Pemukulan terhadap Suporter Picu Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 jiwa dan melukai 647 jiwa mayoritas dari Aremania pada 1 Oktober 2022 tidak perlu terjadi jika petugas keamanan dari Polri tidak bertindak represif.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pemukulan terhadap Aremania yang menyusup ke lapangan menjadi pemicu kericuhan dan kerusuhan seusai laga Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022) malam. Peristiwa itu berujung insiden berdarah dengan korban 135 jiwa meninggal dan 647 jiwa terluka.
Demikian diutarakan Suko Sutrisno dan Abdul Haris sebagai saksi dalam sidang lanjutan Tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (7/2/2023) petang. Sidang itu untuk tiga terdakwa dari anggota Polri, yakni bekas Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, bekas Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, dan bekas Komandan Kompi 3 Batalyon A Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Jawa Timur Ajun Komisaris Hasdarmawan.
Suko dan Abdul juga berstatus terdakwa dan telah menjalani sidang pembacaan tuntutan pada Jumat (3/2/2023). Suko adalah bekas petugas keselamatan dan keamanan (safety & security officer). Saat Tragedi Kanjuruhan, Haris merupakan Ketua Panitia Pelaksana dari tuan rumah Arema FC. Suko dan Abdul masing-masing dituntut hukuman penjara 6 tahun 8 bulan. Mereka akan menjalani sidang pembacaan nota pembelaan atau pleidoi pada Jumat (10/2/2023).
Menurut Suko, kericuhan yang berkembang menjadi kerusuhan tidak akan terjadi jika petugas keamanan dari polisi tidak bertindak represif terhadap suporter (Aremania) yang menyusup ke lapangan seusai laga yang berakhir 2-3 untuk tim tamu Persebaya. ”Ada pemukulan oleh bapak aparat,” katanya.
Dalam pertandingan kandang, apa pun hasilnya, kata Suko, sudah biasa kalangan Aremania menerobos pagar dan masuk lapangan (pitch invasion). Dalam lanjutan laga Liga 1 itu, hasilnya memang mengecewakan bagi Arema FC karena kalah setelah 23 tahun. Namun, penyusupan suporter ke lapangan biasanya sekadar untuk memberi semangat kepada pemain tim tuan rumah.
Awalnya, pitch invasion itu coba diredam dan diatasi oleh panitia pelaksana dari sipil. Namun, situasi menjadi tidak terkendali sehingga memicu sejumlah anggota Polri yang bertugas pengamanan dan membawa senjata gas air mata mendapat perintah penembakan gas air mata. Penembakan ini membuat situasi menjadi kian tidak terkendali.
Penonton panik dan berusaha keluar stadion tetapi secara berdesakan, berimpitan, dan saling injak. Situasi ini memicu kematian banyak jiwa dan kerusuhan sampai keluar kompleks stadion di wilayah Kepanjen, ibu kota Kabupaten Malang itu.
Suko yakin tidak ada pemukulan oleh suporter kepada pemain Arema FC yang seusai laga tetap di lapangan untuk meminta maaf. Sementara itu, pengamanan ditempuh kepada tim tamu yang sampai dievakuasi dengan mobil taktis Barracuda. Kendaraan ini diserang oleh suporter yang berada di luar stadion tetapi evakuasi berjalan lancar.
Dalam sidang sebelumnya pada Kamis (26/1/2023), Hasdarmawan dan Bambang mengakui memerintahkan penembakan gas air mata untuk pengendalian massa yang berulah di lapangan. Penembakan bertujuan menghalau suporter untuk kembali ke tribune. Selain itu, mencegah suporter lainnya menerobos ke lapangan. Wahyu mengklaim tidak memerintahkan penembakan itu.
Hasdarmawan dan Bambang mengaku memerintahkan penembakan karena situasi tidak dapat lagi teratasi. Petugas diserang oleh suporter yang melempar batu, botol, dan benda lainnya dari tribune. Ada suporter yang telah menerobos ke lapangan menyerang petugas.
Menurut Hasdarmawan, penembakan gas air mata itu ditempuh atas perintah dirinya sendiri. Hasdarmawan menghubungi atasan untuk meminta persetujuan tetapi tidak mendapat respons sehingga berkeputusan sendiri untuk penembakan gas air mata.
Ketiga terdakwa dari anggota Polri akan menjalani sidang lanjutan pemeriksaan saksi pada Kamis (9/2/2023).