Kekurangan Alat Bantu, Perpustakaan Disabilitas di Kalsel Belum Berfungsi
Gedung perpustakaan disabilitas pertama di Kalimantan Selatan masih harus melengkapi koleksi buku braille dan beberapa alat bantu bagi penyandang disabilitas agar bisa membuka pelayanan. Siapa saja boleh membantu.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Sejak diresmikan pada 24 Mei 2022 oleh Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Syarif Bando, Gedung Layanan Perpustakaan Disabilitas Kalsel di Banjarmasin belum membuka pelayanan kepada pemustaka penyandang disabilitas. Layanan perpustakaan disabilitas pertama di Kalimantan Selatan masih harus melengkapi koleksi buku braille dan beberapa alat bantu bagi penyandang disabilitas.
Pada Kamis (16/2/2023), aktivitas di gedung baru dalam area Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kalsel itu juga masih tampak sepi. Kepala Bidang Pelayanan dan Pembinaan Perpustakaan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kalsel Wildan Akhyar mengatakan, pihaknya masih melakukan berbagai persiapan untuk membuka layanan perpustakaan disabilitas. Salah satunya menggelar sosialisasi dan pelatihan kepada pustakawan dan para penyandang disabilitas.
”Operasional layanan akan dilakukan sesegera mungkin dalam tahun ini karena infrastrukturnya sudah siap. Untuk itu, kami juga harus segera melengkapi koleksi buku braille dan alat bantu khusus,” katanya saat Sosialisasi dan Pelatihan Layanan Perpustakaan Disabilitas di Banjarmasin.
Untuk pengadaan koleksi dan alat bantu khusus itu, pihaknya tidak hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, tetapi juga berharap kontribusi pihak luar.
Alat bantu penglihatan berupa kaca pembesar untuk pengunjung yang mengalami gangguan penglihatan, misalnya, pengadaannya tidak gampang dan harganya juga mahal.
Karena itu, pihak perpustakaan juga mencoba merangkul pihak luar, seperti perbankan dan perusahaan badan usaha milik negara (BUMN), supaya bisa turut berkontribusi dalam memenuhi kelengkapan perpustakaan disabilitas di Kalsel. ”Kami tidak bisa hanya mengandalkan dana APBD, tetapi juga berharap kontribusi dari pihak-pihak luar,” katanya.
Kami tidak bisa hanya mengandalkan dana APBD, tetapi juga berharap kontribusi dari pihak-pihak luar. (Wildan Akhyar)
Pihaknya ingin agar gedung layanan perpustakaan disabilitas yang sudah siap itu bisa digunakan secara maksimal. Pihaknya akan membuka ruang kerja sama dengan sekolah-sekolah luar biasa untuk memaksimalkan layanan tersebut. ”Perpustakaan itu hadir untuk semua kalangan dan semua umur, tak terkecuali untuk anak-anak dan penyandang disabilitas,” ujarnya.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kalsel Nurliani mengatakan, Kalsel telah memiliki Gedung Perpustakaan Disabilitas yang dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh teman-teman disabilitas.
Kehadiran gedung itu merupakan salah satu wujud implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta Peraturan Daerah Provinsi Kalsel Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.
”Penerapan standar pelayanan nasional perpustakaan harus memperhatikan kebutuhan pemustaka yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial, tidak terkecuali teman-teman difabel,” katanya.
Perlu bekal
Menurut Nurliani, para petugas layanan perpustakaan disabilitas Kalsel perlu dibekali dengan sosialisasi dan pelatihan agar memiliki keterampilan dan mampu melayani sebaik mungkin para pemustaka penyandang disabilitas yang berkunjung ke perpustakaan disabilitas.
”Kami berupaya dapat mengakomodasi kebutuhan teman-teman disabilitas,” ujarnya.
Nina Fitrianoor selaku juru bahasa isyarat mengemukakan, masih banyak pustakawan yang tidak memahami apa yang ingin disampaikan pemustaka disabilitas dari kalangan teman tuli. Untuk itu, interaksi pustakawan dengan teman tuli bisa dilakukan dengan bahasa isyarat, bahasa tubuh, gerak bibir, foto, dan gambar.
Koordinator Program Studi Pendidikan Khusus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat Utomo mengatakan, perpustakaan sebagai penyedia layanan informasi memiliki kewajiban untuk memberikan layanan yang setara dan merata kepada semua kalangan, termasuk bagi pemustaka penyandang disabilitas.
”Perlu dibuat akses bagi semua kalangan di perpustakaan. Aksesibilitas itu adalah kemudahan yang diberikan kepada para penyandang disabilitas, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan mereka,” kata Utomo.