Keberadaan Balai Pertemuan yang ada di kawasan Sekanak, Palembang, Sumsel, terancam. Sejumlah seniman berjuang untuk mengembalikan fungsinya melalui seni. Harapannya hati Pemkot Palembang bisa tergugah.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Edy Fahyuni, seorang seniman seni rupa di Palembang, Sumatera selatan, menggambar gedung balai pertemuan di kawasan Sekanak. Sejumlah seniman meminta agar gedung ini digunakan sebagai gedung kesenian.
Jari-jemari Edy Fahyuni (55), seorang seniman seni rupa di Palembang, Sumatera selatan, menari indah di atas kanvas putih berukuran 30 cm x 30 cm, Minggu (12/2/2023). Dengan cat akriliknya, ia melukis bangunan balai pertemuan di kawasan Sekanak, Palembang, yang kini tengah merana.
Sudah dua jam Edy duduk memperhatikan obyek yang ada di depannya itu. Ia lalu melukisnya dengan beragam warna. ”Ini bangunan lama yang punya nilai sejarah. Pesan inilah yang ingin saya sampaikan,” ujar Edy yang sudah 39 tahun melukis itu.
Gedung balai pertemuan itu terletak tak jauh dari kantor Wali Kota Palembang. Balai pertemuan yang dibangun pada masa kolonial Belanda pada tahun 1928 dan baru digunakan pada tahun 1931 itu kini kondisinya kini kian tidak terawat.
Sampah berserakan hampir di setiap sudutnya. Halaman bangunan ditumbuhi semak belukar. Di bagian dalam, lantai bangunan dipenuhi lumut dengan beberapa keramiknya telah pecah. Kaca, kusen jendela dan pintu banyak yang pecah dan hilang.
Melihat kondisi itu, beberapa seniman, mahasiswa, dan budayawan pun bekerja bakti untuk membersihkan bangunan itu agar kembali laik digunakan. Sebagai hiburan, beberapa seniman memperlihatkan keahliannya, seperti beraksi teatrikal, berpantomim, dan melakukan musikalisasi puisi.
Hampir semua seniman menyiratkan pesan yang sama, yakni kembalikan gedung balai pertemuan itu sebagai gedung kesenian.
Balai pertemuan yang ada di kawasan Sekanak, Kota Palembang, Sumsel, yang saat ini kondisinya kian merana, Minggu (12/2/2023). Sejak lima tahun terakhir, gedung ini telantar. Sejumlah seniman meminta agar gedung ini digunakan sebagai gedung kesenian.
Seniman Palembang, Muhammad Ali, pun menciptakan sebuah lagu berjudul ”Tua, Tua di Kota Tua”. Lagu berirama country itu berisikan lirik yang mengkritik Pemerintah Kota Palembang yang dianggap tidak peduli pada cagar budaya. ”Banyak bangunan cagar budaya yang tidak terawat bahkan hancur,” ujar Ali.
Padahal, sebagai kota paling tua di Indonesia, Palembang memiliki banyak bangunan yang memiliki nilai sejarah. ”Saya berharap dengan lagu ini, pemerintah segera sadar dan merawat kembali bangunan cagar budaya,” kata Ali.
Menurut sejarawan Universitas Sriwijaya, Dedi Irwanto Muhammad Santun, balai pertemuan itu dulunya merupakan gedung tempat berkumpulnya para ekspatriat Eropa yang sedang tinggal atau bekerja di Palembang. Gedung ini dulunya bernama gedung Sociëteit yang artinya gedung masyarakat.
Gedung menjadi tempat warga Eropa, termasuk pribumi, yang bekerja di kantor pemerintahan berkumpul, berdansa, dan berpesta. Tidak hanya di Palembang, gedung seperti ini juga ada di daerah lain, seperti Makassar, Bandung, Yogyakarta, dan Solo.
Bedanya, gedung yang ada di kota-kota itu sangat terawat dan difungsikan sebagai gedung kesenian. Namun, di Palembang, yang tahun lalu menjadi tuan rumah Rapat Kerja Nasional Jaringan Kota Pusaka Indonesia, gedungnya terbengkalai.
Mulanya balai pertemuan itu dibangun semipermanen berbahan kayu gelam dan batu di tepian Sungai Musi pada 1825. Kemudian, Pemerintah Hindia Belanda membangunnya pada 1928-1931 di bawah kepemimpinan Richard Carl AFJ van Lissa Nessel.
Selain gedung Sociëteit, pada masa itu juga dibangun gedung monumental lainnya, yakni rumah bola (schouwbouw) dan menara air (water toren)yang saat ini difungsikan sebagai kantor Wali Kota Palembang.
Hanya di gedung ini tidak ada diskriminasi antara pribumi dan kaum Eropa.
Gedung Sociëteit Palembang juga punya keunikan tersendiri karena hanya di gedung ini tidak ada diskriminasi antara pribumi dan kaum Eropa. Semua orang yang tergabung dalam pemerintahan bisa bepesta bersama. Di sini juga para kaum bangsawan dan orang Eropa bertukar pikiran untuk kemajuan Kota Palembang.
”Ini menandakan, gedung Sociëteit memiliki nilai penting yang harus dijaga keberadaannya,” ujar Dedi.
Di Palembang, sebenarnya ada dua gedung Sociëteit yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda. Lainnya berada di Plaju, Sei Gerong, tepatnya di Kompleks Pertamina, Plaju, Palembang, yang sekarang dinamakan gedung Ogan.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Pecahan kaca di jendela balai pertemuan yang ada di kawasan Sekanak, Kota Palembang, Sumsel, yang saat ini kondisinya kian merana, Minggu (12/2/2023).
Penanggung Jawab Aliansi Masyarakat Peduli Cagar Budaya, Febri Irwansyah, menyebut, kehancuran gedung balai pertemuan ini memperkuat ketidakpedulian Pemkot Palembang terhadap bangunan diduga cagar budaya. ”Padahal, lokasinya dekat dengan kantor Wali Kota Palembang, tetapi tetap saja tidak terawat dan tidak terjaga,” ungkapnya.
Karena itu, ia berharap agar gedung ini segera dipugar dan dikembalikan lagi sebagai gedung kesenian atau paling tidak sebagai balai pertemuan. ”Ada foto yang menggambarkan bahwa gedung ini pernah digunakan untuk acara besar. Mari kembalikan fungsinya seperti dulu,” ujar Febri.
Sebelum telantar seperti sekarang, balai pertemuan pernah menjadi kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang dan menjadi Kuto Besak Theater Restaurant (KBTR) sebelum akhirnya dikembalikan lagi ke pemkot pada 2019.
Febri khawatir jika situasi ini dibiarkan, bangunan akan kian rusak. ”Tahun lalu, kusen jendela masih ada, tetapi sekarang sudah hilang,” ujarnya.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi V DPRD Sumsel Susanto Azis mengatakan, dirinya akan mendorong legislatif menganggarkan dana untuk merehabilitasi gedung balai pertemuan. Para pegiat seni juga harus memiliki wadah mereka berekspresi. ”Perlu keberpihakan Kota Palembang untuk menyelamatkan gedung ini,” ujarnya.
Susanto mendorong agar gedung itu dapat segera ditetapkan sebagai cagar budaya agar keberadaannya bisa terlindungi. Sebagai kota tertua di Indonesia, seharusnya Pemkot Palembang bisa mengelola atau menjaga aset yang memiliki nilai sejarah.
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Kondisi interior gedung balai pertemuan yang ada di kawasan Sekanak, Kota Palembang, Sumsel, yang tidak terawat, Minggu (12/2/2023) . Sejak lima tahun terakhir, gedung ini telantar. Sejumlah seniman meminta agar gedung ini digunakan sebagai gedung kesenian.
Kepala Bidang Sejarah dan Tradisi Dinas Kebudayaan Kota Palembang Ismail Ishak menuturkan, pihaknya sudah mengusulkan gedung tersebut sebagai gedung kesenian sebagaimana fungsi awalnya. Namun, keputusan tetap berada di Wali kota Palembang karena itu merupakan aset pemkot.
”Masih banyak juga dinas yang memerlukan kantor sehingga nanti apakah gedung itu akan dikembalikan sebagai gedung kesenian atau fungsi yang lain,” ujarnya.
Di samping itu, ujar Ismail, pihaknya juga telah mengajukan gedung balai pertemuan menjadi salah satu bangunan cagar budaya karena memiliki nilai penting, terutama untuk kesejarahan dan fungsinya. ”Kami berharap dengan difungsikannya lagi gedung ini bisa menekan risiko kerusakan,” ujarnya.
Seperti yang dikatakan Bung Karno, ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Demikianlah seharusnya kita memperlakukan bangunan penting karena dari bangunan itu terbentang pesan yang bisa menjadi bekal masa depan.