Sahilin, Sang Maestro Irama Batanghari Sembilan, Berpulang
Maestro seni musik tradisional irama Batanghari Sembilan, Sahilin (68), mengembuskan napas terakhir, Sabtu (25/2/2023). Ia mendedikasikan seumur hidupnya untuk irama Batanghari Sembilan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Maestro seni musik tradisional irama Batanghari Sembilan, Sahilin (68), mengembuskan napas terakhir di rumahnya, Sabtu (25/2/2023). Semangatnya untuk tetap berkarya tidak pernah pudar sampai akhir hayatnya. Bahkan, ia tetap nembang, tujuh hari sebelum ia berpulang.
”Saya kaget Bapak pergi tiba-tiba. Tidak ada gejala sakit sebelumnya,” ujar Sayidina (39), anak keempat Sahilin, dengan mata berkaca-kaca, saat ditemui di rumah duka di Gang Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang.
Sebelum meninggal dunia, ujar Sayidina, Sahilin sempat memperbaiki perabot di malam hingga dini hari. Sabtu dini hari, Sahilin mengeluh sesak napas. Mendengar keluhan itu, Sayidina segera membawa ayahnya ke dokter. Ia dideteksi mengalami tekanan darah tinggi. ”Kemudian, perawat menyarankan agar Bapak dibawa ke RS terdekat untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut,” ujarnya.
Hanya saja, Sahilin meminta kembali dulu ke rumah sekaligus mempersiapkan pakaian yang akan dibawa ke RS. Di rumah, Sahilin meminta agar anak bungsunya, Sarwani, datang menjenguk. Lalu, ia meminta Sarwani untuk memijat kakinya. ”Setelah dipijat kakinya, Bapak tidak bergerak, di sana kami tahu Bapak telah tiada,” ujar Sayidina.
Pada 17 Februari lalu, Sahilin masih nembang di sejumlah daerah di Sumsel, seperti di Desa Mainan, Kecamatan Sembawa, Kabupaten Banyuasin, Keesokan harinya, ia juga sempat tampil di Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
Pada saat tampil di Pedamaran itu, Sahilin sempat lupa lirik. ”Padahal, selama ini Bapak tidak pernah lupa lirik,” ucapnya. Sebelum meninggal, ia juga lebih sering bercerita tentang istrinya, Asmawati, yang lebih dulu meninggal pada 2012 lalu.
”Sebenarnya, hari ini Bapak juga diminta tampil. Namun, ia telah berpulang,” ujar Sayidina.
Kepergian Sahilin mengejutkan semua pihak, termasuk penggemar yang selalu rindu akan aksinya di panggung.
Sulit ditiru
Seniman Irama Batanghari Sembilan, Muhammad Ali, merasa sangat kehilangan. Menurut dia, Sahilin adalah seniman yang tidak pelit berbagi ilmu. Ketika ada anak muda yang ingin belajar di rumahnya, dengan sangat senang hati, Sahilin akan memberikan ilmunya.
Menurut Ali, kemampuan Sahilin mengotak-atik senar gitar sulit ditiru. Ada istilah ”petikan palsu” yang menjadi ciri khas kala ia bermain. ”Irama gitar yang ia mainkan tidak sama dengan petikan gitar biasa. Kemampuan inilah yang langka,” ujar Ali.
Ada sekitar 17 petikan khas yang muncul dari berbagai daerah di Sumatera Selatan. ”Petikan dari dataran tinggi dan dataran rendah tentu berbeda. Namun, Sahilin menguasainya,” ujar Ali.
Sebenarnya, pada akhir April 2023, Ali dan Sahilin berencana berkolaborasi memperkenalkan irama Batanghari Sembilan kepada kaum muda agar tidak punah. ”Namun, sebelum rencana itu ditunaikan, beliau telah berpulang,” ujarnya.
Sekretaris Daerah Kota Palembang Ratu Dewa mengaku sebagai salah satu penggemar Sahilin. Terkadang menjelang tidur, ia selalu mendengar lagu ciptaan Sahilin. ”Karena itu, saya sangat kehilangan,” ujar Ratu. Menurut dia, Sahilin memiliki talenta khusus yang harus diapresiasi.
Meski telah berpulang, Ratu yakin, irama Batanghari Sembilan tetap ada karena Sahilin tidak berhenti untuk membagi ilmunya kepada generasi muda, termasuk kepada anak keduanya, Sulaiman, untuk meneruskan bakatnya.
Berdedikasi
Di masa hidupnya, di tengah keterbatasan fisik karena tubuhnya yang telah renta dan tidak dapat melihat karena penyakit yang dideritanya ketika berusia lima tahun, Sahilin tetap bersemangat menggelorakan Batanghari Sembilan ke sejumlah daerah di Sumatera Selatan.
Ia tidak hanya mahir bermain gitar, tetapi juga terus menciptakan pantun jenaka yang terinspirasi dari lingkungan sekitar dengan berbagai tema. Satu pantun berisi 30 bait hingga 50 bait.Ada yang menceritakan kisah sedih, pesan moral, atau kelakar yang lucu. Beberapa pantunnya menjadi lirik Batanghari Sembilan yang terkenal, antara lain ”Ratapan Mati Gadis”, ”Kaos Lampu”, ”Tiga Serangkai”, ”Kisah Pengantin Baru”, dan ”Bujang Buntu”.
Musik Sahilin sangat digemari di medio 1970-an. Saat itu, dari hampir setiap rumah warga terdengar lagunya yang diputar dari kaset. Pada saat itu Sahilin bisa menerima pesanan manggung lima sampai tujuh kali per minggu setiap minggunya.
Beberapa penggemar dari luar negeri, seperti Australia dan Malaysia, bahkan datang ke rumah untuk mendengarkannya bermain secara langsung.
Keterampilan dalam memainkan seni tradisional itu juga tidak pernah pupus. Jari jemarinya tetap terampil mengotak-atik setelan gitarnya. Bahkan, jika diminta, Sahilin bisa segera membuat bait pantun sembari memetik senar gitarnya.
Dedikasi Sahilin melestarikan irama Batanghari Sembilan membuat Bentara Budaya memberinya penghargaan pada tahun 2022. Penghargaan diberikan untuk memperingati Hari Jadi Ke-40 Bentara Budaya.
Saat Kompas mewawancarai Sahilin, Senin, 26 September 2022, ia berharap bisa nembang sampai akhir hayat. Cita-citanya tampaknya telah terwujud. Terima kasih atas dedikasimu, Sang Maestro.