Haris (39), salah satu penonton, mengaku sangat menikmatinya. “Apalagi bagian ibu-ibu penenun yang memang asli penenun. Kemudian aktivitasnya dipadukan dengan koreografi yang bagus, serta musik rok progresif. Saya sangat suka,” kata Haris.
Haris juga menangkap pesan dari pertunjukan itu. Terutama tenun yang belakangan dianggap oleh banyak orang sebatas oleh-oleh. Tetapi tidak sebagai warisan yang harus dijaga dan dipelajari.
Ketua Dewan Kesenian Nasional Daerah (Dekranasda) NTB Hj Niken Saptarini Widyawati Zulkieflimansyah mengatakan, Tenun? adalah interpretasi terhadap fakta perempuan Sasak yang sudah menenun sejak beberapa abad yang lalu.
“Anak-anak muda berusaha menginterpretasikan dan menampilkan hal itu (tenun) kembali dengan cara baru. Cara itu (pertunjukan) memang kita butuhkan,” kata Niken.
Lihat juga: Tenun Ikat Perempuan Sikka
Oleh karena itu, sebagai apresiasi, Niken berencana menampilkan Tari Kontemporer Tenun? pada Lombok International Modest Fashion Festival (LIMOFF) Juli 2023 mendatang. Sebelumnya, juga ada festival tenun dengan berbagai kegiatan termasuk pelatihan bagi para penenun di Lombok dan Sumbawa.
Di level kampung tenun, upaya menjaga eksistensi tenun juga tetap dilakukan. H Saman Budi, Kepala Desa Sukarara yang merupakan salah satu kampung tenun di Lombok, mengatakan, tenun telah menjadi budaya yang dilestarikan masyarakat Sukarara. Bahkan desa tersebut kini menjadi salah satu Desa Wisata Tenun di Lombok.
Saman Budi mengatakan, tidak hanya budaya, tenun yang lebih banyak dibuat oleh para perempuan, telah menjadi sumber ekonomi. Sehingga berbagai upaya promosi terus mereka lakukan. Misalnya dengan rutin setiap tahun menggelar Festival Begawe Nyesek (menenun) Sukarara.
Tenun? berhasil memotret kegelisahan akan masa depan tenun Sasak di Lombok. Tinggal bagaimana langkah kita bersama agar kegelisahan itu tidak berlanjut dan tenun Sasak tetap hidup.