Dari sate harga Rp 50 per tusuk di tahun 1988, sate rembiga Ibu Hj Sinnaseh saat ini menjadi kuliner wajib wisatawan saat ke Lombok, NTB. Belum ada cabang. Wisatawan harus datang ke sana demi mengobati ”penasaran”.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
Asap mengepul saat bumbu yang melumuri sate daging sapi menetes menyentuh arang, Kamis (9/2/2023) sekitar pukul 20.00 Wita.
Meski kipas angin telah dihidupkan, juru bakar tetap mengibaskan kipas bambu. Itu membuat asap menyebar dan membawa aroma sedap ke setiap penjuru warung sate rembiga di Jalan Dr Wahidin, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, itu.
Tak berapa lama, sate-sate yang telah matang meluncur ke gazebo-gazebo kecil di luar atau ruangan di dalam. Tampak para pengunjung sudah menunggu dengan tak sabar.
Begitu sate terhidang di meja, pengunjung langsung menyantapnya. Ada yang meratah, ada juga dengan nasi atau lontong.
”Bumbunya merasuk di dagingnya yang empuk. Satenya punya cita rasa khas, beda sama sate bumbu kacang biasa. Terasa pakai banyak rempah, tetapi enggak bikin enek. Benar-benar bikin nagih,” kata Shinta (29), wisatawan asal Jakarta.
Candra, wisatawan asal Jakarta lainnya, juga mengakui cita rasa khas dari sate tersebut. ”Manis dan pedas menyatu saat di dalam mulut. Manis di awal lalu pedas di akhir,” katanya.
Candra, yang sering ke Lombok bersama istri, mengatakan, jatuh cinta pada sate Ibu Sinnaseh sejak pertama kali mencobanya beberapa tahun lalu. Itu membuatnya tak pernah melewatkan sate tersebut setiap kali berlibur ke Lombok.
Tidak hanya sate, ada berbagai menu tambahan yang tersedia, seperti pelecing kangkung, urap, beberuk (lalapan khas Lombok), pepes, bebalung (sup tulang iga), juga sate ayam.
Menurut Candra, favoritnya adalah sate rembiga dengan pelecing kangkung dan beberuk.
”Sate, dengan pelecing kangkung, juga beberuk yang dibikin dari sayuran mentah benar-benar kombinasi yang pas,” kata Candra.
Tidak hanya makan di tempat, Candra juga membawa pulang ke Jakarta untuk oleh-oleh. ”Apalagi satenya tahan untuk perjalanan berjam-jam. Sampai di rumah, saya hangatkan lagi sehingga sensasinya tidak jauh dengan saat makan langsung di Lombok, ha-ha-ha,” kata Candra.
Lokasinya yang berada di pinggir jalan utama, membuat warung sate Ibu Hj Sinnaseh mudah dijangkau, baik dengan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Begitu sampai, pengunjung bisa langsung memilih untuk makan di dalam ruangan atau di gazebo-gazebo di luar. Sate yang telah siap dibakar membuat pengunjung tidak perlu menunggu lama untuk mencicipinya.
Sebelum seperti sekarang, warung sate yang berada sekitar 10 menit dari pusat Kota Mataram itu hanya warung kaki lima. ”Saya memulai usaha ini dari modal Rp 125.000,” kata Sinnaseh (52).
Sinnaseh mengatakan, usahanya telah dimulai sejak 1988. Saat itu, ia menjual sate dengan harga Rp 50 per tusuk. Sekarang, satu tusuk sate dijual Rp 2.500 atau Rp 25.000 per porsi.
”Total karyawan saya 40 orang. Dulu di awal hanya tiga orang,” kata Sinnaseh.
Setiap hari, kata Sinnaseh, mereka harus mengolah 100-200 kilogram daging sapi untuk dijadikan sate. ”Dari 100 kilogram daging, bisa dibuat menjadi sekitar 10.000 tusuk sate,” katanya.
Menurut Sinnaseh, saat ini, omzet hariannya bisa mencapai Rp 15 juta-Rp 25 juta per hari, bahkan bisa sampai Rp 60 juta-Rp 70 juta per hari saat pengunjung membeludak.
Sinnaseh mengatakan, tidak ada resep rahasia dari satenya. Bumbunya pun sama dengan sate-sate di warung lain.
”Kami selalu menggunakan bagian sapi terbaik untuk sate, misalnya paha sapi. Pengolahannya pun saya awasi langsung. Tidak kasih ke orang lain,” kata Sinnaseh.
Cara itu yang dipercaya Sinnaseh membuat kualitas dan cita rasa satenya terjaga. Juga tetap dicari pencinta kuliner tersebut. ”Bisa jadi juga saya punya rezeki dari sate, ha-ha-ha,” kata Sinnaseh.
Menurut Sinnaseh, sampai saat ini warungnya hanya ada di kawasan Rembiga. Tidak ada cabang. Dengan demikian, resep lainnya, menurut dia, adalah ”penasaran”.
”Jadi kalau ada yang penasaran dengan sate saya, mau tidak mau harus datang langsung ke sini,” kata Sinnaseh.
Meski demikian, jika harus membuka cabang, tidak boleh di Lombok. Fitri Puryani (36), salah satu putri Sinnaseh, mengatakan, kemungkinan mereka akan membuka cabang di Jakarta. Saat ini, ia masih mencari lokasi yang pas di Ibu Kota.
Menurut Fitri, peminat satenya di Jakarta cukup besar. Itu terlihat saat mereka mengikuti festival kuliner beberapa waktu. ”Saya bawa 9.000 tusuk dan ludes. Padahal dijual Rp 50.000 per porsi plus lontong,” kata Fitri.
Jika benar buka di Jakarta, tentu jadi kabar gembira. Pencinta sate Ibu Hj Sinnaseh yang tak bisa ke Lombok bisa mengobati rindu dan penasarannya di sana. Tetapi kalau berlibur ke Lombok, tentu harus langsung ke warungnya di Rembiga.