Ketika Timor Raya Berhenti Berdenyut
Longsor di Takari membuat mobilitas di ruas jalan Timor Raya seakan berhenti berdenyut.
Maria Seran (43) memandang puluhan tandan pisang di dalam mobil bak terbuka dengan tatapan kosong. Sudah dua hari mobil itu tertahan lantaran jalan yang akan dilewati tertimbun longsor.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 168 kilometer selama empat jam dari Betun, Kabupaten Malaka, mobil terhenti di Takari, Kabupaten Kupang. Betun dan Takari berada di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur.
Sabtu (18/2/2023) pagi, mobil yang ditumpangi Maria serta ribuan kendaraan lain tertahan di Takari. Material longsor seukuran bukit menutupi salah satu titik di ruas jalan trans-Timor Raya. Timor Raya merupakan akses utama di Pulau Timor.
Mobilitas kendaraan dari empat kabupaten ke Kota Kupang, ibu kota provinsi, terhenti. Empat kabupaten itu adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Malaka, dan Belu. Selain itu, sebagian wilayah Kabupaten Kupang juga terdampak.
Tak ada jalan alternatif, mobilitas kendaraan lumpuh total. Ibarat tubuh manusia, jika Kota Kupang adalah kepala, Takari adalah bagian leher. Aliran makanan yang masuk dari mulut ke dalam tubuh harus melewati leher.
Jalan Timor Raya merupakan jalur darat paling ramai di NTT. Setiap hari melintas ribuan kendaraan yang mengangkut puluhan hingga ratusan ribu orang serta ribuan ton barang. Ujung jalur dimulai dari Kota Kupang hingga garis batas negara Timor Leste.
Kini, Maria tak punya pilihan selain putar balik untuk membawa 60 tandan pisang itu ke pasar lain. Beberapa buruh menawarkan jasa pikul ke seberang titik longsor, namun ditolak. ”Saya beli pisang ini per tandan Rp 25.000, sedangkan buruh minta pikul satu tandan Rp 30.000,” ujarnya.
Sudah lebih dari tiga tahun, ibu empat anak itu berdagang pisang. Ia membeli pisang di Kabupaten Malaka, kemudian menjualnya hingga ke Kota Kupang yang terpaut jarak sekitar 250 kilometer dengan waktu tempuh hampir tujuh jam perjalanan.
Saya beli pisang ini per tandan Rp 25.000, sedangkan buruh minta pikul satu tandan Rp 30.000.
Selain Maria, ada juga Paskalis Siki (30), yang datang dari arah Kota Kupang. Ia membawa dua boks ikan segar untuk dijual ke Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Khawatir ikan membusuk, ia terpaksa menyewa buruh dengan harga Rp 100.000 per boks.
Bagi dia, balik modal sudah cukup. ”Kalau bawa barang lain tidak masalah. Ini bawa ikan. Daripada ikan busuk dan rugi, mendingan saya sewa orang pikul,” kata Paskal yang sudah lima tahun berjualan ikan lintas kabupaten itu.
Menurut dia, ini kondisi terburuk yang pernah dia alami. Sudah lebih dari satu pekan, akses utama belum bisa tersambung. Mobilitas kendaraan lumpuh total. Padahal, barang kebutuhan pokok dari Kota Kupang harus melalui titik itu.
Selain barang, orang sakit atau jenazah yang hendak melintas terpaksa dipikul melewati jalan setapak yang terjal. Rombongan keluarga siap pikul paling kurang 20 orang. Jika menggunakan jasa buruh, harus menyiapkan uang Rp 5 juta.
Baca juga : Timor Raya Berdenyut Sepanjang Waktu
Belum ada kepastian
Hingga Sabtu (25/2/2023) atau satu pekan setelah kejadian longsor, petugas berjibaku menyingkirkan material dan membuka dua jalan darurat. Jalur pertama di ujung sisi utara material longsoran yang diperuntukkan bagi pejalan kaki dan kendaraan maksimum roda empat.
Pelintasan jalur itu menggunakan sistem buka tutup. Jika kendaraan dari arah Kota Kupang bergerak, kendaraan dari arah sebaliknya menepi. Waktu tunggu paling cepat tiga jam. Sayangnya, jalur ini tidak beroperasi 24 jam.
Saat ini, sebagian wilayah Pulau Timor dilanda hujan deras, tak terkecuali di titik longsoran itu. Akibatnya, tanah terus bergerak menuju jalan darurat. Ketebalan lumpur yang semakin tinggi dapat menyebabkan ban kendaraan tertanam. Juga dikhawatirkan terjadi longsor susulan. Demi keselamatan, jalur darurat ini ditutup ketika hujan.
Jalur darurat yang satu lagi berada sekitar 150 meter di sisi utara longsoran. Panjang jalur yang diperkirakan sekitar 580 meter itu diperuntukkan bagi kendaraan di atas roda empat. Pembukaan jalur itu kini sedang dikerjakan.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kupang Semi Tinenti mengatakan, pembukaan akses jalan untuk truk pengangkut barang itu baru hampir 250 meter. Jalan tersebut diperkirakan sudah bisa beroperasi pada pekan depan.
Kendati demikian, pengoperasian kedua jalur darurat itu sangat bergantung pada kondisi cuaca. Jika hujan, pengendara tidak diperkenankan melintas. ”Yang dikhawatirkan adalah terjadinya longsor susulan sebab tanah masih terus bergerak,” kata Semi.
Perkuat jalur laut
Pantauan Kompas di sepanjang jalan Timor Raya dan sejumlah jalan strategis lain, terdapat sejumlah titik rawan yang berpotensi longsor pada waktu mendatang. Titik dimaksud banyak tersebar antara Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Selain itu, jalur di sisi timur Pulau Timor yang menghubungkan Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Malaka. Pada beberapa titik di jalur itu, material longsor sudah menutup sebagian badan jalan.
Menurut Elfrid V Saneh, Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Kabupaten Kupang, di banyak titik rawan longsor itu sewaktu-waktu akan terjadi longsor jika dipicu hujan dengan intensitas tinggi. Keselamatan pengguna jalan terancam serta gangguan mobilitas kendaraan bakal terulang lagi.
Ia mendorong pemerintah segera menyelidiki kondisi tanah di sepanjang jalan Timor Raya. Di titik rawan longsor perlu dibangun tanggul penahanan tanah. Namun, jika tanah terus bergerak, perlu dipikirkan untuk membangun jalan baru yang aman.
Sembari upaya mitigasi jalur darat dilakukan, pemerintah perlu memperkuat jalur laut yang selama ini belum dioptimalkan. Di Pulau Timor terdapat sejumlah pelabuhan laut yang sudah lama dibangun, namun minim pemanfaatan. Jalur laut sepi.
Pelabuhan laut dimaksud adalah Pelabuhan Naikliu di Kabupaten Kupang, Pelabuhan Wini di Kabupaten Timor Tengah Utara, dan Pelabuhan Teluk Gurita di Kabupaten Belu. Letak tiga pelabuhan itu di sisi barat Pulau Timor.
Komisaris PT Flobamor Hadi Djawas mengatakan, satu kapal ro-ro dioperasikan dengan rute dari Pelabuhan Tenau di Kota Kupang menuju tiga pelabuhan tersebut. PT Flobamor, selaku badan usaha milik daerah NTT, mengoperasikan kapal itu sekali dalam sepekan.
Sayangnya, pengguna jalur laut masih sangat minim. Alasannya, waktu tempuh dengan kapal lebih lama. Selain itu, kapasitas muatan juga terbatas. Sekali berlayar, kapal ro-ro hanya bisa mengangkut 25 kendaraan campuran.
Titik longsor di Takari yang belum bisa ditembus selama lebih dari satu pekan ini telah menimbulkan banyak kerugian. Semua pihak pun berjibaku sepanjang waktu agar jalur darat paling ramai di NTT itu kembali berdenyut seperti dulu.
Baca juga : Berjibaku Menghindari Longsor di Timor Raya