Tuberkulosis di Kendari Melambung, Puluhan Pasien Meninggal
Penyakit tuberkulosis masih menjadi pekerjaan besar di Kendari, Sulawesi Tenggara. Selama tiga tahun terakhir, angka kasus terus melonjak dengan jumlah korban meninggal yang terus bertambah.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Penyakit tuberkulosis masih menjadi pekerjaan besar di Kendari, Sulawesi Tenggara. Selama tiga tahun terakhir, angka penyakit menular ini terus melonjak dengan jumlah korban meninggal mencapai puluhan orang. Dibutuhkan upaya maksimal agar penyakit ini bisa diminimalisasi sekaligus mencegah bertambahnya kematian.
Data Dinas Kesehatan Kendari, jumlah kasus tuberkulosis (TBC) di Kendari sebanyak 1.181 kasus pada 2022. Dari jumlah itu, 25 orang meninggal. Jumlah ini meningkat dari 806 kasus pada 2021 dengan jumlah kematian 10 orang.
Bahkan, jika dibandingkan pada 2020 sebanyak 476 kasus, jumlah kasus pada 2022 meningkat hampir tiga kali lipat. Sementara itu, jumlah kasus meninggal pada 2020 sebanyak 19 orang.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kendari Ellfi menyampaikan, secara jumlah kasus memang terjadi peningkatan selama beberapa tahun terakhir. Peningkatan ini dipengaruhi sejumlah hal, di antaranya pencatatan yang maksimal hingga kasus yang memang terus bertambah.
”Secara jumlah memang terus bertambah. Tapi, yang utama, karena sistem pencatatan kami juga lebih baik sehingga temuan di lapangan juga semakin banyak. Belum lagi saat pandemi, orang takut memeriksakan kesehatan,” kata Ellfi, di Kendari, Kamis (16/2/2023).
Saat ini, ia melanjutkan, pemantauan dilakukan secara kontinu di setiap fasilitas kesehatan, baik rumah sakit maupun puskesmas. Sebelumnya, pemantauan kasus hanya dilakukan di puskesmas.
Kader juga disiapkan di tiap puskesmas untuk melakukan pemantauan berkala. Para kader ini tidak hanya bertugas memantau, tetapi juga memonitor pengobatan pasien. Sebab, pengobatan tuberkulosis berlangsung minimal enam bulan hingga dua tahun untuk kasus yang telah resistan.
Pemantauan terhadap kontak erat pasien juga terus dilakukan. Anggota keluarga dekat dan mereka yang tinggal dalam satu rumah diperiksa untuk dimonitor lebih lanjut.
”Karena satu kasus TBC itu berpeluang menular ke 20 orang lainnya. Dan bisa saja orang yang tidak pernah tertular langsung menderita yang tingkat resistan atau parah. Selain itu, kasus ini bisa berujung meninggal dunia jika tidak ditangani,” katanya.
Kepala Dinkes Kendari Rahminingrum menuturkan, salah satu penyebab kasus tuberkulosis sulit ditangani adalah masih adanya keengganan orang untuk berobat. Hal ini terjadi karena berbagai hal, mulai dari faktor malas, menganggap enteng, hingga malu terhadap lingkungan. Belum lagi dengan pengobatan jangka panjang yang membutuhkan kedisiplinan.
Kondisi yang terjadi saat ini, pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang TBC dan hak dari pasien belum tersampaikan dengan baik.
Petugas kerap menemukan pasien yang berhenti berobat setelah beberapa waktu rutin memeriksakan kesehatan. Oleh karena itu, ia menambahkan, pemantauan terus diintensifkan di lapangan. Petugas dan kader terus turun melakukan pemantauan dan monitoring terhadap mereka yang terkonfirmasi tuberkulosis.
”Tuberkulosis memang masuk prioritas kami dan pengobatan sudah lengkap. Jadi, siapa saja yang merasa memiliki ciri TBC segera memeriksakan diri ke puskesmas,” tambahnya.
Manajer Kemitraan dan Pengembangan Stop TB Partnership Indonesia Thea Hutanamon, di Jakarta, Selasa (14/2/2023), mengatakan, berbagai tantangan yang menghambat akses pada layanan kesehatan dan perawatan merupakan aspek penting yang harus diatasi untuk mengakhiri tuberkulosis (TBC) di masyarakat. Tantangan tersebut meliputi, antara lain, stigma, diskriminasi, ketimpangan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
”Kondisi yang terjadi saat ini, pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang TBC dan hak dari pasien belum tersampaikan dengan baik. Itu membuat penanganan TBC tidak berperspektif pada HAM dan jender,” katanya dalam acara media roundtable bertajuk ”TBC: Tulus Berbagi Cinta” yang diadakan oleh Stop Tuberkulosis Partnership Indonesia (Kompas, Selasa 14/2/2023).
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 mencatat ada 10 juta kasus tuberkulosis baru selama setahun. Indonesia menempati posisi kedua kasus tuberkulosis terbanyak di dunia setelah India.
Kementerian Kesehatan mencatat, kasus ini terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Secara berturut-turut dari 2015 sampai 2018, jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan adalah 330.729 kasus, 360.565 kasus, 446.732 kasus, dan 570.289 kasus.