Pengetahuan Astronomi Suku Sasak di Semarak Bau Nyale
Tradisi Bau Nyale yang digelar setiap tahun sebenarnya tidak hanya soal legenda putri yang menjelma menjadi cacing laut. Lebih dari itu, Nyale adalah pengetahuan masyarakat Sasak tentang astronomi.
Setiap tahun, masyarakat Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, mengikuti tradisi Bau Nyale atau menangkap Nyale di Kuta, Pujut, Lombok Tengah. Tradisi yang dipertahankan secara turun-temurun ini tidak hanya tentang legenda Putri Mandalika yang menjelma sebagai cacing laut, tetapi juga pengetahuan astronomi suku Sasak.
Waktu menunjukkan pukul 04.00 Wita saat iring-iringan kendaraan warga melintasi Jalan Mandalika Resort Pantai Putri Nyale, Kuta, Pujut, Lombok, Jumat (10/2/2023). Mereka akan menuju kawasan Pantai Seger yang terletak di sisi tenggara Sirkuit Internasional Jalan Raya Pertamina Mandalika.
Lihat juga: Semangat Pengorbanan Putri Mandalika dan Gemerlap Pembangunan Mandalika
Ada yang menggunakan sepeda motor, pikap, truk, dan bus. Pagi itu benar-benar riuh. Saat deru kendaraan bercampur suara klakson sahut-menyahut.
Para penumpang yang datang dari berbagai wilayah di Lombok itu terlihat bersemangat dan tak sabar untuk segera tiba di Pantai Seger. Mereka datang membawa berbagai peralatan, mulai dari lampu senter atau lampu kepala, ember, serok ikan, hingga ember kecil.
Begitu sampai, mereka langsung turun dari kendaraan. Setelah itu bersiap-siap. Tak berapa lama, mereka bergegas ke pantai yang berada sekitar 17 kilometer selatan Bandara Internasional Lombok itu. Mereka yang baru datang lalu berbaur bersama puluhan ribu orang lainnya. Dari pantai hanya terlihat siluet tubuh mereka saat diterpa cahaya lampu.
Sesekali terdengar teriakan warga. Mereka menyebut berbagai kalimat dalam bahasa Sasak atau bahasa suku asli Lombok. Kalimat itu dari yang terdengar wajar hingga cenderung ”jorok”. Cara itu dipercaya bisa memancing nyale (cacing laut) keluar.
Baca juga: Mandalika Bangun Peradaban
Benar saja, saat mengarahkan lampu ke air laut yang dangkal, nyale yang berupa cacing warna-warni muncul. Bergerak dengan cepat. Warga segera menangkapnya dengan serok ikan atau tangan. Lalu memasukkannya ke ember.
Bagi yang baru pertama kali melihat nyale, pasti akan merasa jijik. Tetapi, bagi masyarakat Sasak, itu hal yang biasa. Bahkan, ada yang menyantapnya begitu ditangkap. ”Katanya, kalau dimakan langsung, dipercaya nyale ini bisa mengobati asma,” kata Renah (29), warga Kuta, Pujut, seusai menelan nyale berukuran sekitar 10 sentimeter.
Bagi yang kuat berjalan jauh, mereka bisa menangkap nyale hingga ratusan meter ke tengah. Itu juga memungkinkan mereka bisa mendapat banyak nyale. Bahkan, tidak sedikit yang menggunakan perahu.
Tetapi, bagi yang tidak kuat, cukup di dekat pantai. Hanya saja, nyale yang muncul tidak banyak. ”Tidak masalah. Paling penting bisa ikut datang ke sini dan merasakan suasana menangkap nyale,” kata Pitoni (45), asal Pringgarata, Lombok Tengah.
Baca juga: Ekonomi (Musiman) Mandalika
Banyaknya nyale yang ditangkap berbeda-beda. Ada yang hanya beberapa ekor, tetapi ada yang hingga satu bak plastik. Junaidi (40), warga Batujai, Lombok Tengah, yang setiap tahun datang ke Seger, pagi itu mendapat satu karung kecil berukuran 10 kilogram.
Menjelang matahari terbit, warga berangsur-angsur menepi. Lalu saat air laut pasang, mereka meninggalkan kawasan Seger. Nyale yang mereka tangkap selanjutnya dibawa pulang, baik untuk dikonsumsi sendiri sebagai lauk maupun menjualnya.
Astronomi Sasak
Tradisi menangkap nyale di Lombok berlangsung setiap tahun. Belakangan, menjadi salah satu kegiatan dalam kalendar pariwisata NTB lewat Festival Bau (Menangkap) Nyale.
Nyale dikaitkan dengan legenda Putri Mandalika, seorang putri cantik di wilayah Selatan Lombok. Mandalika menjadi rebutan para pangeran dari berbagai kerajaan di Pulau Lombok.
Baca juga: Langkah Besar Mandalika
Khawatir terjadi pertumpahan darah, Mandalika memilih mengorbankan diri dengan terjun ke laut. Ia berjanji akan kembali setiap tahun.
Nyale yang muncul kemudian dipercaya sebagai jelmaan atau pemenuhan janji Putri Mandalika. Masyarakat Sasak kemudian beramai-ramai menyambut janji tersebut dengan menangkap nyale.
Dosen dan Peneliti Kajian Budaya Universitas Pendidikan Mandalika, Lalu Ari Irawan, mengatakan, nyale merupakan cerita yang dirayakan masyarakat Sasak, khususnya di Pujut.
Ari mengatakan, mitologi Putri Mandalika dipercaya sebagai kebenaran spiritual yang menjadi keyakinan kolektif masyarakat pengusungnya. Kisahnya diceritakan secara lisan dari generasi ke generasi.
Baca juga: Sampah Mandalika Mulai Dikelola lewat Skema Bank Sampah
Para seniman kemudian memvisualkannya dalam pementasan drama. Meskipun baru, pementasan drama mulai diterima masyarakat sebagai bagian dari tradisi Bau Nyale. Di puncak Festival Mandalika, drama Putri Mandalika menjadi salah satu yang sangat ditunggu masyarakat Sasak yang datang ke Kuta.
Menurut Ari, Putri Mandalika sebenarnya tidak hanya soal drama, tetapi lebih dari itu. Tradisi Nyale justru menunjukkan bahwa masyarakat Sasak sudah mengenal ilmu astronomi atau mempunyai pengetahuan tentang sistem pembagian waktu, kemampuan membaca fenomena alam yang dijadikan landasan bercocok tanam.
”Masyarakat Sasak melihat, kalau nyale yang ditangkap banyak, mereka berharap hasil panen akan banyak atau baik di musim hujan nanti,” kata Ari.
Sayangnya, hal itu tidak banyak ditulis atau dikembangkan sebagai pengetahuan bagi masyarakat. Seolah-olah itu hilang. ”Karena itu, bagian dramanya saja yang dikenal dari cerita Mandalika,” kata Ari.
Lihat juga: Selesai MotoGP Sirkuit Mandalika Jadi Lokasi Wisata Baru di Lombok
Menurut Ari, dalam sebuah cerita rakyat masyarakat Sasak, Sang Putri akan muncul kembali setiap tanggal 20 bulan 10 (penanggalan Sasak). Ada yang memahami kembalinya Putri Mandalika dalam bentuk nyale (cacing laut), ada pula yang menyatakan sebagai bintang rowot.
Ari menjelaskan, di Lombok dikenal Kalender Rowot Sasak berdasarkan SistemRowot. Sistem Rowot menggunakan rasi bintang Rowot (Pleiades) dan Tenggale (Orion). Rasi-rasi itu memiliki peran penting dalam menentukan masa tahun.
”Kalau pakai acuan Masehi, Bau Nyale akan jatuh pada Februari atau bergeser ke Maret. Itu konsisten dengan sistem Rowot di masyarakat Sasak,” kata Ari.
Menurut Ari, penentuan awal tahun di masyarakat Pujut disebut Ngadang Rowot atau penanda masuknya musim kemarau yang biasanya terjadi pada Mei.
Baca juga: Strategi Pengembangan Pariwisata Lombok
”Tahun baru atau kemarau baru terjadi pada Mei. Pada bulan itu, rasi bintang Rowot kembali ke titik edar pertamanya. Sejak Mei, masyarakat kemudian menghitung sepuluh bulan ke depan, kapan munculnya nyale,” kata Ari.
Sejumlah fenomena alam terjadi sebelum, saat, dan sesudah nyale ditangkap. Ari mencontohkan, sebelum nyale, muncul jamur, juga air pasang di lokasi tertentu. Hujan itu dianggap sebagai hujan penyongsong nyale.
Selanjutnya, proses keluarnya nyale juga selalu diiringi hujan rintik-rintik. Kemudian, setelah nyale ditangkap, kembali turun hujan lagi selama berhari-hari sebagai pengantar nyale.
Kondisi cuaca itu kemudian akan berhenti sebagai tanda masuk musim peralihan antara musim hujan yang di masyarakat Sasak dikenal dengan istilah ketaun dan musim kemarau atau kebalit.
Baca juga: Mandalika yang Membangun Citra
Nyale biasanya keluar dalam periode 24 hari. Bisa dua kali di awal dan akhir musim (musim Bau Nyale), tetapi bisa juga sekali. Adapun Festival Bau Nyale diselenggarakan pada awal musim.
Menjaga Mandalika
Sejalan dengan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Festival Bau Nyale diharapkan bisa menjadi salah satu daya tarik wisata. Pada setiap penyelenggaran Bau Nyale, selain masyarakat Sasak, wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri juga tidak mau ketinggalan ambil bagian.
Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Vinsensius Jemadu mengatakan, tren wisata adalah mencari keunikan sehingga harus terus diperbanyak.
”Kegiatan budaya, seperti Bau Nyale, bisa mendatangkan wisatawan lebih banyak lagi,” kata Vincentius saat puncak Festival Bau Nyale, Jumat malam.
KEK Mandalika belakangan semakin populer. Apalagi, hadirnya Sirkuit Internasional Jalan Raya Pertamina Mandalika yang menjadi lokasi penyelenggaraan kejuaran dunia balap motor seperti MotoGP dan Superbike.
Tentu penyelenggaraan berbagai pergelaran pariwisata tidak bisa dipisahkan dari kesadaran bersama untuk menjaga lingkungan di Mandalika. Menurut Ari, nyale tidak akan muncul, misalnya, jika air laut sudah tercemar.
”Spirit nyale adalah menjaga kelestarian Mandalika dan sepanjang pesisir pantai selatan. Kalau tidak, Mandalika akan tinggal cerita dan nyale tidak akan pernah keluar lagi,” kata Ari.