Pemerintah Didesak Menindak Pembongkaran Rumah Bersejarah Soekarno
Pemerintah didesak memproses hukum pihak yang bertanggung jawab atas pembongkaran cagar budaya Rumah Ema Idham yang menyimpan sejarah Soekarno di Kota Padang, Sumatera Barat, agar tidak jadi preseden buruk.
Oleh
YOLA SASTRA
·6 menit baca
PADANG, KOMPAS — Pemerintah didesak memproses hukum pihak yang bertanggung jawab atas pembongkaran cagar budaya Rumah Ema Idham yang menyimpan sejarah Soekarno di Kota Padang, Sumatera Barat. Adapun Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang mengambil jalan tengah karena pemilik aset bersedia membangun replika rumah tersebut.
Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumatera Barat Pandu Putra Utama, Senin (20/2/2023), mengatakan, Aliansi Anak Ideologis Bung Karno mendesak proses hukum terhadap pihak yang bertanggung jawab atas penghancuran cagar budaya rumah bersejarah Soekarno itu.
”Kami akan terus mengawal sampai pertanggungjawaban hukum itu dituntaskan seperti keinginan Menteri (Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) Nadiem Makarim,” kata Pandu, di sela-sela aksi yang digelar Aliansi Anak Ideologis Bung Karno di depan puing-puing cagar budaya Rumah Ema Idham. Rumah itu dirobohkan pemiliknya sekitar sebulan lalu.
Aksi unjuk rasa di Jalan Ahmad Yani Nomor 12, seberang rumah dinas Wali Kota Padang, itu diikuti puluhan pemuda yang menamakan diri sebagai Aliansi Anak Ideologis Bung Karno. Aliansi tersebut terdiri dari anggota GMNI Sumbar dan pemerhati sejarah.
Dalam kesempatan itu, aliansi menyatakan kecewa terhadap Pemkot Padang dan jajaran yang dinilai buta sejarah. Mereka tidak peduli atas bangunan bersejarah sehingga rumah yang menyimpan sejarah Soekarno selama di Kota Padang dibiarkan dihancurkan persis di hadapan rumah wali kota.
”Kalau ditempuh jalur hukum, pastinya harus ada yang dipenjara atas kelalaian dan ketidakpedulian ini atas penghancuran nilai-nilai sejarah yang juga diatur undang-undang. Pemkot dan jajaran merupakan yang paling bertanggung jawab,” ujar Pandu.
Adapun terkait pembangunan ulang atau replika Rumah Ema Idham, kata Pandu, bukan solusi, justru merupakan pengkhianatan terhadap hukum. ”Saya yakin Disdikbud Padang tidak paham apa isi dari rumah itu. Jadi apa yang akan dibangun ulang? Apa yang diharapkan dari replika itu. Nilai-nilai sejarahnya akan hilang, tidak ada substansi,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Widodo Ekatjahjana, Senin, menyatakan sangat prihatin atas penghancuran rumah bersejarah Soekarno itu. Jika tidak ada tindakan hukum, akan jadi preseden buruk bagi perlindungan cagar budaya lainnya yang ditetapkan pemerintah.
”BPHN sangat mendukung langkah-langkah yang dilakukan Mendikbudristek Nadiem Makarim. Kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat kita memang masih menjadi pekerjaan besar kita semua. Termasuk kesadaran untuk turut menjaga dan melindungi keberadaan cagar budaya kita,” kata Widodo, dalam siaran pers, Senin.
Widodo berharap pemerintah kota dan aparat penegak hukum setempat juga harus segera mengambil langkah-langkah hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ”Jika ini merupakan perbuatan melanggar hukum, ya harus diproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujarnya.
Rumah Ema Idham yang didirikan tahun 1930 ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Surat Keputusan (SK) Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Padang Nomor 3 Tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 tentang Penetapan Bangunan Cagar Budaya dan Kawasan Bersejarah di Kotamadya Padang.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar yang sekarang dilebur menjadi BPK Wilayah III Sumbar pernah membuat nomor inventaris hasil pendataan dengan nomor 33/BCB-TB/A/01/2007 terhadap cagar budaya yang terletak di Jalan Ahmad Yani Nomor 12, Kelurahan Padang Pasir, Kecamatan Padang Barat.
Rumah itu pernah digunakan Bung Karno sebagai rumah tinggal sementara selama tiga bulan sekitar tahun 1942. Saat itu, Bung Karno dalam perjalanan dari Bengkulu akan dibuang ke luar Indonesia oleh sekutu Belanda. Selama tinggal di rumah tersebut, sosok yang belakangan menjadi Presiden pertama Republik Indonesia itu menggunakan waktu untuk menghimpun kekuatan melawan penjajah.
Sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Makarim menyatakan, Kemendikbudristek telah dan akan terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat untuk mencari solusi terbaik. ”Kami tengah mempertimbangkan langkah hukum serta berkoordinasi dengan pihak terkait lainnya,” ujar Nadiem dalam siaran pers, Kamis (16/2/2023).
Nadiem mengatakan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya jelas mengamanatkan bahwa pemilik atau pihak yang menguasai sebuah bangunan cagar budaya bertanggung jawab akan kelestariannya. Sesuai dengan UU tersebut, cagar budaya ini merupakan tugas dan wewenang pemerintah kabupaten/kota.
Berdasarkan UU itu, tindakan membongkar Rumah Ema Idham tersebut melawan hukum. Pada Pasal 105 UU No 11/2010 disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja merusak cagar budaya dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 15 tahun.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Padang Yopi Krislova, Senin, mengatakan, pihaknya tidak melakukan proses hukum terhadap pemilik aset yang melakukan pembongkaran.
Hal itu melihat itikad baik pemilik aset yang berkomitmen membangun replika rumah tersebut lengkap dengan informasi sejarah keberadaan Soekarno di rumah itu. Selain itu, pemilik belum tentu tahu rumah yang dibongkar itu merupakan cagar budaya karena sudah tiga kali berganti kepemilikan.
”Kami tentu mendukung agar rumah itu dibangun kembali sama seperti aslinya dan dibuat (informasi) sejarahnya. Jadi, bisa memberi pembelajaran bagi warga. Selama ini hanya ada rumah (Ema Idham), tidak pernah masyarakat bisa melihat ke dalam rumah Soekarno ini,” kata Yopi.
Membangun ulang rumah bersejarah, kata Yopi, bukan hal baru. Ia menyamakan dengan rumah Bung Hatta di Bukittinggi dan rumah pengasingan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok yang merupakan hasil pembangunan ulang.
”Jadi, tetap (rumah Ema Idham ini) dibangun dengan bentuk aslinya. Kalau dibawa ke proses hukum, tentu akan seperti itu (puing-puing) saja tanah itu tinggal. Jangan sedikit-sedikit hukum. Kecuali, cagar budaya pemerintah dirobohkan orang, baru kami lakukan proses hukum,” ujarnya.
Menurut Yopi, sikap itu merupakan jalan tengah dan diambil atas sepengetahuan sejumlah pihak. Pemkot Padang, katanya, sudah bertemu dengan perwakilan Kemendikbudristek dan Balai BPK Wilayah III Sumbar.
”Pernah enggak kita beri kompensasi ke pemiliknya? Kita tetapkan rumah orang sebagai cagar budaya, diperbaiki orang, tapi tidak pernah kita beri insentif dan keringanan pajak. UU Nomor 11 terbit tahun 2010, peraturan pemerintah (PP)-nya baru keluar tahun 2022, berapa tahun itu? Maka kami sedang menyusun perwako-nya (peraturan wali kota). Dibunyikan di perwako, pemilik cagar budaya diberikan insentif,” ujarnya.
Yopi menambahkan, untuk mencegah kejadian serupa, Disdikbud Kota Padang mulai mendata kembali bangunan cagar budaya. Saat pertama ditetapkan tahun 1998, jumlah cagar budaya di Kota Padang ada 74 unit. Namun, pascagempa 2009, jumlahnya berkurang. Cagar budaya yang kondisinya baik saat ini sekitar 50 unit.
”SK tahun 1998 itu akan kami revisi. Kami akan bekerja sama dengan BPK Wilayah III dan juga dengan provinsi, (akan mendata) mana-mana bangunan (cagar budaya) yang ada di Kota Padang nanti akan kami beri plang atau kami sosialisasikan kepada masyarakat bahwa itu bagian dari cagar budaya,” kata Yopi.