Ironi Petasan, Tradisi Turun-temurun yang Mendatangkan Petaka
Meski sudah dirazia, petasan masih muncul di banyak daerah. Selain penanganan represif, perlu ada penanganan khusus yang lebih ”soft” mengingat petasan telah menjadi bagian dari tradisi.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Petugas kepolisian melakukan olah tempat kejadian perkara kasus ledakan yang diduga berasal dari petasan di Desa Karangbendo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Senin (20/2/2023). Rumah yang menjadi sumber ledakan rata dengan tanah.
Ledakan bahan petasan yang mengguncang Desa Karangbendo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Minggu (19/2/2023) sekitar pukul 22.45, mengejutkan publik. Akibat peristiwa ini, empat orang meninggal, 23 orang luka, serta 25 rumah dan tempat ibadah rusak. Kerasnya dentuman bahkan terdengar hingga jarak di atas 20 kilometer.
Tiga jenazah korban ledakan bahan petasan di Desa Karangbendo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Selasa (21/2/2023), diserahkan RSUD Srengat ke pihak keluarga untuk dikebumikan. Mereka adalah Darman (65) dan dua anaknya, Arifin (29) dan Widodo (26).
Sementara jenazah adik ipar Arifin, Neswa Roszi (17) alias Wawa, untuk sementara masih menunggu hasil identifikasi melalui DNA. Jika identifikasi sudah rampung, jenazah korban juga akan menyusul diserahkan kepada keluarga.
”Kalau hari ini selesai, akan diserahkan kepada pihak keluarga,” ujar Kepala Polres Blitar Kota Ajun Komisaris Besar Argowiyono. Menurut Argo, semua data antemortem Wawa sudah diserahkan oleh pihak keluarga.
Polres Blitar Kota telah memeriksa 10 saksi. Hasil penyelidikan sementara, ledakan terjadi akibat malaprosedur saat aktivitas peracikan petasan oleh Arifin dan Widodo. Sementara peran Darman tidak terlalu signifikan meski dia mengetahui ada kegiatan itu.
”Black powder yang jadi bubuk untuk mengisi petasan. Ada residu-residu yang sudah didapat tim labfor (kemarin), ada panci juga yang kemarin kami temukan. Ini mungkin saat peracikan ada yang salah sehingga timbul reaksi kimia dan langsung meledak,” katanya.
Menurut Argo, pihaknya masih belum bisa memastikan volume bahan petasan yang meledak lantaran saat ini yang tersisa hanya residu. Semua sudah diambil sampel dan positif ada belerang, potasium, dan arang.
”Di situ kami meyakini lokasi perakitan,” ujarnya.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Petugas kepolisian melakukan olah tempat kejadian perkara ledakan di rumah warga Dusun Krajan, Desa Sidoluhur, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jatim, Minggu (27/5/2018). Ledakan yang diduga berasal dari petasan itu menyebabkan satu korban tewas dan satu orang lainnya menderita luka bakar.
Mengenai apa yang akan dilakukan pihak kepolisian ke depan agar kejadian ini tidak terulang, Argo mengatakan, pihaknya akan terus melakukan razia dan patroli dialogis, memberikan imbauan kepada masyarakat. Jajaran intelijen juga tengah menyelidiki mana saja rumah yang menjadi industri rumahan perakitan petasan.
”Karena tak hanya satu (lokasi), tetapi di tempat lain juga sudah kami lakukan pemetaan. Kami serius untuk antisipasi,” kata Argo yang masih menyelidiki sumber bahan petasan tersebut berasal. Pihaknya telah memeriksa anggota keluarga, kerabat, hingga warga yang bermukim di sekitar rumah korban.
Sebelumnya, ada informasi dari warga jika di tempat itu dipakai untuk meracik petasan. Bahkan, bukan kali ini saja. Tahun lalu polisi juga melakukan razia di tempat ini dan menemukan cukup banyak petasan.
Bunyi petasan memang marak saat menjelang momentum hari besar di Blitar dan daerah lain di sekitarnya. Jauh sebelum kembang api buatan pabrik banyak beredar di pasaran, masyarakat perdesaan sudah jauh mengenal petasan atau mercon.
Sebut saja mulai dari yang kecil seukuran pensil (lombok/cabai) sampai yang besar seukuran kaleng cat (blangur). Tidak jarang petasan itu dibuat sendiri dengan memanfaatkan bahan seadanya, seperti sisa buku tulis sekolah sebagai selongsong.
Semakin besar ukuran petasan, suara yang dihasilkan juga semakin kencang. Fenomena ini kerap terdengar di kawasan Kabupaten Blitar, Kediri, hingga Tulungagung saat menjelang Idul Fitri. Jika sejak tengah malam sampai selepas subuh dentuman demi dentuman terdengar, keesokan harinya bisa diamati potongan kertas berserakan mengubah aspal yang hitam menjadi berwarna putih.
Akademisi Universitas Negeri Malang, M Dwi Cahyono, mengatakan, beberapa daerah di Blitar, Kediri, dan Tulungagung biasa menyalakan petasan saat momentum spesial tiba. Hal ini bisa diketahui dari sisa-sisa residu kertas yang berserakan dan baru hilang dalam waktu cukup lama.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Kawasan yang rusak akibat terdampak ledakan yang diduga berasal dari petasan di Desa Karangbendo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Senin (20/2/2023). Rumah yang menjadi sumber ledakan rata dengan tanah.
”Saya pernah menulis di media sosial ’Usai Pesta Pora Lebaran’ beberapa tahun lalu. Pagi hari saat hari raya saya melintasi beberapa daerah, mulai dari Batu, Ngantang, Wlingi, Blitar, sampai ke arah Tulungagung. Saya melihat sepanjang perjalanan, begitu memasuki Blitar sampai perbatasan Tulungagung—di titik tertentu—yang namanya serpihan kertas banyak berserakan,” ujarnya.
Hal ini bisa terjadi, menurut Dwi Cahyono, lantaran masih ada kelonggaran terhadap larangan menyalakan petasan. Begitu pula masyarakat masih permisif, mereka tidak merasa terganggu atau keberatan oleh suara ledakan. Bahkan, mereka justru senang dengan pesta petasan.
Bos petasan sendiri, kata Dwi, tidak selalu orang dengan kemampuan ekonomi mumpuni. Namun, ada juga yang kondisinya ekonominya pas-pasan, seperti pedagang sayur dan tukang batu. Mereka telah menabung sejak jauh hari untuk membeli petasan saat menjelang waktu spesial tiba.
Dwi, yang juga seorang sejarawan, mengatakan, petasan sudah dikenal masyarakat Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Sangat mungkin benda ini masuk ke Nusantara akibat pengaruh budaya China pada abad ke-16. Tradisi petasan di China sangat kuat dan usianya sudah sangat lama.
”Kita tidak mendapati jejak kapan petasan masuk ke Nusantara. Namun, kalau dilihat lebih pada pengaruh China, bukan Eropa ataupun India. Mengapa petasan dibunyikan saat hari raya keagamaan? Boleh jadi tradisi mercon mulai masuk bersamaan dengan pengaruh masuknya Islam yang berasal dari China atau China Muslim,” katanya.
Senada dengan Dwi Cahyono, sosiolog Universitas Brawijaya Malang, Dhanny S Sutopo, saat dihubungi secara terpisah, mengatakan, meski setiap tahun sudah dirazia petasan, masih ada di banyak tempat.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Petugas labfor melakukan olah TKP di rumah yang menjadi sumber ledakan bahan petasan di Desa Karangbendo, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Senin (20/2/2023).
Fenomena ini bisa terjadi karena berangkat dari tradisi generasi pendahulu yang mana di beberapa tempat sulit dihilangkan. ”Petasan menjadi penanda momentum. Tradisi itu masih berlangsung meski sekarang sudah tidak zamannya lagi,” katanya.
Menurut Dhanny, fungsi petasan saat ini lebih ke ekspresi selebrasi bagi masyarakat yang ada di daerah, seperti di Kabupaten Blitar, Trenggalek, Tulungagung, dan Kediri. Kalau di kota, cenderung sudah tidak ada petasan karena masyarakatnya lebih terkontrol.
Petasan menjadi penanda momentum. Tradisi itu masih berlangsung meski sekarang sudah tidak zamannya lagi.
Adapun di sisi lain, Dhanny melihat bahwa pengawasan dengan cara represif melarang petasan tidak gampang dilakukan karena di dalamnya ada unsur tradisi dan ekonomi. Jadi, butuh pendekatan lain yang lebih halus untuk mengalihkan properti budaya yang sudah lama terbangun tersebut.
”Saya lebih suka di kota, misalnya, yang memakai kembang api. Itu kan properti budayanya hanya berkamuflase. Selebrasinya masih ada. Untuk di daerah, perlu dipikirkan bagaimana selebrasinya? Bagaimana ekonominya juga? Jadi harus dipikirkan solusinya (agar fenomena ini bisa berubah),” katanya.