Penetapan Tersangka Pencabulan Dua Bocah Bersaudara di Baubau Dipertanyakan
Kepolisian Resor Baubau menetapkan tersangka pencabulan dua bocah bersaudara adalah kakak tertua para korban. Penetapan itu dianggap ganjil karena korban konsisten menyebut nama lain dan bukan nama sang kakak.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
BAUBAU, KOMPAS — Sejumlah pihak mempertanyakan penetapan tersangka pencabulan dua bocah bersaudara di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, yang dilakukan Kepolisian Resor Baubau. Proses penetapan tersangka AL (19) yang merupakan kakak tertua korban dianggap ganjil karena korban konsisten menyebut nama lain. Adapun tersangka juga mengaku mendapat tekanan dalam pemeriksaan polisi.
Kuasa hukum AL, Sutri Mansyah, menjelaskan, pihaknya telah bertemu beberapa kali dengan tersangka yang ditahan di Polres Baubau. Akan tetapi, AL mengaku bingung sampai ditetapkan sebagai tersangka pencabulan dua adiknya sejak Januari lalu.
”Dalam keterangan AL kepada kami, ia mengaku tidak pernah melakukan perbuatan bejat tersebut. Bahkan, pada hari pencabulan yang disangkakakn polisi, AL ini sedang berada di pasar bersama ibunya berjualan dari pagi sampai sore hari. Dan itu ada saksinya,” terang Sutri, dihubungi dari Kendari, Sabtu (18/2/2023).
Dalam pemeriksaan di Polres Baubau sebelumnya, ia melanjutkan, AL memang mengakui perbuatan bejat tersebut di depan penyidik. Namun, pengakuan itu dilakukan karena ia mendapat bujukan hingga tekanan dari para penyidik. Merasa takut, ia akhirnya mengakui melakukan pencabulan tersebut. Dalam pemeriksaan saat itu, ia tidak didampingi oleh pengacara.
Hal lain yang sangat ganjil, tambah Sutri, karena kedua korban tidak pernah menyebut nama AL sebagai pelaku. Namun, korban menyebut beberapa nama orang lain yang sampai saat ini masih bebas berkeliaran.
”Berarti proses penersangkaan itu subyektivitas penyidik, tidak berdasarkan keterangan korban. Ini yang membuat kami curiga bahwa proses penersangkaan ini adalah rekayasa. Kami akan melakukan pra-peradilan dalam waktu dekat dan melaporkan kejadian ke depannya,” kata Sutri.
Ia juga mengeluhkan kepolisian yang terkesan tertutup. Sebagai pengacara pelaku, pihaknya juga belum mendapatkan surat penetapan tersangka kliennya meski telah beberapa kali meminta.
Hal yang sama disampaikan pihak korban. Safrin Salam, kuasa hukum kedua korban, membenarkan bahwa kliennya tersebut tidak pernah menyebut nama kakak mereka sebagai pelaku. Kedua korban konsisten menunjuk beberapa orang, yaitu pekerja bangunan termasuk kontraktor perumahan tempat mereka tinggal.
Menurut Safrin, ia telah berulang kali memastikan hal ini kepada para korban dan jawaban mereka selalu sama. Bahkan, dalam keterangan sebelumnya, korban juga tidak pernah menyebut nama sang kakak sebagai pelaku pencabulan.
”Ini mengindikasikan ada upaya bermain-main dari aparat, tidak profesional, dan terkesan melindungi pelaku utama, malah mengkriminalisasi orang lain. Kami akan melaporkan kejadian ini ke Polda Sultra ke depannya,” ucapnya.
Dalam pemeriksaan sebelumnya, ia menyampaikan, para korban juga tidak mendapatkan bantuan pendampingan psikolog klinis. Padahal, dalam aturan sistem peradilan anak hingga Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dijelaskan bahwa anak harus mendapatkan pendampingan psikolog klinis. Oleh karena itu, dalam pemeriksaan kasus pencabulan, sebelumnya harus ada rekomendasi dari psikolog.
”Dan yang paling parah, karena keluarga korban ini mendapat ancaman dari para terduga pelaku, mereka akhirnya pindah dari rumah mereka sementara karena takut dengan ancaman yang ada. Mereka tidak mendapatkan perlindungan sama sekali,” katanya.
Sebelumnya, dua bocah kakak beradik di Baubau diduga kuat mengalami pelecehan seksual. Keduanya dilecehkan saat ibu mereka berjualan di pasar.
Kasus kekerasan seksual terhadap dua kakak beradik ini diketahui sang ibu sejak akhir tahun lalu. Saat itu ia melihat anak bungsunya yang berumur empat tahun kesakitan saat buang air kecil.
”Saya pertama kali tahu itu Selasa (28/12/2022) malam. Waktu itu saya baru pulang dari pasar berjualan sayur. Si bungsu bilang kemaluannya sakit. Dan, pas saya periksa, memang kondisinya tidak keruan,” tutur Sarin (41), sang ibu, dihubungi dari Kendari, Selasa akhir Januari lalu. Ia memang berjualan di pasar untuk menghidupi lima anaknya. Sang suami telah meninggal dua tahun lalu.
Dua malam setelahnya, ia melihat anak keempatnya yang berumur sembilan tahun juga kesulitan saat buang air kecil. Saat ia periksa, kemaluan sang anak juga rusak.
Sabtu (31/12/2022), ia melaporkan kejadian ini ke Polsek Murhum. Setelah dimintai keterangan, lalu diarahkan ke Polres Baubau. Sebelumnya, ia menelepon pemilik kompleks tempat ia menetap untuk menceritakan kejadian tersebut.
Setelah diperiksa di Polres Baubau, sang anak diarahkan untuk melakukan visum. Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan ada robekan pada kemaluan sang anak. Setelah melaporkan kejadian itu, ia tidak tinggal diam. Saat melihat pekerja bangunan di lokasi kejadian, ia memotret dengan ponsel miliknya. Foto tersebut ia tunjukkan kepada sang anak, yang kemudian menunjuk beberapa orang di antaranya.
Tidak hanya itu, sang anak yang berumur sembilan tahun juga menunjuk tetangganya yang masih ada ikatan keluarga dengan kontraktor perumahan tersebut.
Kepala Polres Baubau Ajun Komisaris Besar Bungin Masokan Misalayuk yang dihubungi berulang kali belum menjawab panggilan. Sebelumnya, ia mengungkapkan bahwa telah ada tersangka dalam kasus ini, yaitu kakak korban, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut alat bukti yang dimiliki.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Baubau Ajun Komisaris Najamuddin juga tidak mengangkat telepon dan tidak menjawab pertanyaan yang dikirimkan melalui pesan pendek.
Retno Listyarti, pemerhati anak dan pendidikan, mengungkapkan, dalam proses penyelidikan, polisi harus berlandaskan pada sistem peradilan anak. Sebelum diperiksa, anak harus mendapatkan pendampingan oleh psikolog klinis atau pekerja sosial jika di daerah tidak ada ahli yang dimaksud.
Selama proses pendampingan, anak tersebut juga harus dilindungi, seperti ditempatkan di rumah aman, agar jauh dari ancaman. Setelah dinyatakan siap oleh psikolog atau pendamping, baru anak tersebut dimintai keterangan.
Sekali lagi, anak harus dalam perlindungan.
”Kalau ini tidak dilakukan, maka bisa diduga prosesnya itu cacat. Dan sekali lagi, anak harus dalam perlindungan,” kata mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia 2017-2022 ini.
Terkait dugaan kriminalisasi, Retno mengatakan, polisi menetapkan seseorang sebagai tersangka berdasarkan minimal dua alat bukti. Dalam kasus kekerasan seksual, keterangan korban merupakan alat bukti utama yang harus ditindaklanjuti.
”Jadi, sangat aneh jika keterangan korban tidak menyebut nama kakaknya, tapi malah oleh polisi ditetapkan sebagai tersangka. Jika korban menyebut nama sejumlah pelaku, itu yang harus ditelusuri oleh polisi, bukan sebaliknya,” ucapnya. Ia berharap polisi serius dalam menangani persoalan kekerasan seksual anak dan betul-betul melindungi anak sebagai korban.