Dalam kebudayaan Dayak, topeng dengan segala macam motifnya, erat kaitannya dengan relasi antarmanusia, serta manusia dan roh-roh nenek moyang.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
Masyarakat Suku Dayak di kampung Loncek, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, masih mewarisi budaya topeng. Meski tak sesering dahulu, tarian topeng masih ditampilkan saat hajatan. Tarian topeng menjadi bagian dari hiburan sekaligus bagian dari ritual tolak bala..
Topeng buta terbuat dari kayu pelaik yang diukir sedemikian rupa. Ia memiliki mata, hidung, mulut, gigi, dan telinga. Wajahnya didominasi warna hitam. Bibir dan matanya merah. Hanya gigi yang berwarna putih.
Topeng Buta disimpan di rumah milik Raimundus Rawas (65). Rawas merupakan pemilik sekaligus pewaris topeng Buta. Topeng buta dibuat oleh ayahnya. Topeng Buta kini sudah berusia lebih dari 50 tahun, dimainkan utamanya saat acara sunatan kampung.
Kisah topeng Buta tidak terlepas dari cerita rakyat setempat. Alkisah, dahulu saat masyarakat melaksanakan hajatan sunatan terdapat gangguan dari setan. Oleh sebab itulah, orangtua Rawas membuat topeng Buta. Topeng Buta memiliki nilai yang sakral.
“Saat menebang pohon untuk membuat topeng Buta, Ayah saya menggunakan ritual adat. Proses pembuatannya juga menggunakan adat tertentu,” ungkap Rawas, Minggu (22/1/2023).
Setelah itu, dalam acara sunatan kampung, topeng Buta dimainkan untuk menghalau setan agar tidak membuat onar dalam suatu acara. Topeng Buta dimainkan di luar rumah karena aspek magisnya yang kuat. Saat topeng Buta ingin dimainkan juga syarat dengan ritual. Demikian juga saat selesai dimainkan.
Setelah topeng Buta dimainkan, barulah topeng-topeng lainnya dimainkan, yaitu topeng Ganye (rusa), topeng Asu’ (anjing), dan topeng Kara’ (kera). Ada juga topeng yang diberi nama topeng Bela’. Topeng-topeng selain topeng Buta cenderung lebih bersifat hiburan.
Topeng Buta dianggap topeng yang memiliki derajat paling tinggi dibanding topeng-topeng lainnya, maka bisa dikatakan raja topeng dari segala jenis topeng di kampung Loncek. Hal itu terutama karena lebih kuat dari karakteristik mistis atau nilai spiritual. Bahkan, Rawas menyebut topeng Buta juga dengan sebutan Si Buta dari Gua Batu. Sebab rupa topeng Buta merepresentasikan hantu yang paling kuat berdiam di Gua Baru.
Laurensius Edi (37), warga Loncek, menuturkan, kisah mengenai topeng Buta berasal dari cerita rakyat. Alkisah, ada hantu yang paling kuat berasal dari Gua Batu di kampung Loncek. Topeng Buta bentuknya representasi dari bentuk hantu yang berada di Gua Batu.
Topeng Buta dianggap topeng yang memiliki derajat paling tinggi dibanding topeng-topeng lainnya
Topeng Buta juga menggambarkan “tokoh” yang baik dan melindungi orang yang sedang melaksanakan acara. Maka dengan memainkan topeng Buta diyakini bisa menghalau gangguan dari setan-setan dalam suatu hajatan utamanya sunatan kampung.
Nenek moyang masyarakat Dayak di kampung Loncek berasal dari Banyuke, yang saat ini Kabupaten Landak. Mereka membawa adat-istiadat dari daerah asal mereka saat pindah ke kampung Loncek, salah satunya budaya topeng.
I’it (61), salah satu perajin topeng di kampung Loncek, mengatakan, topeng sesekali masih ada yang memainkan dalam acara hajatan utamanya sunatan, meski tidak sesering dulu. Seiring perkembangan zaman, masyarakat banyak yang menggunakan medis. Hiburan juga kian beragam.
Topeng-topeng kini disimpan di beberapa rumah warga. Jika sesekali ada yang ingin menampilkan topeng dalam acara hajatan, maka topeng dari rumah-rumah akan dikumpulkan. Kemudian topeng akan dimainkan secara kelompok.
“Sekarang topeng dimainkan lebih banyak sebagai hiburan,” tuturnya.
Meski demikian, topeng masih menjadi kebanggaan masyarakat Loncek. Selain sebagai salah satu identitas kampung juga merawat ingatan dengan orangtua mereka yang telah tiada. Orangtua mereka mewariskan topeng kepada mereka.
Merawat warisan
I’it juga mulai mereplikasi sejumlah topeng agar tidak punah. Ia sudah membuat replikasi topeng Asu’ dan topeng Buta. Topeng Asu’ biasanya ditampilkan untuk melengkapi topeng Buta. Dengan mereplikasi dan merawat warisan orangtua, bentuk menghargai karya orangtua mereka.
“Jika hilang, usaha orangtua yang membuatnya sia-sia. Hal itu bagian dari upaya merawat kenangan. Saya menyimpan beberapa replika topeng,” ujarnya lagi, sambil menunjukkan replika topeng Asu’ di rumahnya di kampung Loncek.
Wakil Direktur Institut Dayakologi Richardus Giring, menjelaskan, dalam perspekitif kebudayaan Dayak secara umum, topeng dengan segala macam motif baik dengan rupa seram maupun lucu, erat kaitannya relasi dengan sesama dan roh-roh nenek moyang.
Topeng tidak sekadar bisa dimainkan ketika masyarakat ingin menikmati hiburan dan seni, tetapi juga lebih daripada itu, ada unsur spiritualitas. Topeng bisa dikatakan juga sebagai perantara komunikasi antara manusia di Bumi dengan alam roh.
Untuk bisa berinteraksi dengan roh-roh yang diyakini ada dalam kehidupan sehari-hari menggunakan topeng dan ragam rupa topeng yang mendekati dunia roh. Dengan topeng komunikasi dengan alam roh diyakini bisa semakin kuat komunikasi yang ingin disampaikan.
“Pesan itu misalnya, jangan menganggu manusia di Bumi,” ungkap Giring.
Budaya topeng masih dimiliki beberapa sub suku Dayak di Kalimantan termasuk di Kalbar. Ada juga yang untuk adat kematian. Giring menduga semua sub suku Dayak dulunya pernah memiliki budaya topeng.
Namun seiring waktu budaya topeng kemungkinan di beberapa kelompok masyarakat tergerus sehingga tinggal beberapa saja yang masih mewarisinya. Tergerusnya budaya topeng bisa jadi karena para “maestro” pembuat topeng juga yang sudah tiada.