Hanya Mengutamakan Aspek Hukum, ”Klitih” di Yogyakarta Sulit Diberantas
Penegakan hukum saja tidak cukup untuk menangani fenomena kekerasan jalanan, yang juga populer disebut ”klitih”, di Daerah Istimewa Yogyakarta. Permasalahan itu hanya bisa dituntaskan jika akar permasalahannya dicabut.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Penegakan hukum tidak cukup menangani fenomena kekerasan jalanan atau klitih di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain memaksimalkan peran keluarga, penyediaan ruang publik hingga keberpihakan dana anggaran harus ikut dipikirkan mencegah hal ini selalu terjadi.
Klitih kembali ramai diperbincangkan setelah insiden kekerasan di Titik Nol KM, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (7/2/2023) pagi. Dalam rekaman video yang beredar, sejumlah pemuda terlibat cekcok.
Lalu, salah seorang di antara mereka mengeluarkan celurit. Celurit itu lantas disabetkan kepada pemuda lain yang terlibat dalam keributan tersebut.
Diberitakan Kompas.com, Kepala Seksi Humas di Polresta Yogyakarta Ajun Komisaris Timbul Sasana Raharja mengatakan, pihaknya sudah menyelidiki kasus tersebut. Korbannya telah melaporkan kasus itu pada Rabu (8/2/2023).
”Korbannya satu. Identifikasi pelaku sudah kami lakukan, tetapi belum bisa kami sebutkan,” kata Timbul.
Timbul menduga, insiden itu diawali perselisihan dua kelompok yang berujung pembacokan. Kedua belah pihak tersinggung dan terpancing provokasi.
Derajad Susilo Widhyarto, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, menyampaikan, fenomena kejahatan jalanan sulit diberantas hanya mengandalkan aspek hukum. Kerap melibatkan anak-anak dan remaja, pelaku hanya mendapat efek jera berupa rehabilitasi sosial.
Oleh karena itu, kata Derajad, para pemangku kepentingan, seperti pemerintah dan kepolisian, harus mulai memikirkan strategi penyelesaian masalah secara utuh. Bertahannya fenomena kejahatan itu menandakan bahwa akar persoalan belum sepenuhnya tersentuh.
”Artinya, masih disamakan dengan kenakalan remaja biasa. Dengan demikian, peristiwa serupa bisa berlanjut karena akarnya tidak disentuh,” kata Derajad.
Derajad mengungkapkan, eratnya ikatan sosial antara remaja dan lingkungannya menjadi kunci pencegahan kejahatan jalanan. Adapun lingkungan sosial itu terentang dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Lewat interaksi bersama lingkungannya, para remaja itu menyerap berbagai macam nilai-nilai.
Pascapandemi Covid-19, kata Derajad, permasalahan bisa jadi bertambah pelik. Banyak orangtua yang perekonomiannya melemah. Kondisi semacam itu membuat orangtua lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja. Akibatnya, anak-anak kurang pengawasan dari orangtuanya dan risiko terjerumus pada kejahatan jalanan semakin tinggi.
”Kemudian, mereka akan lebih percaya pada teman sebaya. Kalau bertemu dengan kelompok yang positif, tidak masalah. Namun, jika bertemu dengan geng, itu akan repot,” kata Derajad.
Upaya pemberantasan kejahatan jalanan, ujar Derajad, akan lebih efektif jika dijalankan secara paralel. Di satu sisi, penegakan hukum berjalan seadil-adilnya sebagaimana mestinya. Itu bertujuan untuk mendidik publik agar menyadari keberadaan konsekuensi hukum atas segala perbuatan yang dilakukannya.
Di sisi lain, upaya pemberdayaan remaja juga harus digalakkan. Caranya dengan menambah ruang-ruang kreatif yang bisa mengalihkan para remaja dari kejahatan jalanan.
”Aparat pemerintah harus bisa membuat kebijakan yang menyentuh keluarga-keluarga rentan kekerasan. Ruang-ruang kreatif bisa ditambah untuk memberdayakan masyarakat, misalnya, bersumber dari dana keistimewaan. Itu punya dana cukup besar yang semestinya bisa digunakan juga,” kata Derajad.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Anak DIY Sari Murti menyepakati jika penegakan hukum tidak cukup untuk menuntaskan kejahatan jalanan. Menurut dia, hal lain yang juga dibutuhkan ialah pembinaan mental dan karakter. Sebab, perilaku anak yang terekam dalam video tersebut sudah tidak wajar. Anak bisa menyabetkan celurit tanpa rasa takut.
”Cara pikirnya itu harus diubah. Ini ada sesuatu yang tidak biasa. Jadi tega betul dengan orang lain. Itu kan tega sekali menyabetkan senjata tajam ke orang lain. Seharusnya tidak seperti itu,” kata Sari.
Sejauh ini, kata Sari, akar permasalahan yang kerap terungkap berupa kekurangan kasih sayang hingga kondisi perekonomian lemah dari anak pelaku kejahatan jalanan. Ia menduga, alasan-alasan kekerasan sejatinya masih bisa dieksplorasi lagi. Pihaknya tak menutup kemungkinan apabila ada anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan jalanan tanpa kehendaknya sendiri.