Doa dari Santri Cirebon untuk Penyintas Gempa Turki
Selain gempa susulan yang masih terjadi, dingin salju juga memperburuk kondisi penyintas yang terpaksa harus tinggal di tenda pengungsian.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Surah Al Fatihah menggema dari sebuah kelas di Pondok Pesantren As-Salafiyah, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kamis (9/2/2023). Doa dari santri itu dilayangkan untuk korban gempa di Turki. Gempa yang menelan belasan ribu korban jiwa itu juga mengguncang warga Tanah Air.
”Saudara-saudara kita di Turki sedang dilanda gempa. Sudah ribuan jiwa meninggal, termasuk warga negara kita, Indonesia. Mari kita berdoa,” ujar Ahmad Sholeh Mukhsin, Kepala SMP Islam Terpadu Al-Burhany, memimpin doa. Para santri pun menunduk sembari bermunajat.
Bagi santri, gempa di Turki terasa dekat. Bukan hanya karena korbannya sesama manusia, melainkan juga warga negara Indonesia. Bahkan, anak pengasuh Ponpes As-Salafiyah KH Badruddin Hambali, Robiah Bah (21), yang sedang kuliah di Turki pun ikut terdampak gempa.
Robiah berangkat ke Turki tiga tahun lalu untuk menempuh pendidikan di sebuah kampus di wilayah Kaysery. Selama itu, ia belum pernah pulang dan hanya berkomunikasi via telepon pintar dengan keluarga. Namun, gempa bermagnitudo 7,7 melanda Turki, Senin (6/2/2023).
”Saya baru tahu kabar itu dari media sosial. Saya lihat gedung di Suriah saja ambruk. Apalagi, yang pusatnya di Turki. Saya langsung telepon anak pukul 11.00 waktu sini, tetapi tidak diangkat,” ujar KH Badruddin. Lebih dari lima kali ia menelepon, tetapi tidak ada respons.
Setelah tiga jam tak diangkat, akhirnya telepon Badruddin terjawab. ”Dibilang, boro-boro angkat telepon, sekarang saja lagi sibuk evakuasi. Saya lihat anak itu sepertinya tegar. Jadi, saya enggak banyak tanya dan menunggu info saja,” ungkapnya tersenyum sambil mengelus dada.
Mahasiswa semester V jurusan sejarah itu tinggal di lantai tiga sebuah apartemen di Kaysery. Berjarak sekitar 250 kilometer dari salah satu pusat gempa di Gaziantep, guncangan itu tetap terasa dan membangunkan tidurnya pukul 04.00 waktu setempat. Ia pun bergegas keluar gedung.
Saking besarnya guncangannya, laman resmi Badan Penanggulangan Bencana Nasional Turki (AFAD), hingga Kamis, mencatat jumlah korban tewas di 10 provinsi terdampak gempa sudah mencapai 12.391 jiwa. Seorang WNI asal Bali dan anaknya dilaporkan tewas (Kompas, 9/2/2023).
Katanya, tidur saja susah. Bahkan, dia sempat shalat sambil duduk di kursi. Dia dan teman-temannya pun mencari tempat. Mereka sempat ke masjid lalu ke rumah temannya.
Badruddin bersyukur anaknya dan sekitar 270 mahasiswa asal Indonesia di Kaysery selamat. Namun, kekhawatirannya belum lenyap. Selain gempa susulan yang masih terjadi, dingin salju juga memperburuk kondisi penyintas. Sementara, mereka harus tinggal di tenda pengungsian.
”Anak sampai bilang, lebih baik siang saja. Jangan ada malam. Karena, salju dingin sekali di malam hari,” ujarnya menirukan ungkapan sang anak. Badruddin tak tahu berapa suhunya. Namun, ia mendapat kiriman foto kaki Robiah yang menempel di alat pemanas ruangan.
Tidak hanya itu, Robiah juga mengeluhkan tenda pengungsian yang cukup padat penyintas. ”Katanya, tidur saja susah. Bahkan, dia sempat shalat sambil duduk di kursi. Dia dan teman-temannya pun mencari tempat. Mereka sempat ke masjid lalu ke rumah temannya,” ujarnya.
Tiga hari pascagempa, katanya, Robiah dalam kondisi fit. Namun, ia masih trauma dan sulit tertidur karena khawatir gempa susulan. Ketika Badruddin menelepon pukul 03.00 waktu Turki, anaknya masih terjaga. Hampir setiap jam, ia dan keluarga menghubungi telepon Robiah.
”Sejak gempa itu, televisi saya enggak dimatiin 24 jam. Saya bolak-balik saja lihat TV. Yang mau matiin TV, saya marahin,” ujar Badruddin diikuti senyum.
Ia berharap Pemerintah Turki dan Indonesia tetap serius memperhatikan dan memenuhi kebutuhan korban gempa.
Meski waswas, ia tidak ingin Robiah yang kuliah secara mandiri kembali saat ini. ”Nanti aja pulangnya kalau sudah ada ijazah. Saya hanya minta ke anak, ikuti perintah negara. Saya yakin pemerintah juga memperhatikan. Jangan sampai terjadi apa-apa karena inisiatif sendiri,” ujarnya.
Menurut Badruddin, Robiah sejak dulu ingin kuliah di luar negeri, seperti kakak sulungnya yang merupakan lulusan sebuah kampus di Yaman. Anak keempat dari lima bersaudara itu pun memilih Turki. ”Paling tidak kalau kembali, dia bisa membantu mengurus pesantren,” katanya.
Badruddin, keluarga, dan sekitar 500 santri di Ponpes As-Salafiyah terus berharap agar Robiah dan warga terdampak gempa diberikan keselamatan serta ketabahan. Harapan serupa sangat mungkin datang dari keluarga 6.500 WNI yang tinggal di Turki dan 1.577 WNI di Suriah.
Kedutaaan Besar RI mencatat, total WNI yang terdampak gempa ada 500 orang. Sebanyak 10 orang dikabarkan mengalami luka dan telah dievakuasi ke Ankara. Adapun dari Suriah belum ada kabar mengenai WNI yang menjadi korban. KBRI juga mengevakuasi 123 orang ke Ankara.
Dari sebuah pondok pesantren yang berada di antara perumahan dan persawahan, doa dilayangkan kepada korban gempa di Turki nan jauh di sana. Semoga gempa yang memicu ambruknya bangunan itu menjadi pelajaran bagi siapa pun dan di mana pun.