Reba, Merajut Kembali Kekuatan Hidup Orang Ngada
Reba bagi masyarakat Ngada sebagai sentral kehidupan. Diselenggarakan setiap tahun, Reba menjadi pesta syukur atas kehidupan yang diperoleh, dan memohon bantuan untuk tahun yang akan datang.
Bagi orang Ngada di Nusa Tenggara Timur, pesta adat Reba merupakan manifestasi relasi dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Tarian dan nyanyian ”O Uwi” menjadi titik sentral Reba.
Ratusan warga larut dalam suasana pesta yang meriah di pelataran Kampung Bokua, Kelurahan Bajawa, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada, Jumat (10/2/2023). Kampung yang sepi itu mendadak ramai dengan ratusan orang yangtumpuh ruah memenuhi pelataran. Peserta pria mengenakan baju merah tua dengan bawahan sarung adat warna hitam bertitik-titik putih. Sementara peserta wanita mengenakan pakaian berwarna hitam-hitam.
Kaum pria menggenggam kelewang dengan panjang sekitar 70 sentimeter (cm). Bagian pangkal bawah kelewang dililit bulu ekor kuda berwarna putih. Kelewang dipegang dengan posisi berdiri tegak. Mereka bergoyang, menari mengikuti irama lagu ”O Uwi” sambil mengentakkan kaki ke tanah. Tiada alat musik yang mengiringi.
Kaum perempuan memegang tongkat dengan ujung atas diikat bulu hewan berwarna putih, menari membentuk lingkaran. Mereka mengikuti irama gerakan tiga anggota tetua adat yang berada di tengah lingkaran. Tarian dan lagu ”O Uwi” dibawakan dalam posisi melingkar atau setengah lingkaran.
Baca juga: Reba Ngada, Pemulihan Hubungan dengan Tuhan Sesama, dan Alam Semesta
”Sui nga muki, muki bha’I moli kutu nga koe, koe ngata wo’ o ,koe kenge nata wo’o sepe, sekabu ngata wo’o latu”. Demikian penggalan syair lagu ”O Uwi”. Lagu ini menceritakan perjalanan ”Sili Ana Wunga” atau Sili anak sulung yang datang dari Jawa, yang mengajarkan cara bercocok tanam ubi kepada masyarakat di Ngada.
Ubi merupakan makanan pokok orang Ngada. Keberadaan ubi mengatasi orang yang kelaparan. Ubi juga awet bertahan di dalam tanah, sampai musim berganti. Babi hutan dan landak yang biasa menjadi hama bagi tanaman warga tidak bisa mengambil makanan yang harus digali dari dalam tanah.
Baca juga: Reba Ngada, Tradisi Menghormati Makanan Tradisional ”Uwi”
”Ini pesta tahun baru orang Ngada. Tanda syukur atas hasil yang diperoleh selama setahun, dan permohonan untuk satu tahun ke depan. Masyarakat sendiri yang menyelenggarakan, secara gotong royong, dipandu para tetua adat dalam kampung,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Ngada Oktovianus Botha.
Pemda tidak ikut campur pada penyelenggaraan Reba. Ini semata-mata pesta adat, tetua adat yang menentukan kapan Reba dan bagaimana diselenggarakan. Persiapan makanan dan minuman adat serta bagaimana menjamu para tamu yang hadir dilakukan secara gotong royong.
Sebelum pandemi Covid-19, Reba selalu menarik kunjungan turis asing. Mereka datang beberapa hari sebelum kegiatan serta mengikuti tata adat Reba dengan mengenakan pakaian adat Ngada, baik perempuan maupun pria. Kini, hampir tidak ada turis asing.
Makna Reba
Reba tak sekadar pesta syukur tahunan, tetapi sekaligus permohonan untuk kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera di tahun itu, dan yang akan datang. Masyarakat memanjatkan doa, memohon hasil panen yang melimpah, jauh dari penyakit dan bencana.
Reba juga pesta persatuan masyarakat Ngada. Orang Ngada, entah di mana pun dia berada, wajib terlibat dalam pesta itu. Ia wajib hadir. Jika berhalangan, pun tetap berperan, dengan bersedekah dalam kegiatan itu.
Penyelenggaraan Reba tahun ini mengusung tema ”Hendaknya keterlibatan kita membawa berkat sepanjang tahun”. Bokua yang menjadi pusat penyelenggaraan Reba tahun ini merupakan salah satu dari tujuh kampung di Kecamatan Bajawa. Ada 200-an keluarga yang di Bokua, sekitar 7 kilometer dari Bajawa.
Baca juga: Reba, Pesan Persatuan Warga Ngada
Pembukaan Reba biasanya di Kampung Tua, Bena, sekitar 25 km selatan Bajawa. Kampung ini menjadi destinasi wisata unggulan Ngada saat ini.
Reba berakhir di kampung tertentu yang disepakati. Puncak setiap Reba dibuka dengan misa kudus Gereja Katolik. Inkulturasi budaya dalam gereja ini disponsori misionaris Katolik pada tahun 1960-an.
Lorens Baghi (62), tetua adat Bajawa, mengatakan, Reba merupakan pemujaan terhadap wujud tertinggi, ”Dewa Zeta Nitu Zale”. Dewa, sumber yang tepat, pemilik kehidupan. ”Zeta” artinya yang di atas, langit tertinggi. ”Nitu Zale” artinya kekuatan di bumi dan di dalam bumi, yang memberi kehidupan bagi manusia. ”Dewa Zeta Nitu Zale” artinya Tuhan Mahakuasa di langit tertinggi, juga hadir di bumi dan di bawah bumi. Bumi menumbuhkan segala sesuatu untuk kesejahteraan manusia.
Baca juga: Di Balik Kopi Arabica Organik Ngada yang Berkibar
Dalam keyakinan orang Ngada, manusia harus menjaga bumi dan segala isinya. Merusak lingkungan hidup sama dengan mencederai ciptaan Tuhan. Jika ada orang yang merusak lingkungan, bakal mendapatkan kutukan berupa gagal panen, kelaparan, dan penyakit. Dewa Zeta Nitu Zale diyakini bakal menghukum dengan bencana alam dan kelaparan.
”Tiga peristiwa penting dalam pesta adat Reba. Kole dekhe, artinya semua anggota keluarga berkumpul. Membahas semua soal dalam keluarga. Kegagalan usaha, kematian, penyakit, bencana, juga terkait hubungan dengan sesama. Jika ada kesalahan, kesempatan itu harus bisa saling memafaahkan dengan lapang dada,” kata Baghi.
Mengambil bagian dalam Reba dalam bentuk menari dan bernyanyi berarti ikut mengambil berkat kegembiraan, kebahagiaan, ketenteraman, dan keselamatan hidup. Oleh karena itu, orang tidak boleh menari dalam keadaan mabuk, atau berperilaku melanggar adat kesopanan. Menari dan bernyanyi dijalankan sebagai ucapan syukur, berkat, dan anugerah untuk hidup di masa depan.
Tahap terakhir adalah Sui Uwi, mengevaluasi semua kegiatan yang telah dilakukan selama Reba berlangsung. Jika ada kekurangan, harus dipenuhi tahunberikutnya. Makanan kurang atau daging kurang, misalnya, dievaluasi mengapa bisa demikian. Apakah karena malas bekerja, ada gangguan hama, atau ada yang tidak mau bersedekah. Atau mungkin juga disebabkan bencana alam, gagal panen, dan lainnya.
Baca juga: Kopi Organik Arabica di Ngada Terancam Alih Fungsi
Evaluasi itu, bagi masyarakat Ngada, sangat penting. Dalam setiap Reba, semua keluarga dari kampung itu menyediakan makanan secukupnya untuk semua anggota keluarga dan tamu undangan. Tiap-tiap keluarga juga menyediakan pakaian adat bagi tamu yang hendak mengenakan pada puncak Reba.
Tamu pun dijamu makan bersama masyarakat adat. Ini simbol mencintai sesama dan lingkungan. Tamu harus diperlakukan sebagai orang terhormat. Kedatangan tamu dalam pesta Reba diyakini membawa rezeki di tahun depan.
Untuk itu, setiap keluarga wajib menyediakan makanan yang cukup. Minimal satu keluarga menyiapkan empat ekor ayam jantan bagi warga yang kurang mampu. Mereka yang memiliki rezeki berlebih bisa menyiapkan hewan besar terutama babi. Ternak babi yang akan disajikan dalam Reba wajib disembelih dan darahnya diteteskan di setiap batu menhir yang di kampung itu.
”Jika di kampung itu ada 200 keluarga, ada800 ekor ayam jantan dengan bobot (tiap ekornya) lebih dari 2 kg yang disembelih. Kalau zaman dulu, makanan yang disiapkan hanya ubi, tetapi dalam perkembangannya disiapkan nasi, pisang, dan makanan lain yang dikonsumsi sehari-hari,” kata Bhagi.
Baca juga: Bambu Penopang Ekonomi ”Mama-mama” di Flores
Dalam Reba ada ritual melindungi diri dari roh jahat dan gangguan musuh. Ketua adat atau orang tertentu dalam kampung itu membacakan mantra, yang disebut ”ka maki loka” dan ”sui”. ”Ka maki loka” artinya sesajian diberikan kepada leluhur di dalam wadah yang diletakkan di luar rumah atau di pinggir kampung. Orang itu memberi sesajian sambil membacakan mantra adat dalam bahasa daerah Bajawa.
Sementara ”sui” artinya sesajian dan mantra adat yang disampaikan dan didaraskan di dalam rumah. Kebanyakan setiap keluarga ada anggotanya yang mampu membawakan ”sui” ini, sebagai bagian dari ritual perlindungan terhadap musuh, roh jahat, penyakit, dan gangguan pihak lain yang ingin menggagalkan setiap usaha dalam keluarga.
Pandemi yang melandai menjadi momentum untuk terus melestarikan tradisi Reba yang diwariskan secara turun-temurun. Lebih dari itu, Reba kali ini bak merajut kembali daya hidup masyarakat Ngada.
Baca juga: Makna Upacara Reba Masyarakat Ngada