Peternak babi mempertanyakan keseriusan pemerintah terhadap penanganan demam babi Afrika. Pemerintah dinilai lebih peduli pada persoalan wabah ternak selain babi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Kandang yang terbuat dari kayu itu kini lapuk tak terawat. Tak terdengar lagi suara babi ternak yang setiap pagi dan sore berteriak keras jika terlambat diberi makan. Keluarga Tina Kewa (56) tak lagi memelihara babi, ternak yang melekat dengan kehidupan mereka secara turun-temurun.
Keengganan memelihara babi itu bukan tanpa alasan. Wabah demam babi Afrika membuat peternak babi di Nusa Tenggara Timur terjepit. ”Tidak berani lagi piara babi. Saat babi sudah besar dan mau dijual, tiba-tiba mati,” kata Tina Kewa, peternak babi di Desa Pandai, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT, akhir Januari 2023.
Babi ternak miliknya ludes disapu virus demam babi Afrika (ASF). Tahun 2021, empat ekor babi piaraannya mati. Padahal, babi itu disiapkan untuk sebuah hajatan keluarga. Jika ditaksir, harga satu ekornya sekitar Rp 7 juta. Artinya, Kewa kehilangan Rp 28 juta.
Setelah hampir setahun kemudian, ia coba memelihara satu ekor babi. Sayangnya, pada November 2022 babi itu pun mati. Harganya diperkirakan sekitar Rp 5 juta. ”Jadi, kami stop sudah,” ucapnya dengan nada kecewa.
Bukan hanya Kewa, hampir semua keluarga di kampung itu mengalami hal yang sama. Ada yang bahkan kehilangan belasan ekor babi. Jumlah penduduk di desa itu mendekati 1.000 jiwa, dan semua rumah memiliki ternak babi.
Hingga kini, mereka tidak tahu dari mana datangnya virus itu dan bagaimana menangkalnya. Petugas kesehatan hewan yang diharapkan membantu mereka juga tidak berbuat banyak. Mereka hanya pasrah.
Laurens Lesu (40), peternak lain di kampung itu, mengatakan, mereka tak punya cara selain memindahkan ternak babi ke kebun atau lokasi yang jauh dari permukiman. Dengan cara isolasi, beberapa ekor babi bisa selamat.
Menyediakan
Selama demam babi merebak, tak ada langkah konkret dari pemerintah yang bisa membantu mereka. Belakangan, mereka baru tahu bahwa Dinas Peternakan di setiap kabupaten tersedia cairan disinfektan untuk membersihkan kadang dari virus tersebut.
”Ada barang itu (disinfektan) kah? Kami tidak pernah tahu. Kalau ada, pasti sangat membantu. Kami harap dinas peternakan bisa membagi barang itu ke desa-desa,” ujarnya.
Menurut Lesu, virus demam babi memukul ekonomi masyarakat. Babi dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ongkos pendidikan anak, dan biaya berobat. Babi juga digunakan untuk bahan persembahan kepada leluhur dalam upacara adat setempat.
Kami di Kota Kupang saja seperti ini, lalu bagaimana dengan peternak di kampung-kampung.
Di pulau seberang, Pulau Timor, Johakim Naba (34), peternak dari Amarasi, Kabupaten Kupang, menuturkan, empat ekor babi miliknya mati akibat demam babi. Sayangnya, tidak ada petugas kesehatan hewan yang datang memberi bantuan obat. Ia lalu membandingkannya dengan penanganan penyakit mulut dan kuku (PMK) pada sapi.
”Kalau kasus PMK, presiden dan menteri pertanian pasti bicara. Terus banyak bantuan untuk peternak sapi. Kalau masalah babi, hampir tidak terdengar. Kami merasa ada diskriminasi. Padahal babi di NTT sangat membantu menggerakkan ekonomi,” katanya.
Rino (24), peternak di Kelurahan Bello, Kota Kupang, juga mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah terhadap peternak babi. Padahal, Rino berdomisili di ibu kota provinsi. ”Kami di Kota Kupang saja seperti ini, lalu bagaimana dengan peternak di kampung-kampung?” ujarnya.
Untuk mengantisipasi penyebaran demam babi Afrika, Rino tidak lagi membeli makanan babi yang dijual di toko. Ia memasak sendiri dengan bahan yang diambil dari kebun seperti ubi, jagung, dan pisang. Sesekali, makanan kebun dicampur dengan ikan.
Sementara itu, Melky Angsar, Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Peternakan NTT, mengatakan, kasus ASF yang merebak sejak 2019 kini masih endemik. Kasus ASF terjadi di semua wilayah NTT yang berjumlah 22 kabupaten/kota.
Menurut Melky, pihaknya sudah membuat 6,5 juta liter larutan disinfektan ke 166.000 kandang. Larutan itu sudah didistribusikan ke sejumlah daerah terdekat, seperti Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan. Setiap kabupaten diminta membuat larutan dan mengedarkannya ke setiap desa.
Bantuan alat
Hingga Rabu (8/2/2023), Dinas Peternakan NTT melaporkan, jumlah babi ternak yang mati akibat demam babi afrika mencapai 349 ekor. Jumlah ini terhitung sejak Januari 2023. Adapun total babi di NTT yang mati sejak virus itu merebak pada tahun 2019 jumlahnya mencapai setengah juta ekor. Populasi babi di NTT per Januari 2023 sekitar 2,02 juta ekor.
Sebagaimana siaran pers yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi NTT pada Rabu pagi, NTT mendapat bantuan tiga alat loop-mediated isothermal amplification (LAMP). Alat itu untuk mendeteksi virus ASF.
Kehadiran alat itu berkat kerja sama Program Australia Indonesia Patnership For Promoting Rural Incomes Through Support for Markets in Agriculture (PRISMA) dan Program Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP).
”Beternak merupakan salah satu budaya yang sudah diwarisi oleh para leluhur, yang merupakan salah satu sumber mata pencarian dalam pemenuhan ekonomi sehari-hari. Alat ini sangat dibutuhkan karena akan membantu para peternak babi dalam mendeteksi virus ASF,” kata Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi saat menerima alat itu.
Perwakilan dari Departement Of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia, Lulu Wardhani, berharap tiga alat yang akan didistribusikan ke Pulau Timor, Flores, dan Sumba itu bermanfaat bagi peternak babi.
”Di tahun 2019, kami mendengar virus ASF mulai melanda Provinsi NTT. Kami juga mendapat laporan bahwa peternak babi di NTT mengalami kerugian yang luar biasa,” kata Lulu.
Kehadiran alat itu menjadi angin segar bagi penanganan ASF di NTT. Kini saatnya pemerintah daerah memikirkan langkah selanjutnya, termasuk menggandakan alat tersebut agar dapat digunakan di sejumlah daerah terdampak.
Kehadiran alat itu juga menghadirkan pertanyaan reflektif mengenai keseriusan Pemerintah Indonesia dalam penanganan ASF di Indonesia. Sikap cenderung pasif yang berbeda dengan penanganan wabah ternak lainnya. Ini yang membuat peternak babi selalu merasa dianaktirikan.